Pendakian Pertama : Penanggungan! - Hijaubiru

Rabu, 16 Februari 2011

Pendakian Pertama : Penanggungan!

Tanggal 21 Januari 2011 lalu, saya bersama rekan-rekan dari SMALAPALA mengadakan pendakian ke Penanggungan. Yah, kegiatan pendakian perdana awal tahun bagi SMALAPALA. Rencananya, pendakian ke gunung berketinggian 1659 dpl ini hanya selama dua hari, yaitu sampai Sabtu, 22 Januari 2011. Namun apa daya, ternyata rencana itu mbleset dan perjalanan kami pun diperpanjang sampai hari Minggu, 23 Januari 2011.

Jumat, 21 Januari 2011

Rencananya kami berangkat setelah maghrib. Tapi entah kenapa jamnya berubah menjadi setelah ashar. Pukul 14.00 WIB saya baru sadar saya mendapat SMS dari salah seorang rekan yang intinya saya harus segera ke sekretariat PA karena kami akan segera berangkat selepas ashar. Wuah, kaget dong! Karena saat itu saya masih ada di masjid sekolah buat pengajian rutin. Segera setelah pengajian selesai, saya langsung shalat ashar lalu ngabur ke sekretariat.
 Setelah ngabur ke sekretariat, bersama teman-teman yang satu angkatan, saya ngabur ke kantin dulu. Ngisi perut. Di sana bertemu Cugos dan temannya. Dan Cugos bilang dia mau ikut! Yay, bertambah satu deh peserta pendakian kali ini. Setelah makan dan memastikan barang-barang bawaan kami beres, kami membantu Cugos mengumpulkan barang bawaannya sedangkan dia sendiri pulang mengambil baju.
 Setelah menggelar upacara pembukaan pendakian, dan ditutup dengan tangis-tangisan dengan teman yang tidak boleh ikut, akhirnya kami pun berangkat pukul 16.30 WIB dengan mobil mas Momon. Berdesak-desakan berdelapan orang di dalam mobil ialah : mbak Nurma, saya, Cugos, Echa, Nishock, Cholis, Afi, dan mas Momon. Sedangkan yang lain (mas Wisnu, mas Vicky, mbak Lisa, mbak Novita, mas Eko, mas Cempi, mas Gales) mengendarai motor. Di dalam perjalanan, kami tiduuurrrr (kami yang ada di mobil maksudnya), membiarkan mas Momon dalam kesendiriannya menyetir mobil.
 Selepas isya kami akhirnya sampai di perkampungan kaki gunung Penanggungan. Di sana kami mengisi perut di warung yang sudah menjadi langganan SMALAPALA-PALAWIJA kalau bertandang ke Penanggungan, yaitu warung Mak Ti. Salat, makan, lalu kami tancap gas menuju ke pos Jolotundo.
 Sampai di pos Jolotundo, kami menyiapkan barang bawaan, mengecek senter dan lain lain, dibariskan, lalu kami saling menumpukan lengan, membentuk bundar lingkaran, dan berdoa berbarengan demi keselamatan perjalanan (saya baru nyadar bahwa kalimat di paragraf ini membentuk rima a-a-a-a). Pukul 22.10 WIB, bertigabelas (tanpa mas Gales), perjalanan pun dimulai!
Alhamdulillah, jalannya nggak sulit. Yah emang ada beberapa bagian yang licin, tapi alhamdulillah semua itu bisa diatasi. Jalannya juga nggak curam, jadi bisa nyantai jalannya. Karena jalannya nyantai, saya manfaatkan keadaan ini buat ngelihat-lihat pemandangan sekitar. Sekitaran emang gelap. Tapi kalau saya lihat ke atas, subhanallah, yang ada langit biru gelap dihiasi lingkaran besar bulan yang sedang purnama, dengan siluet hitam pepohonan yang menjulang tinggi ke langit. Woaah, keren banget dah! Sampe speechless saya, ternyata pemandangan yang selama ini cuma bisa saya lihat lewat hasil googling-an, sekarang bisa saya lihat dengan mata kepala sendiri!
 Tapi tiba-tiba terjadi musibah. Kaki mbak Novi sakit dan nggak bisa dipakai jalan. Jadilah kami break down sejenak. Memijit-mijit kaki mbak Novi, menenangkannya, dan memberi kata-kata penyemangat. Akhirnya mbak Novi pun berjalan kembali. Namun selang beberapa meter, kaki mbak Novi kembali error. Begitu seterusnya sampai satu yang paling parah, mbak Novi udah ngerasa nggak bisa, sampai ditawari mas Cempi buat bikin dome di situ, sampai hampir disuruh balik oleh mas Eko, sampai Cugos merelakan diri buat jadi sandaran mbak Novi selama perjalanan, dan sampai-sampai yang lainnya, alhamdulillah akhirnya mbak Novi mau melanjutkan perjalanan. Biarlah kaki error, semangat yang menggerakkan bagian tubuh yang lain untuk maju.
 Cobaan kedua. Jalur Jolotundo ini katanya emang jalur ‘mistis’. Saya nggak tahu maksudnya mistis apaan, cuma emang rada ngeri karena jarang dilalui orang sehingga jalur-jalur yang terbentuk mulai hilang. Contohnya nih, waktu kami ngikuti sebuah jalur, eh, tiba-tiba di tengah jalan jalur itu putus, tiada jejak. Setelah beberapa orang mengecek ke depan, barulah ditemukan sambungannya. Jalur putus ini bukan hanya disebabkan oleh jarangnya orang yang melewatinya aja, namun juga karena hutan ini vegetasinya cepat. Kata mas Cempi, kalau tahun ini kita bikin jalur trus tahun depan kita ke sini, insyaallah yang namanya jalur yang kita buat udah nggak ada lagi karena udah ditutupi pepohonan dan semak-semak.
 Beberapa kali kami sempat kehilangan jalur sama sekali. Dicari ke depan, nggak ada terusannya. Akhirnya mbak-mas kelas 11 melakukan ormed (orientasi medan, mencari arah yang benar lewat peta dengan menghitung sudut dan lain-lain). Setelah ketemu arahnya, mas Vicky bergantian dengan Afi membuka jalur.
Perjalanan begitu terus. Mastiin arah, buka jalur, jalan, mastiin arah lagi, buka jalur lagi, jalan lagi. Tapi percaya deh, asyiiik banget! Soalnya pengalaman kita bertambah. Ilmu kita juga bertambah, yaitu penerapan ormed dalam perjalanan yang sesungguhnya. Dan tentunya koleksi pemandangan kita bertambah. Begitu posisi kami udah agak tinggi, lampu-lampu kota di kejauhan pun terlihat. Warna-warni. Kelap-kelip. Kuereeeen!!!!

Sabtu, 22 Januari 2011

 Pukul 02.30 WIB, dini hari, kami sampai di sebuah kompleks candi (gunung Penanggungan ini penuh dengan puluhan candi yang dibangun zaman Majapahit). Di situlah kami mendirikan dome karena ternyata perjalanan ke puncak masih jauh dan kami, kelas 10 yang masih pemula, sudah tepar setepar-teparnya. Ngantuk. Pengennya cepat pake jaket tebal terus merangsek masuk ke dalam dome dan tidur pulasss.
 Nah, bertambah satu ilmu lagi nih. Yaitu mendirikan dome. Karena saya dan teman-teman yang pernah tergabung dalam Pramuka sudah lama tidak mendirikan dome (saya terakhir mendirikan dome waktu kelas 5 SD), akhirnya kami harus mereka-reka dibantu mbak-mas kelas 11.
 Dome pun jadi. Barang bawaan ditata. Kami pun bersiap-siap untuk tidur. Dome yang baru saja kami bangun khusus diperuntukkan para perempuan. Sedang yang cowok tidur di luar, baik dengan matras ataupun sleeping bag. Para senior (mas Cempi dan mas Eko) tidur di dome mereka. Yang ndewi adalah mbak Lisa. Mbak Lisa nggak tidur di dalam dome cewek, tapi malah nggak tidur dan duduk di luar.
 Sudah, sudah, ayo tidur...... Zzzzz......
 Subuh kami bangun. Setelah salat shubuh ditemani udara yang dingin kayak masuk di dalam kulkas, kami membuat sarapan. Mie rebus dan kopi cukup membuat ngiler (inget, ini di gunung. Makanan sederhana itu sudah enak banget. Ke jurang aja dah, kalo pengen sarapan pizza. Kecuali emang bawa). Setelah sarapan, melipat dome, packing, ormed sebentar, dan pukul 07.30 WIB akhirnya kami tancap gas menuju puncak.
Selama perjalanan merupakan saat-saat kami melihat layar lebar dibentangkan di depan kami, lalu ditampilkan pemandangan yang berbeda setiap slide-nya. Yah, perjalanan pagi itu memang kayak begitu. Setiap beberapa ratus meter, pemandangan di kanan-kiri kami selalu berganti. Ada monyet liar sedang bergelantungan, suara anjing hutan, menemukan sarang lebah segede carrier di atas pohon, menemukan candi dan cand i lagi, menemukan sebuah pohon yang buahnya seperti ceri tapi warnanya seperti jambu air, melewati Kali Mati (sungai yang sudah tidak dialiri air), memandang gunung sebelah yang tebingnya terlihat dan membuat kami berpikiran untuk rock climbing di situ, naik-turunnya medan berbatu dan berkarang. Hingga akhirnyaa.... sampailah kami di puncak. Allahuakbar!

 Di bawah kami, terdapat sebuah tanah datar yang menyerupai lapangan. Ternyata, lapangan itu dulunya adalah kawah gunung Penanggungan. Setelah berfoto sejenak, kami menuju ke sebuah gua kecil di sisi kawah. Rencananya, di situlah kami bakalan nge-camp.


 Setelah menaruh barang-barang, kami menuju sisi puncak Penanggungan yang tertinggi, yaitu puncak jalur Tamiajeng. Di sana, kami melakukan salat jama’-qashar dhuhur-ashar. Anginnya, duh, bikin beku badan. Ponco yang kami gunakan sebagai sajadah harus ditindih batu besar supaya nggak kebat-kebit. Buat yang cewek, harus memegang mukenanya kuat-kuat supaya mukenanya nggak terbang. Nah, saat kami sedang khusyuk-khusyuknya shalat, hujan rintik-rintik pun turun. Waktu kami sudah selesai shalat dan akan kembali ke gua, hujan pun sudah turun dengan lebatnya.
 Sampai di depan gua, 2 dome sudah berdiri. Tas-tas segera kami taruh di sisi-sisi dome agar dome tidak diterbangkan angin. Habis, anginnya ngeri. Kenceng banget, kayak angin ribut. Setelah mengamankan barang bawaan, kami pun bisa duduk dengan tenang di dome dan makan pilus.
 Namun ketenangan tidak berlangsung lama. Saat saya menyadari bahwa air hujan masuk ke dalam dome lewat bawah tenda, juga lewat bagian dome yang tidak tertutup cover, kami semua baru nyadar bahwa kami belum membuat parit di sekeliling dome. Susah payah mengamankan bagian tengah dome, pada akhirnya kami ngungsi juga ke gua. Barang bawaan yang tidak boleh basah dan sekiranya kami butuhkan nantinya, kami keluarkan dari dalam carrier dan kami letakkan di ujung gua berukuran 3x3 meter itu.



 Sempat down juga kena badai. Ini pendakian pertama, dan langsung kena badai. Dengan santainya senior bilang, “Kalian waktu diklat nggak hujan toh? Nah, sekarang ini hujan. Supaya kalian juga ngerasain, hujan di alam itu gimana”. Iya, deh, Mas.
 Kami makan siang di gua . Makan siang yang udah dingin karena udah matang daritadi itu mengisi perut kami yang keroncongan dan kedinginan. Setelah makan siang, kami mengisi waktu dengan saling bercerita. Kakak kelas bercerita tentang diklat mereka, senior bercerita tentang pendakian-pendakian mereka, dan kami mendengarkan dengan antusias. Kami juga saling menjaga agar di antara kami tidak ada yang tidur. Soalnya, baju kami basah. Mana udara dingin. Kalau tidur, bisa-bisa kena hypothermia (penyakit badan beku karena kedinginan. Kalau kebablasan, bisa menyebabkan kematian). Karena kalau manusia tidur, panas tubuhnya akan lepas. Akhirnya badannya dingin, tambah dingin, beku, dan pada akhirnya meninggal. Dalam beberapa kejadian, bisa menyebabkan cuma beberapa bagian tubuh aja yang beku. Itu aja bagian tubuhnya harus diamputasi supaya nggak merembet ke bagian tubuh yang lain.
 Back to the topic.
 Menjelang maghrib badai selesai. Beberapa kakak kelas dan senior keluar gua untuk mengamankan barang-barang. Meskipun badainya udah selesai, tapi dinginnya, wah, freezing! Saya cuma mengeluarkan sebagian lengan keluar gua, dan bulu-bulu halus saya langsung berdiri. Akhirnya setelah beberapa saat, saya memberanikan diri keluar gua. Yang lain akhirnya juga keluar, pergi ke bagian yang lebih tinggi untuk mencari sinyal. Wuih, dari ketinggian, lampu kota yang kelap-kelip kelihatan lebih indah dari permata (ceile...).


 Pukul 20.00 WIB, karena beberapa teman harus pulang secepatnya, kami pun akhirnya bersiap-siap. Packing, melipat dome, dan lain-lain. Pukul 21.20 WIB kami sudah siap untuk turun gunung.


Minggu, 23 Januari 2011
 Kami turun melalui jalur Tamiajeng. Jalurnya lebih cepat, katanya, tapi lebih curam. Jalannya berbatu-batu dan berkarang-karang. Kami sudah ngantuk. Bahkan ada beberapa orang yang jalan sambil tidur (dan hebatnya, mereka tidak jatuh ataupun cedera. Yah, kalau jatuh ada sih. Maksudnya, tidak cedera saat jatuh). Jarak antar orang rasanya semakin jauh, kecuali orang-orang yang jalannya cepat. Berkali-kali break down dan break up untuk menunggu orang yang berjalan di belakang. Beberapa orang sudah kelihatan downdy. Tidak terkecuali saya, yang baru beberapa ratus meter turun dari puncak aja sudah ‘digampar’ batu di lutut dan kepala saya. Belum jatuh-jatuh kalau jalannya licin atau curam. Mata pun rasanya udah dikantongi terigu satu ton dan pengennya buka dome aja.
 Pfiuh, rasanya lega banget waktu mas Vicky bilang, “Ayo, makadamnya seratus meter lagi!”. Wah, mata saya langsung berbinar dan bersinar, otak saya rasanya fresh, rasanya jalan udah semangat lagi. Akhirnya, saat kami sudah mendekati perkampungan, jalannya mulai landai dan berubah makadam (jalan berbatu). Melewati beberapa ladang tebu, jagung, dan rumah tak dihuni, akhirnya sampailah kami di jalan beraspal. Shalat shubuh yang udah lama lewat, lalu melanjutkan perjalanan ke warung Mak Ti.
Kami mandi dan sarapan. Sarapan viking, kalau saya bilang. Sarapan banyak-banyak, karena udah dua hari nggak ketemu nasi dengan lauk yang wah. Meneladani kakak-kakak kelas yang begitu turun gunung langsung minum soda, saya dan satu angkatan pun langsung memesan es mega mendung (sueger!). Tapi kalau kami hanya memesan satu gelas, kakak kelas memesan dua gelas! Kalau kata mas Momon, kami pasti lega karena sudah kembali ke peradaban.
Setelah badan sudah bersih dan perut sudah diisi, kami pulang ke Surabaya. Di sekolah, langsung menggelar upacara penutupan. Pendakian pun berakhir.

4 komentar: