Hijaubiru: CatPer -- Kota/Sejarah/Budaya
Tampilkan postingan dengan label CatPer -- Kota/Sejarah/Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CatPer -- Kota/Sejarah/Budaya. Tampilkan semua postingan

Jumat, 12 Januari 2024

Makanan Khas Surabaya Raya: Tahu Tek
Januari 12, 20240 Comments



"Kalau ke Surabaya, enaknya makan apa yang khas sana?"

Begitu pertanyaan beberapa teman. Sebagai salah satu pusat kota di Jawa Timur sejak zaman baheula, beragam makanan tumpah-ruah dan berkembang di Kota Pahlawan. Salah satunya: tahu tek.


Sebelum muncul perdebatan lebih panjang, perlu  digarisbawahi bahwa tahu tek nggak khas dari Surabaya aja. Lebih tepatnya, makanan ini berasal dari dan merupakan makanan khas milik Surabaya dan kota-kota lain di sekitarnya. Beberapa menyebut bahwa Lamongan-lah yang menjadi asal. Namun, makanan ini gampang ditemukan di Jawa Timur, khususnya Surabaya Raya (termasuk Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan, Gresik), sehingga ada pula yang nyebut kalau ini makanan khas Jatim.


Tahu tek berisi potongan-potongan kecil tahu goreng, kentang goreng, dan lontong. Belakangan ditambah potongan telur dadar dan timun dadu. Di atas bahan-bahan itu, ditabur taoge pendek yang teksturnya kres-kres. Setelah komposisinya lengkap, dituang saus kacang yang rasanya asin-agak manis-gurih. Terakhir diberi kerupuk kecil-kecil.


Gimana rasanya?

Asin. Gurih. Agak manis karena ada kacang dan kecap. Sensasi umami alias gurih mungkin berasal dari petis yang dicampur dengan tumbukan kacang sebagai saus.


Tahu tek biasanya dijual malam. Ada sih yang jual siang, tapi kurang umum ditemukan. Makanya ini menu biasanya buat makan malam atau jajan malam. Selain dijual di warung tenda, makanan ini juga dijual dengan gerobak dorong. Suara gerobaknya khusus: "tek-tek". Ada yang bilang, inilah asal-muasal nama "tahu tek". Ada juga yang bilang, asal namanya dari bunyi "tek" gunting yang dipakai buat motong tahu. Ada juga yang berpendapat kalau ini bunyi khusus dari pukulan (entah) gerobak/wajan yang dipukul penjualnya.


"Sekilas seperti kupat tahu," kata seorang teman. 

Sekilas memang iya. Namun rasanya tetap beda. Mungkin karena tahu tek mengandung petis. Tahu tek juga nggak pakai sayur, kecuali tauge pendek tadi (yang sering disebut "cambah endek").


Di mana bisa cari tahu tek di Surabaya? Banyak. Cari aja malam-malam, di tepi-tepi jalan. Mungkin kadang bahkan gerobaknya lewat depan rumah. Ada beberapa resto/warung terkenal yang dinobatkan jadi tahu tek terenak dan sering jadi jujugan wisatawan. Namun tetap saja semua kembali ke selera. Karena, kalau menurut lidah saya, tahu tek gerobakan yang lewat depan rumah atau di warung sekitar pun rasanya sudah muuuantep pol.

Reading Time:

Jumat, 10 November 2023

Kustbatterij Kedung Cowek, Bekas Benteng Belanda di Surabaya
November 10, 20230 Comments



 

Mendengar ada bekas benteng di Surabaya, telinga saya mencuat. Sekian lama tinggal di Kota Pahlawan, saya nggak pernah melihat langsung wujud benteng. Saya baru lihat yang namanya benteng justru saat berada di Yogyakarta, di Benteng Vredeburg. Padahal sebagai salah satu kota penting sejak zaman Belanda (bahkan sebelum Majapahit), harusnya Surabaya punya benteng, nggak sih?

 

Mungkin udah hancur nggak berbekas atau gimana, pikir saya waktu itu. Jadi saat baca sebuah laman berita bahwa ditemukan reruntuhan benteng bekas Belanda di pesisir utara Surabaya beberapa tahun lalu, saya tertarik. Pengin lihat, tapi (kalau nggak salah) aksesnya masih tertutup untuk umum saat itu. Sekarang, aset milik TNI itu sudah dibuka untuk umum.

 

[Disclaimer: tulisan ini memang dibuat dengan pengamatan lokasi dan merujuk referensi sejarah. Namun saya bukan ahli sejarah, sekadar penggemar, sehingga mungkin sekali kalau ada kesalahan/ketidakakuratan di tulisan ini karena saya keliru cari sumber atau salah interpretasi. Jadi soal sejarahnya silakan dicek kembali dan mohon maaf serta mohon masukan bila ada kekeliruan.]

 

Benteng Kedung Cowek (atau kustbatterij Kedoeng-Tjowek) dibangun Belanda di daerah Kedung Cowek pada awal abad 20. Tujuannya tentu buat pertahanan kota dari serangan arah laut. Yup, depan benteng ini langsung laut. Tepatnya Selat Madura. Pertahanan dari siapa? Dari musuh Belanda, tentunya.

 

Saat pecah Perang Dunia II dan Jepang merangsek ke Jawa, benteng ini jadi salah satu lini pertahanan pasukan Kerajaan Belanda meladeni armada Kekaisaran Jepang. Waktu PD II selesai dan Indonesia baru aja merdeka, benteng ini juga dipakai pejuang kita untuk menghalau tentara Sekutu yang balik ke Indonesia.

 


Benteng Kedung Cowek berbeda dengan umumnya benteng. Selama ini di bayangan saya, benteng itu semacam sistem tertutup. Dinding-dinding mengelilingi dan melindungi sebuah area di tengah. Ternyata enggak. Kalau dilihat-lihat, Benteng Kedung Cowek ini bentuknya seperti garis di sepanjang bibir pantai.

 

Bentuk ini nggak lepas dari fungsinya. Dalam bahasa Belanda, tempat ini namanya kustbatterij atau coast battery. Kantung pertahanan tepi laut. Jadi bentuknya memang bukan benteng melingkar, tapi kantung-kantung pertahanan di sepanjang lini.

 

Cuaca panas saat saya ‘main’ ke lokasi. Cuaca Surabaya memang terkenal sumuk, apalagi ini di tepi pantainya. Baru jam delapan, tapi keringat sudah siap menetes dari pelipis. Untungnya, makin mendekati lokasi benteng, ada banyak pohon-pohon tinggi. Pohon yang dirambati tumbuhan berbunga merah muda ini mengungkung dinding benteng. Bunga dan daun-daun hijaunya merambat ke dinding-dinding bercat putih/kuning yang usianya sudah seabad. Sekilas seperti enchanted castle di negeri dongeng.

 

Karena ia kustbatterij, maka dinding-dinding ini dibangun terpisah-pisah. Jadi total ada beberapa bangunan yang tak terhubung dan lokasinya terpisah-pisah. Ada dinding pertahanan, gudang amunisi, gudang diesel, dan beberapa bastion. Di bastion bundar, ada jejak semacam geretan. Seorang kenalan berkata kalau itu mungkin bekas jalur untuk meriam.

 

Benteng Kedung Cowek memang bukan tempat wisata. Mungkin, belum. Atau memang nggak difungsikan untuk itu. Dan mungkin karena baru ‘ditemukan’, kondisinya pun tampak seperti sesuatu yang baru disibak. Semak dan pohon di mana-mana. Namun, beberapa ruangan jelas telah dibersihkan dan dikosongkan sehingga kita bisa masuk.


 

Gimana di dalamnya?

Cukup luas, mungkin karena kosong melompong. Jendelanya tanpa pintu, mengantarkan cahaya dari matahari yang rasanya sedang bersinar tepat di atas kepala. Namun sisanya agak gelap. Dan seperti umumnya tempat yang nggak digunakan, pengap. Nggak kebayang dulu gimana para tentara berdiam di sini, sempit-sempitan, bau mesiu terbakar, dan memantapkan hati menghadapi pasukan musuh yang dar-der-dor dari arah laut.

 

[to be continued]

Next story: benteng Kedung Cowek dan perlawanan menghadapi pasukan Sekutu setelah kemerdekaan, Kedung Cowek masa kini






Ref:
Giffari, R.A. dan K. Y. Soekardi. (2021). “Component analysis at Fort Kedung Cowek buildings in Surabaya, East Java: observation on panopticon concept.” International Review of Humanities Studies 6: 428-452.
Nuffida, N. I. (2018). Fragmented continuum concept Museum of Kedung Cowek fortification. [Final project, Institut Teknologi Sepuluh Nopember].






Reading Time:

Jumat, 18 Agustus 2023

Berkunjung ke Gua Selarong: Markas Perang Jawa dan Diponegoro
Agustus 18, 20230 Comments

 



Sebenarnya kunjungan ke sini udah lama, beberapa tahun lalu. Namun karena kayaknya momennya pas: saat Agustusan, well, here we go. Mari berkunjung ke jejak salah satu pahlawan nasional yang terletak di Yogyakarta dan nggak ramai serbuan turis.

 

Saat dengar kata “Selarong”, yang saya ingat adalah Pangeran Diponegoro. Nggak tahu kenapa, nama ini melekat di memori bersama dengan dua wilayah lain yang pernah jadi tempat persembunyian Diponegoro saat Perang Jawa dua abad lalu.

 

Saya masih ingat bunyi teks di buku paket, 

... Pangeran Diponegoro dan pasukannya lalu bersembunyi di Selarong, Pleret, Dekso ...


Mungkin, karena nama mereka menjadi soal yang diujikan dalam ulangan. Mungkin juga karena nama-nama itu terasa tak biasa dan baru di telinga saya yang kala itu masih SD. Jadi, nggak sengaja malah tersimpan di memori.

 

Selarong, Pleret, dan Dekso adalah beberapa wilayah yang terletak di Kabupaten Bantul, Provinsi DIY. Ketiganya pernah jadi tempat persembunyian Pangeran Diponegoro dan pasukannya saat Perang Jawa (1825-1830). Pangeran dari Yogya yang juga pernah menjadi santri ini berpindah-pindah agar pasukannya tak terendus pasukan Belanda.

 

Kalau sekarang, Gua Selarong terletak di selatan ringroad Yogya. Nggak selatan juga, sih, tapi agak ke barat. Waktu itu saya dari ringroad timur, begitu belok ke ruas ringroad selatan, nggak jauh kemudian putar balik untuk masuk kampung di selatannya. Dari situ tinggal ikuti Google Maps.

 

Jalannya menuju destinasi lewat jalur Google Maps relatif bagus. Seingat saya, masuk jalan kampung/desa yang di sisinya rumah-rumah dan sawah, baru kemudian masuk ke ruas jalan lintas desa yang mulai jarang rumah dan banyak hutan (jati/sengon? Lupa). Jalannya aspal halus. Di beberapa ruas jalan memang agak naik, tapi bukan yang nanjak tajam. Ada beberapa tikungan tajam, tapi nggak yang ‘tajam banget’ macam kalau ke Mangunan.

 

Setelah lihat peta, baru nyadar kalau letaknya nggak terlalu jauh dari sentra gerabah Kasongan. Tapi rasanya udah jauh. Apa karena lokasinya yang dikelilingi banyak pohon dan nggak terletak di jalan raya besar?

 

Dari jalan aspal, Gua Selarong ada di sisi kanan. Kalau nggak salah ingat, masuk dulu baru kemudian terlihat tanda selamat datang. Bayar masuknya sekitar Rp5.000,00/orang plus biaya parkir per kendaraan (lupa berapa, tapi standar, bukan yang mahal banget).

 

Dari parkiran, tampak tulisan besar-besar “GOA SELARONG” dengan cat oranye menyala.

(Jadi yang benar ‘goa’ atau ‘gua’? Di KBBI pakai ‘gua’, tapi di masyarakat lebih biasa pakai ‘goa’ kayaknya)

 

Plang dan infografis  Gua Selarong, oleh dinas setempat dan program KKN mahasiswa
(klik untuk baca dalam ukuran lebih besar)

Seperti umumnya daerah di selatan Yogya agak ke barat, area ini sekilas seperti kering. Khas area pegunungan kapur. Banyak tumbuhan, tapi suasananya kayak kering. Singkapan tebing yang terbuka berwarna putih kecoklatan. Tanahnya pun berwarna coklat muda sekali, mengingatkan pada pasir pantai putih.

 

Dan, karena saya berkunjung ke sini saat musim kemarau, maka hawanya beneran kering. Sepanjang jalan tadi, pohon-pohon jati mulai meranggas. Seresah kekuningan di mana-mana, yang kalau diinjak bunyinya renyah sekali kayak suara kerupuk.

 

Menurut sumber online, ada air terjun kecil di area ini. Kalau dilihat dari foto, letaknya di sebelah kanan, setelah parkiran atau sebelum gua/tangga naik. Alirannya nggak terlalu deras, jatuh dari pinggir tebing kemudian langsung ke aliran sungai kecil di bawahnya. Sayang banget kami nggak bisa ngelihat air terjun itu di kunjungan kali ini. Sebabnya, sumber airnya hanya ada di musim hujan dan kering saat musim kemarau. Jadilah kami cuma bisa melihat jejak-jejak alirannya yang memahat bebatuan.

 

Satu hal yang menjadi surprise: ternyata guanya banyak.

Hal kedua yang jadi surprise: tangganya juga lumayan banyak.

 

Pengunjung harus menaiki terundak demi terundak untuk mencapai gua. Pertama dilihat, wah, tinggi juga. Apalagi jalurnya lurus ke atas, mengingatkan pada tangga menuju langit di film-film kartun.

 

Nggak lebih dari 15 menit meniti tangga (dengan sedikit menggeh-menggeh, haha), akhirnya kami sampai di kompleks gua. Saya sebut kompleks karena itu tadi: guanya ternyata banyak. Yang disebut gua adalah ceruk-ceruk yang masuk ke bawah tebing-tebing batu keras. Pintu masuknya pendek, tak sampai setinggi pinggang orang dewasa. Bayangan saya tentang gua persembunyian pun buyar.

 

Awalnya, saya kira Gua Selarong hanya terdiri dari satu gua yang masuk panjang ke dalam. Bahkan mungkin sampai bisa ada sekat-sekatnya seperti di komik Swiss Family Robinson yang pernah saya baca dulu sekali. Sampai sini barulah saya tahu bahwa gua itu bentuknya macam-macam. Berbeda dengan bentukan dalam komik (dan imajinasi saya), di sini guanya lebih seperti ceruk, ada banyak, dan sekilas terlihat tak terlalu dalam. Ada yang pojok-pojoknya bisa terlihat dari luar. Jadi bentuknya lebih kayak sebuah ruangan. Apa ada yang masuk sampai dalam banget? Kurang tahu, karena saya nggak masuk ke gua, cuma ngelihat dari luar aja. Lagipula, ada beberapa gua yang diberi gapura dan tampak ada beberapa barang di mulut guanya, jadi saya kira itu adalah area off-limit untuk pengunjung.

 

Ide berkunjung ke Gua Selarong sebenarnya bukan keinginan yang baru. Beberapa tahun sebelumnya sudah pengin ke sana, tapi perlahan lupa. Siang itu, waktu pengin jalan-jalan dan bingung ke mana, langsung kepikir ke Selarong aja. Lagipula saat itu saya lagi di tengah kota Yogya. Meski masih jauh, tapi nggak terlalu jauh kalau dibandingkan saya jalan dari Kaliurang, misalnya. Dan karena siang itu waktu kami terbatas dan emang niat untuk lihat-lihat aja (bukan yang menikmati banget atau ndelumuk ngamatin banget), jadi ya gas aja. Paling enggak, satu tempat tujuan sudah tercoret dari wishlist.

 

Kenapa ingin lihat jejak Pangeran Diponegoro? Selain alasan ‘terpatri di ingatan karena soal ulangan’ di atas, saya penasaran aja. Mungkin karena beliau salah satu pahlawan nasional yang terkenal. Mungkin karena tertarik dengan background beliau yang priyayi tinggi sekaligus santri, bangsawan yang nampak agamis hingga digambarkan selalu mengenakan surban, sebuah kombinasi yang termasuk jarang ditemui. Mungkin juga karena saya merasa aji mumpung: mumpung di Yogya, bisa sepuasnya menggali kisah budaya dan cerita serta tempat bersejarah yang sebelumnya cuma bisa saya dengar dan lihat dari buku pelajaran aja.

 

Menyaksikan sebuah tempat dengan mata kepala sendiri, setelah selama ini hanya tahu cerita atau fotonya aja, serasa … menakjubkan. It was magical. Semacam ada perasaan, “Wah … dulu dia berdiri di sini, lho” atau “Oh ini toh yang selama ini diceritain”.

 

Rasanya kayak bayanganmu terwujud, berbentuk nyata di depanmu.

 

Sebelum Selarong, sebetulnya ada keinginan ngelihat keraton Tegalrejo. Konon di sinilah Pangeran Diponegoro dibesarkan. Beliau baru meninggalkan Tegalrejo ketika Belanda menyerang keraton itu. Di peta, nama “Tegalrejo” masih ada, menjadi nama sebuah kecamatan di Kota Yogya. Di mana istana atau bekasnya? Menurut seorang petugas Keraton Yogya yang sempat saya tanya saat berkunjung ke keraton, istana Tegalrejo menjadi bangunan milik TNI sekarang. (Setelah ngecek lagi, ada yang bilang bahwa sudah jadi museum sekarang—Museum Sasana Wiratama—, bahkan bekas tembok yang dijebol Pangeran Diponegoro waktu nyelamatin keluarganya saat dikepung Belanda, masih ada.)

 

Gua Selarong termasuk markas utama pasukan Pangeran Diponegoro. Keluarganya pun turut tinggal di sini. Ada dua gua paling utama di area ini: Gua Kakung dan Gua Putri. Konon, Gua Putri adalah tempat tinggal untuk istri sang pangeran. Mungkin, karena sebagai tempat persembunyian, maka ‘pintu’ masuk guanya rendah-rendah. Supaya nggak mudah ditemukan meski di ketinggian, mungkin? Meski tentu hutan zaman itu yang lebih lebat daripada sekarang cukup bisa menyembunyikan. Dari ketinggian gua ini, terlihat dataran di selatan Yogya yang menghijau.

 

Pemandangan di Yogya bagian selatan


Perang antara Belanda vs Pangeran Diponegoro, yang dikenal sebagai Perang Jawa/The Java War/Java Oorlog dikenal sebagai salah satu perang yang membuat Belanda kalang kabut. Kerugian banyak, habis dana banyak. Kabarnya, Belanda sampai menarik pasukannya di Sumatra (yang sedang memerangi pasukan Tuanku Imam Bonjol *cmiiw) untuk bala bantuan.

 

Area Yogya sekitarnya menjadi arena pertempuran. Termasuk daerah Menoreh, yang sempat dibahas di postingan sebelumnya waktu main ke Punthuk Setumbu—dekat Candi Borobudur. Area utara Menoreh, yang termasuk daerah Kedu (sekarang Magelang), menjadi saksi penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda sebelum beliau ditawan di Batavia (penjaranya di Kota Tua Jakarta) kemudian dibuang ke Makassar.

 

Seperti cerita-cerita sejarah lainnya, selalu ada sisi abu-abu dalam setiap kisah. Pun tentang perjuangan Diponegoro dan pasukannya. Mungkin sebagian kita tahunya adalah Diponegoro berperang dengan Belanda untuk kemerdekaan. Sebagian lain berpendapat bahwa perang ini dimulai dan berlangsung karena konflik kepentingan. Tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya pun, baik dari pihak Indonesia dan Belanda, tak lepas dari kemelut putih-hitam sosok manusia: ada saat menjadi heroine, ada saat menjadi villain. Seperti apa kisahnya? Wah, banyak. Apalagi, sumber dan metode penelusuran sejarahnya macam-macam. Jadi ada beragam versi.

 

Yah, hidup kayaknya memang gitu: selalu abu-abu.

 

Kenapa beragam versi dan kisah itu nggak diajarkan di buku sejarah sekolah?

Ya, karena itu tadi: banyak, panjang. Dan versinya macam-macam. Nggak cukup itu buku paket. Dan mungkin yang diberikan adalah versi ringkasnya aja supaya para siswa nggak bingung karena kebanyakan versi. Dan kalau dimasukin pun, ada beberapa jenjang yang pikirannya belum sanggup mencerna kisah yang kompleks dan pelik. Lah kita aja, orang dewasa, masih suka bingung kok kalau nemu cerita yang versinya banyak, apalagi anak kecil. 

 

Begitulah. Apa di daerahmu juga ada jejak/lokasi bersejarah yang kadang luput dari tujuan wisatawan? Sini bisikin, siapa tahu kapan-kapan kita bisa explore bareng :D


Para simbah dan dagangan mereka di dalam area
Gua Selarong: ada minuman, jajan, dan buah-buahan
seperti jambu dan ciplukan yang sudah dikupas

Reading Time:

Jumat, 14 Juli 2023

Berburu Potret Borobudur, Sunrise, dan Kabut di Punthuk Setumbu
Juli 14, 20230 Comments

 


 

Beberapa tahun lalu, saat pertama ngulik dasar-dasar fotografi, saya menemukan sebuah website dengan foto amat menarik. Itu adalah gambar Candi Borobudur yang dibalut kabut putih supertebal. Di sekitarnya, baris-baris perbukitan dan gerumbul pepohonan. Semuanya bermandikan cahaya oranye mentari pagi yang tampak hangat. Pemandangan ini magical banget buat saya.  Rasanya seperti melihat sebuah istana di negeri awan.

 

Fotografer asing sang pemilik website menyebutkan sebuah tempat: Punthuk Setumbu. Saya pun browsing mencari tahu tempat ini. Ternyata ini adalah sebuah bukit di Magelang, tak jauh dari Candi Borobudur berdiri.

 

Waktu itu internet belum secanggih sekarang. Instagram belum booming sehingga kalau mau cari foto-foto buat referensi, ya, lewat Google, lewat website. Foto Borobudur terbalut kabut tadi saya temukan pada website fotografer asing yang tentu saja nggak menyebutkan rute jalan menuju ke sana. Mungkin memang ia nggak tahu jalan dan mengandalkan guide, mungkin juga karena saat itu Punthuk Setumbu belum jadi tempat wisata sehingga jalannya belum jelas.

 

Hal senada saya dengar ketika ngobrol dengan salah seorang bapak penduduk lokal saat main ke sana, 2017 lalu.

“Dulu di sini belum rame. Nggak ada begini ini (menunjuk platform foto, gazebo joglo, dan pagar). Ya benaran cuma bukit, banyak tumbuhannya. Sangat rimbun begitu. Yang ke sini banyakan bule buat lihat matahari terbit. Ada juga yang bukan bule, yang memang suka foto-foto,” ujarnya memberi tahu.

 

Setahu saya memang bukit ini baru ramai beberapa tahun kemudian. Lalu makin ramai ketika sebuah film box office nasional syuting di dekat sana.

 

Dulu waktu baru browsing, rute menuju ke sana pun nggak sejelas sekarang. Kalau nggak salah ingat, poin Punthuk Setumbu belum ada di Google Maps, begitu pun rutenya. Saya mengandalkan ancer-ancer yang ditulis oleh beberapa orang di website dan forum online, sembari bertanya-tanya sendiri gimana kalau mau jalan ke tempat yang (saat itu) relatif terpencil sedangkan saya nggak tahu medan. Apalagi kalau mau berburu sunrise, artinya harus jalan malam.

 

Nggak tahu jalan, tanpa transpor umum, belum bisa naik motor. Harus jalan malam pula (yang artinya nggak bisa nanya penduduk lokal karena pasti pada tidur). Dalam diam dan ketidakpastian, Punthuk Setumbu saya simpan dalam wishlist lokasi yang ingin dikunjungi.

 

Beberapa tahun kemudian, alhamdulillah saya akhirnya diberi kesempatan main ke Punthuk Setumbu. Yes!!! Bukit itu sudah jadi tempat wisata. Akses jalan ke sana lebih mudah dan rutenya sudah tersedia di Google Maps. 

(Dalam bahasa Jawa, punthuk = bukit.

Ada juga yang menyebut bukit sebagai ‘puthuk/putuk’. Yang kedua ini saya temui di Jawa Timur)

  



Namun, untuk menikmati sunrise di Punthuk Setumbu memang agak dibutuhkan pengorbanan. Kita harus datang sebelum subuh supaya nggak ketinggalan matahari terbit. Akhirnya dengan berboncengan, saya dan teman berangkat pukul 03.00 dari Yogya utara menuju Magelang. Kami sampai di lokasi sekitar pukul 05.00.

 

Dari Yogya, rutenya relatif mudah. Ikuti aja Jl. Yogya-Magelang sampai ketemu gapura (memasuki area) Borobudur di kiri jalan. Belok ke situ, lalu tinggal ikuti Google Maps sampai ke parkiran Punthuk Setumbu. Bukit ini jaraknya kira-kira 5 km-an dari Borobudur, jadi ya agak jauh juga masuknya dari gapura.

 

Oh ya, sesaat setelah masuk gapura, jangan lupa lihat sisi jalan. Kalau lewat sebelum subuh, dari tepi jalan akan terlihat Candi Pawon yang tampak megah bermandikan cahaya lampu sorot. Cantik! Serasa ngelihat istana. Agak mendekati Punthuk Setumbu, di sisi kanan kita juga bisa lihat kerlap-kerlip dari bangunan dan resor mewah Amanwana yang dibangun menyerupai Borobudur.

 

Kami sampai di parkiran Punthuk Setumbu. Untuk ke parkiran, jalannya berkerikil dan sedikit naik. Ada sebuah loket di sana. Tiket masuknya Rp10.000,00 per orang, sedangkan harga parkir standar.

 

Apa dari parkiran kita bisa langsung ngelihat sunrise?

Oh enggak. Kita harus jalan kaki lagi, naik tangga untuk mencapai puncak bukit. Jalannya nggak terlalu jauh, sekitar 15 menit jalan santai. Pun naiknya nggak terlalu melelahkan (kerasa capek kalau sangat nggak terbiasa jalan kaki). Baru setelah melewati terundak demi terundak, kita akan sampai di sebuah tanah datar yang menghadap timur. Ada beberapa joglo di sana. 

 


 

Saya dan teman sengaja main ke tempat ini di hari kerja supaya nggak terlalu ramai. Namun ternyata strategi ini pun rada meleset karena tetap ramai, haha. Tapi syukurlah bukan ramai yang macam umpel-umpelan. Tetap banyak orang, tapi nggak sampai berdesak-desakan banget. Cuma, ya, banyak orang berarti sudah nggak bisa memilih posisi untuk ambil foto sesuai keinginan.

 

Dua kali ke Punthuk Setumbu, saya melihat tempat-tempat strategis—di pinggir pagar—sudah dipenuhi orang. Banyak di antaranya fotografer yang memasang tripod dengan lensa kamera yang aduhai tak diragukan kualitasnya. Kali pertama, karena lebih ramai, kami stay di agak belakang. Baru setelah matahari agak naik, kami bisa agak mendekat ke tepi pagar. Kali kedua, karena lebih sepi meski kami datang lebih mepet sunrise, kami tetap dapat tempat di tepi pagar.

 

Pagar di Punthuk Setumbu ini juga unik. Beberapa kepala pagar dihiasi dengan tiruan stupa Borobudur. Jadi meski bukan di candi itu, vibes-nya tetap ‘Borobudur banget’. Seperti foto paling atas tadi. Orang yang nggak tahu mungkin akan menganggap saya ambil foto ini di Borobudur, padahal diambil dari Punthuk Setumbu. Dan menurut saya pagar ini jadi framing yang bagus untuk foto dan memberi kesan Borobudurnya.

 

Lalu di mana letak Borobudur dilihat dari Punthuk Setumbu?

Candi Buddha terbesar dunia itu dapat dilihat lurus di hadapan pagar, dibalut kabut putih seperti negeri di awan. Mencarinya memang harus teliti karena ia seperti menjadi satu dengan lanskap alam di sekelilingnya. Dan, dilihat dengan mata telanjang, ukurannya memang nampak sangat kecil. Foto-foto yang menampilkan Borobudur dan kabut biasanya diambil dengan lensa dengan kemampuan zoom




Kali pertama main ke Punthuk Setumbu, cuaca agak mendung. Kami ‘hanya’ bisa menikmati lanskap Perbukitan Menoreh yang berlarik-larik. Borobudur tetap terlihat. Namun, kali kedua, cuaca sedang cerah-cerahnya. Kabut yang ada di awal, membuka tabir yang menutupi Gunung Merapi dan Merbabu di kejauhan. Pemandangan itu merupakan surprise bagi saya karena nggak nyangka mereka akan terlihat dari sini. Dan kelihatan jelas banget! Sebab pada kunjungan pertama, dua gunung itu nggak terlihat sama sekali. Kirain memang nggak bisa terlihat dari arah sini.

 

Kunjungan kedua juga menyimpan surprise lain:

Pemandangan sangat menakjubkan dengan matahari yang terbit persis di tengah dua gunung, seperti pada gambar anak-anak. Iya, matahari terbit tepat di antara Merbabu dan Merapi, menampilkan pemandangan seakan dua gunung itu terletak tepat berdampingan. Padahal, meski berdekatan, jarak mereka cukup jauh.


Momen itu tentu aja nggak kami lewatkan lewat kamera. Kapan lagi bisa kebetulan dapat golden sunrise dengan view menakjubkan gini? 

 



 

Kalau ditanya apa kami mengecek kalender astronomi dsb untuk dapat momen matahari-di-tengah ini, jawabannya enggak. Memang rezeki aja. Kami juga kaget kok pas banget, haha. Namun kalau ingin ditelusuri, mungkin bisa cek semacam kalender astronomi(?) untuk memastikan posisi matahari. Foto ini kami dapat di awal bulan Mei 2017.

 

Tips juga untuk yang ingin ambil momen sunrise:

pastikan kondisi sudah siap, baik posisi/kamera/diri sendiri. Pasalnya, detik-detik matahari muncul sampai agak naik (yang artinya sudah ‘agak’ tidak menarik untuk difoto) hanya berlangsung dalam hitungan menit. Dalam foto sunrise di atas, jarak antara matahari muncul dari balik gunung sampai betul-betul kelihatan di langit hanya berjarak 10-15 menit. Beda detik, sudah beda sinar yang didapat. Kebetulan kamera saya agak error sehingga flare matahari terlihat jelas bedanya padahal hanya beda detik. (Kalau kamera normal, kayaknya flare ini harusnya nggak terlihat)

 

Kami tetap tinggal di Punthuk Setumbu hingga matahari naik. Meski momen golden hour sudah lewat, tapi pemandangan setelahnya tetap memesona. Larik-larik lahan dan sawah di kejauhan, siluet pegunungan, dan corak Perbukitan Menoreh sangat sayang untuk dilewatkan.

 

PERBUKITAN MENOREH, PERANG JAWA, DAN PANGERAN DIPONEGORO


Saya nggak mengira bahwa Punthuk Setumbu yang terletak di Kota Magelang ini termasuk dalam Pegunungan Menoreh yang membentang hingga Kab. Kulonprogo. Oh, pantas aja daerahnya berbukit-bukit.

 

Bicara soal Pegunungan Menoreh di Magelang, belakangan juga baru tahu bahwa rangkai pegunungan kapur ini turut menjadi saksi Perang Jawa (1825-1830), perang dahsyat yang dikobarkan Pangeran Diponegoro dan membuat Belanda kalang-kabut. Di buku sejarah zaman sekolah memang disebutkan bahwa Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang sebelum diasingkan, tapi saya nggak nyangka aja kalau hal itu terjadi di dekat-dekat sini.

 

Menurut info, Pangeran Diponegoro ditangkap di rumah Residen Kedu, di Magelang. Beliau kemudian dibuang ke Makassar, Sulawesi.

 

When history meets reality, that’s when I feel stunned by how close we are.

Dulu, saya sempat melongo saat seorang teman mengajak pergi ke rumah teman lain yang terletak di daerah Pleret (Kab. Bantul). Saya ingat betul bahwa nama itu tercetak di buku mata pelajaran sejarah. Kutipannya: “… Pangeran Diponegoro dan pasukannya lalu menyingkir ke Selarong, Pleret, Dekso ….”

 

Bila ingin menelusuri jejak Pangeran Diponegoro dan sejarah Perang Jawa, area Magelang-Yogya ini memang ‘harta karun’ sekali. Gimana enggak, beliau memang lahir, besar, dan tinggal di Yogya. Perjuangannya pun bertempat di area itu. Ada beberapa jejak bersejarah yang kini dikembangkan menjadi tempat wisata sehingga bisa dikunjungi. Salah satunya Gua Selarong yang terletak di Kab. Bantul, D.I. Yogyakarta. Arahnya dari Jl. Godean ke selatan. Tapi, itu cerita untuk lain kali *wink

(still incomplete, more story incoming)


 

BOROBUDUR, "TERATAI" DI TENGAH DANAU PURBA

Mengenai Borobudur sendiri, sejarahnya juga panjang. Candi ini dibuat jauh sebelum Pangeran Diponegoro lahir, bahkan berabad-abad sebelum Mataram Islam (keluarga Pangeran Diponegoro) berdiri. Borobudur dibangun oleh Mataram Hindu.

 

Banyak hal menarik tentang Borobudur, baik penemuannya, kisahnya, maupun bentuknya. Dari semua hal, yang paling menarik untuk saya adalah:

  • kenyataan bahwa candi ini dulu terkubur seutuhnya karena letusan Gunung Merapi. Konon, letusan inilah yang bikin kerajaan yang jaya di Jateng lalu pindah ke Jatim hingga muncul Majapahit dkk.
  • bahwa Borobudur ditengarai dibangun di tengah danau purba. Kabarnya, pembangunan di tengah danau itu dilakukan secara sengaja agar candi ini nampak seperti teratai di tengah-tengah kolam. Very poetic!

(still incomplete, more story incoming)

 


 

💡 TIPS TRAVELLING KE PUNTHUK SETUMBU 

👉 Kalau bisa, di hari kerja supaya nggak ramai

👉 Usahakan jam 05.00 sudah sampai supaya nggak ketinggalan sunrise. Kalau dari Yogya (utara) bisa berangkat jam 03.00 jalan santai (kendaraan pribadi, tentunya)

👉 Kalau ingin lihat Borobudur dengan jelas, bawa binokular atau kamera dengan lensa zoom yang mumpuni

👉 Cek ramalan cuaca! Kalau ingin dapat cuaca cerah & kelihatan gunung. Tapi meski mendung view Borobudur+kabut tetap kelihatan kok, gunungnya yang enggak

👉 Bisa sekalian ke Gereja Ayam. Ada jalurnya dari sini, jadi tinggal jalan kaki (± 1 km, kata penduduk lokal)


📷 Cek posisi matahari! Kalau ingin dapat view matahari terbit persis di antara Gunung Merapi-Merbabu

📷 Cari posisi yang enak & setting kamera sebelumnya. Momen sunrise cepet banget, cuma 15 menit. Bahkan hitungan detik itu matahari sudah beda ketinggian, beda sinar yang masuk lensa




Reading Time:

Jumat, 26 November 2021

Surabaya dari Balik Jendela
November 26, 20210 Comments

 


Gimana cara mengusir kebosanan di-rumah-aja karena pandemi? Ada banyak cara; dari melakoni hobi hingga iseng ikut tren macam bikin dalgona dan puding. Tapi gimana kalau hobinya jalan-jalan? Well, ini sih memang harus ditahan dulu.


Namun, kalau kita termasuk orang yang bisa menahan diri nggak mampir-mampir, jalan-jalan tipis dalam kota masih mungkin dilakukan. Bener-bener cuma jalan atau nyetir kendaraan tanpa berhenti. Paling cuma singgah sebentar buat isi bensin atau beli makanan/jajan yang bungkus bawa pulang.


Sejak sebelum pandemi, saya emang udah doyan muter-muter tanpa berhenti buat cuci mata. Nggak jauh, di dalam kota aja. Ngelihat gedung tua, sawah atau tegalan yang hijau, atau sekadar nyobain rute jalan yang jarang dilewatin. Literally nggak ngapa-ngapain; cuma naik kendaraan tanpa berhenti sambil lihat pemandangan kanan-kiri doang. Kadang disambi hunting foto kalau ada panorama bagus dan memungkinkan buat berhenti.

 

Bahasa umumnya: sight-seeing. Bahasa jowonya: mblakrak.

 

Sejak pandemi dan nggak bisa travelling beneran, ini jadi cara alternatif saya kalau lagi pengin jalan-jalan. Nggak sering, seminggu sekali belum tentu.

 

Kalau di kota/kabupaten yang nggak terlalu ramai, pemandangan ijo royo-royo relatif gampang didapat karena masih banyak sawah, lahan, sungai yang lumayan bersih, plus dekat lembah & gunung. Gimana kalau di kota, apa yang mau dilihat? Surabaya, misalnya?

 

Kalau di Surabaya, saya beralih ke gedung tua. September lalu (kalau nggak salah), saya sempat motret beberapa gedung lawas dari balik jendela mobil, waktu kebetulan melintas di depannya (God bless penemu autofokus!)


Berikut beberapa landmark yang terlewati dari rute Surabaya utara ke selatan

(NB: dibuat berdasar cerita mulut-ke-mulut, jadi besar kemungkinan ada yang bias atau nggak valid. Untuk yang lebih tepat, harap cari sumber lain yang lebih otentik).

 

1. TUGU PAHLAWAN

Tugu Pahlawan (kiri), bendera, dan kantor gubernur Jatim (kanan)
Gambar diambil dari area dalam Tugu Pahlawan, 2015
(foto yg dijepret sambil jalan ternyata burik, jadi pake ini aja)


Monumen juang untuk memperingati keberanian arek-arek Suroboyo (yang hingga kini masih suka bondo nekat) mengusir penjajah. Selain tugu yang menjulang bak pena tembus ke langit, juga ada museumnya. Bentuk bangunan museum ini agak mirip dengan kubah piramid Museum Louvre, Perancis.

 

Di sini juga ada lapangan luas. Dulu pada zaman kerajaan-kerajaan, saat Surabaya masih berupa kadipaten independen, di sinilah letak alun-alun kota. Keraton Surabaya, yang sekarang tak ada jejaknya, terletak tak jauh dari sini. Perkampungan dan ruko yang ada saat ini, dulu adalah perkampungan abdi dalem dan para pekerja kadipaten.

 

Konon, nama-nama jalan di sekitar sini dibuat berdasar jenis perkampungan di masa lalu. Misalnya, Jl. Jagalan yang ditengarai sebagai pusat jagal ternak di waktu itu. Btw kalau nggak salah di sekitar sini juga ada kampung yang di sana ditemukan sumur kuno zaman Majapahit. Tapi saya lupa tepatnya di mana. 

 

 

2. KALISOSOK


Nama ‘Kalisosok’ adalah nama penjara legendaris di Surabaya. Puing bangunan ini masih terletak di kota tuanya Surabaya.

 

Dulu, waktu eyang-eyang pejuang kemerdekaan masih banyak yang hidup, nama bui ini sering disebut dan diceritakan ke kami yang masih kecil-kecil.

“Kalisosok ya … Dulu pernah dipenjara di situ.”

“Kenapa, Mbah?”

“Biasa … ditangkap Belanda.”

 

In frame: bukan Kalisosok, tapi gedung-gedung lawas di sekitarnya. Nuansa kota tua terlihat dari bentuk bangunan dan jendela yang besar-besar khas gaya kolonial. Masih berpenghuni.

 


3. KALIMAS DAN MATARAM



Salah satu sungai besar dan penting di Surabaya yang merupakan sempalan Sungai Brantas. Sungai ini sudah jadi jalur transportasi air sejak zaman Majapahit (untuk masuk ke Mojokerto) dan zaman kolonial.

 

Masih ingat cerita penaklukan dunia oleh tentara Mongol khususnya dinasti Khan? Pertempuran Raden Wijaya, sang pendiri Majapahit, dengan pasukan Mongol utusan Kubilai Khan terjadi di sekitar sungai ini.


Kalimas yang membelah Surabaya
(maafkeun garis animasinya nggak terlalu pas, ngedit di HP)

Nama ‘Kalimas’ punya arti ‘sungai (kali) yang berwarna kuning/keemasan’. Nama ini didapatkan ketika Kadipaten Surabaya sedang berperang dengan Mataram Islam. Saat itu, Mataram Islam yang dipimpin Sultan Agung sedang meluaskan ekspansinya ke Jawa Timur.

 

Pasukan Mataram kesulitan menaklukkan Surabaya karena selain kuat, keraton Surabaya (daerah sekitar Tugu Pahlawan tadi) dikelilingi sungai dan rawa. Mereka pun bersiasat dengan membuang banyak kotoran, termasuk feses manusia, ke Kalimas sehingga airnya kotor dan berwarna kekuningan. Akibatnya, sungai tersebut tercemar sehingga menyebabkan penyakit bagi prajurit dan penduduk setempat.

 

Taktik oldies bioweaponry ini berhasil. Surabaya menyerah.

 

Setelah ditaklukkan dan jadi bagian dari Mataram, beberapa pemimpin Surabaya pun dikirim ke Yogya, pusat Mataram Islam. Salah satunya adalah Pangeran Pekik. Beliau dinikahkandengan adik Sultan Agung dan ikut terlibat aktif dalam pemerintahan sultan.

 

Pangeran Pekik hidup di Yogya sampai meninggal. Beliau dimakamkan di kompleks makam Banyusumurup yang terletak di Imogiri, Kab. Bantul, D. I. Yogyakarta. Tak jauh dari kompleks makam raja-raja. Lokasinya tak jauh dari pertigaan utama ke arah Kebun Buah Mangunan.

 

 

4. JEMBATAN MERAH

Pagar jembatan yang dicat merah tampak di bagian paling kiri dan kanan foto


Selain sebagai penyeberangan melintasi Kalimas, jembatan ini juga dijadikan batas pemisah oleh pemerintah Hindia-Belanda. Bagian barat jembatan merupakan area untuk orang Eropa dan Belanda, sedangkan sebelah timur untuk Tionghoa, Arab, dan Melayu.

 

Makanya bila diperhatikan, gedung-gedung di Jl. Rajawali dan sekitarnya (barat) punya gaya arsitektur ala Eropa, sedangkan area Kyakya dan sekitarnya punya bangunan bernuansa Timur Jauh.

 

Jembatan ini juga jadi saksi penting sejarah perang kemerdekaan ketika Sekutu (Allied Forces) masuk ke Indonesia. Brigjend Mallaby disebut tewas di sekitar sini menjelang pertempuran 10 November.

 

Aaanyway, Jembatan Merah punya lagu yang dibuat oleh Gesang. Keroncong gitu. Liriknya sedih bener, ngegambarin situasi zaman mbah-mbah kita yang ditinggal perang orang terkasih. Coba simak potongannya berikut ini:

Biar jembatan merah

Andainya patah aku pun bersumpah

Akan kunanti dia di sini

Bertemu lagi~

 


5. KYAKYA/KEMBANG JEPUN


Pecinannya Surabaya. Nuansa bisnisnya terasa. Banyak toko dengan pintu folding-gate berteralis berjajar di kanan-kiri.

 

‘Kyakaya’ berarti ‘jalan-jalan’ dalam salah satu dialek Tionghoa (Hokkian, kalau nggak salah *cmiiw). Artinya, tempat ini biasa jadi jujugan untuk jalan-jalan.

 

Namun, ada pendapat lain yang berkata bahwa ‘kyakya’ berarti ‘jalan, jalan!’. Dulu, tempat ini sangat ramai hingga manusia pun berjalan umpel-umpelan. Maka banyak orang berseru, “Kya! Kya!” dengan maksud menyuruh orang di depannya supaya berjalan lebih cepat.

 

Nama ‘Kembang Jepun’ muncul ketika pasukan Jepang datang dan mereka menjadikan tempat ini sebagai jujugan mencari ‘kembang’ *iykwim

 

 

6. HOTEL ARCADIA



Dulu bernama Hotel Ibis. Dulunya lagi, bekas gedung perusahaan Geo Wehry & Co. Ini perusahaan termasuk Big Five di Hindia Belanda pada masanya. Geo Wehry & Co juga punya gedung di kota-kota besar lain, seperti Jakarta dan Padang.



7. SIOLA DAN TP (TUNJUNGAN PLAZA)


Tunjungan adalah pusat jalan-jalan sejak zaman dulu kala, bahkan sebelum ada plaza-plaza yang menjulang tinggi dan sering bikin orang nyasar itu. Demikian juga Siola.

 

Banyak toko; dulu dan kini. Hotel Majapahit/ex-Yamato/ex-Oranje tempat insiden penyobekan bendera Belanda juga terletak di ruas ini. Dengar-dengar, pemkot bakal bikin area ini jadi semacam sentra jalan-jalan.

 

Sama seperti Jembatan Merah, Tunjungan juga punya lagu.

Rek, ayo, Rek, mlaku-mlaku nang Tunjungan

Rek, ayo, Rek, rame-rame bebarengan

Cak, ayo, Cak, sopo gelem melu aku~

 


8. BALAI PEMUDA


Dekat balai kota. Sering jadi tempat pameran dan rute pawai. Dekat situs sejarah patung Joko Dolog juga. Konon disebut 'Balai Pemuda' karena dulu dijadikan tempat kumpul-kumpul para jongens (pemuda/lelaki Belanda). Macam gentleman clubhouse gitu lah. 

 


9. WISMILAK


Menuju selatan, di persimpangan Jl. Dr. Soetomo dan Jl. Polisi Istimewa, ada hiasan jalan berupa rangkaian kandang burung (tanpa burung) yang dihiasi lampu warna-warni. Di selatan ada gedung yang jelas mencolok karena gayanya yang lebih oldies dibandingkan yang lain. Itulah Grha Wismilak.

 

Sebelum masa kemerdekaan, bangunan ini menjadi toko elit bagi warga Belanda. Kemudian, disewa menjadi Toko Yan. Ketika Jepang masuk, mereka menjadikannya asrama Pasukan Polisi Istimewa (Tokubetsu Keisatsu-tai, sekarang istilahnya Brimob). Ketika Sekutu datang pada ’45, para pejuang diultimatum dan diminta menyerahkan senjata ke sini.

 

Setelah Indonesia merdeka, gedung ini pernah jadi kantor polisi RI. Sekarang, gedung ini menjadi milik PT. Wismilak

(sumber: Grha Wismilak | Wismilak Group)

 


10. PINTU AIR JAGIR

Pintu air untuk mengatur volume air. Termasuk cagar budaya karena dibangun (selesai) pada 1917 (sumber: Pintu Air Jagir - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)

 


11. GRAHA PENA

Now the modern time it is!

Salah satu gedung di Surabaya yang ikonik karena bentuk menaranya yang mirip pena. Nggak heran, karena gedung ini milik perusahaan surat kabar Jawa Pos. Tapi, di dalamnya ada beberapa kantor, nggak cuma Jawa Pos aja.

 

Di depan Graha Pena terdapat gedung ‘anak mudanya Surabaya’: DBL Arena. Gedung ini dipakai anak-anak SMP & SMA untuk tanding basket dan suporteran. Biasanya sepulang suporteran anak-anak sekolah ini bakal mampir ke KFC di sebelahnya. Sekarang sih, kayaknya tempat nongkrongnya makin beragam.

 

==========

 

Sekian.

Cerita-cerita didapat dari obrolan, kisah orang-orang tua, virtual tour, dan baca dari beberapa buku dan webpage (yang, maaf, lupa apa aja--bakal ditambahkan kalo udah nemu). Foto dan takarirnya pernah saya jadiin instastory beberapa bulan lalu. Awalnya saya pikir karena cerita tiap tempat (yang saya tahu) sedikit, ngapain ditulis di blog? Tapi akhirnya, "Ya udah nggak apa-apa buat pemanasan nulis lagi", hehe.


Selamat malam. Semoga bisa menikmati Surabaya yang kini sedang dibalut hujan (dan kenangan (?)




Reading Time: