Hijaubiru: Curhat
Tampilkan postingan dengan label Curhat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Curhat. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 02 Maret 2024

Reminiscing Narnia
Maret 02, 20240 Comments
Soca Valley (Lembah Soca), Slovenia - 
- Salah satu lokasi film Narnia: Prince Caspian -


 [NB: Mengandung spoiler


Beberapa waktu ini sedang suka-sukanya (lagi) sama film Narnia, termasuk sekuel-sekuelnya. Film masa kecil ini nggak cuma punya cerita yang menarik, tapi juga sinematografi yang bagus dan setting tempat yang keren-keren (dan bikin pengin lihat lokasinya langsung, haha). Di mata saya.

 

Kesannya soft dan eloquent (brb nyari padanan katanya) untuk film yang di dalamnya ada cerita perang, makhluk buas setengah manusia, dan adegan-adegan bertahan hidup yang bikin deg-degan.

 

Gara-gara mengenang kembali film ini, saya jadi ‘disadarkan’ betapa waktu sudah berlalu cukup lama.

 

Apa hubungannya?

 

Awalnya, saya nggak sengaja lihat credit sebuah film. Di sana ada satu nama aktor yang pernah main di film Narnia. Penasaran, saya browsing gambar-gambar film itu. Kening saya berkerut. ‘Kok kayaknya nggak ada wajah yang familiar, ya?’ Rasanya nggak ada wajah pemeran tokoh Narnia dalam scene-scene yang bertebaran di film baru ini.

 

Browsing lagilah saya. Kali ini menyertakan nama pemeran+judul filmnya. Lalu… jeng jeng!

Tampaklah sebuah wajah nggak familiar…

 

… yang, ketika dilihat lebih teliti, ternyata mirip dengan salah satu aktor Narnia.

 

Ya gimana nggak mirip, lha wong mereka emang orang yang sama! Wajahnya tambah dewasa aja.

 

Kini saya yang terperangah. Membatin, ‘Seriusan?’

Pasalnya, nama dan wajah yang tersimpan di ingatan saya adalah sosok mas-mas 17 tahunan; sekitar usia SMA atau anak kuliahan. Bukan wajah seseorang yang lebih mirip seperti bos berpengalaman/very gentlemanly-looked gent.

 

Beda banget dibanding dulu. Lalu saya pun menghitung waktu. Ah, udah lebih dari sepuluh tahun semenjak saya pertama nonton Narnia. Itu pun beberapa tahun setelah tanggal rilisnya. Ya… pantas aja kalau wajah aktornya sudah berubah.

 

Di saat yang sama, melihat foto wajah itu, rasanya saya seperti melihat sebuah cermin. Bukan, bukan karena parasnya yang rupawan lalu saya merasa tampang saya ikut cakep juga (LOL), tapi lebih ke usia. Dia yang dulu muda, sekarang udah nampak lebih dari dewasa. Berarti saya juga bertambah  tua, dong!

 

*Sigh*

Namanya hidup memang tambah tua, bukan?’ Saya berkata pada diri sendiri.

 

Memang ada betulnya perkataan orang: kadang, kita nggak berasa kalau bertambah tua atau bertambah usia. Kita baru berasa saat ngelihat orang lain yang bertambah tua. Ortu dan om-tante yang dulu tegap lalu sekarang bungkuk dan mulai ompong, teman-teman yang kini jadi ayah-bunda, adik bayi yang dulu kita jagain yang sekarang udah SMP/SMA bahkan kuliah.

 

Lantaran menemukan fakta bahwa aktor dari film masa kecil kini nggak lagi muda, saya seperti ‘baru melihat’ realita. Seperti udah mengetahui sesuatu, tapi sekarang baru ‘berasa’.

 

The reality that we’re—I am—getting older rarely really sinks in until I see other people age.

I shouldn’t be surprised, but I was  ðŸ˜…


Yah... kayak waktu mengenang film Narnia tadi.



Reading Time:

Jumat, 01 Oktober 2021

Growing Morning Glory
Oktober 01, 20210 Comments








My morning glory sprouts died. 


Today, yesterday, and five days ago. The three of them, gone. 


Perhaps it's because they couldn't stand the scorching dry season (which suddenly came again again after a few days of rain) eventhough I'd put them under the shades most of the days. BUT, when I put them inside the house, they wouldn't grow! Not even by half centimetre!


Let me retell their short life-story.


I submerged the seeds overnight (24h, precisely) and planted them in a pot the next day. 3 of them was showing the signs of germination, while another 2 didn't. But, these 2 seemed to become softer. One of them even appeared to shed its seed coat.


I put those 2 seeds in a plastic pot and the other 3 in (different) dried coconut shells. 


The next day, all of them sprouted except the shedding one. I don't know whether that seed was damaged or the sprout had been eaten by rats or cats (they're everywhere, huft!). A few days gone by and they grew splendidly. I water them once every evening and they grew longer and longer.


Since wild cats and rats roam freely in the neighbourhood, I decided to bring the survived sprouts inside the house every nightfall. At first I put them in a room with a little sunlight. But, when I recognise that there were almost no visible change in their height, I moved them to a room with more sunlight. 


The moving didn't change anything.


So I suspected that, maybe, they craved outdoor sunlight and micro-climate. Therefore, I brought them outside again and put them under the shades where they first sprouted. After that, I went out.


When I was home in the evening, I immediately check them and one of them had withered! 🥀


I didn't think of anything at that time. I thought that a cat stepped on it or something. I tried to revive it by watering it and  giving it a small stick to stand, but to no avail.


That day, I brought them inside again. They are inside for 1-2 days and then I brought them outside for a half day.


In the end of afternoon, again, one of them was wilting.


This time I was sure that it wasn't because of the cats or rats, but it was really lacking water or moisture. Like always, every nightfall I put them inside again.


I was heartbroken this time. But the most disheartened moment was when YESTERDAY, one of the sprout which previously has been EXTREMELY OKAY with no signs of wilting or sick or anything, WILTED!


I mean, what has gone wrong? You're inside, safe from the scorching heat, not even only by the shades but also by the thick house walls and I water you everyday and yesterday YOU WERE COMPLETELY FINE but why you're like this now?


I tried to revive it by water the pot to the max and place a stick to help it stand, but this morning I found it has been impossible to be saved.


Maybe it was the climate?


I live in a tropical country. The humidity is enough, there were no strong wind these days, but the weather for the last few days, I admit, was scorching. Usually it's hot but these days it feels like there's no 'cool wind' or even 'wind'. Perhaps this is the cause?


Or maybe, it's because of the container? I mean, the non-survivors are the seeds that I planted in the coconut shells. Maybe because of the shell's water capacity or something?


I don't know.


Considering the heat, I decided to plant the other seeds when the rainy season has come. Perhaps then it'd be safer. I was thinking that because of the flower's origin, it can't stand heat. I mean, I rarely see morning glory here. I saw them once, on a fence, but the fence was located in a mountain region. Of course, with cooler climate. 


CMIIW, I think that morning glory originally comes from four-season countries. I knew them from a Japanese film.


I fell in love with morning glory after watching Mamoru Hosoda's Summer Wars (サマーウォーズ). I fell in love with how the green vines covered the wooden fence and shades and adorned them with bright blue or purple flowers. 


We actually has a plant which has similar flower with morning glory: kangkung (water spinach/Ipomoea aquatica) -- same as morning glory which is an Ipomoea too . It has light-purplish colour. However, this plant isn't an ornamental plant. We grew it for the leaves to be eaten so we rarely grew them until it flowers (and I don't know how to get them to flower. It just kind of happen once in a while). It doesn't have vines too, but rather a herbaceous soft stalk. These stalks will collapse if it gets taller than mere 50 centimetres. It has different form of leaf, too


Let's hope the next sprouts will be able to grow well.


------------------------------------------------------------------

Windowsill and flowers are vectors from pngwing.com
which then were assembled together
Reading Time:

Minggu, 12 September 2021

Sepuluh Tahun Semeru
September 12, 20210 Comments



Mengapa angka 3, 5, 10, dan kelipatannya sering dijadikan patokan buat memperingati sesuatu? Entah. Namun, mungkin karena saking sering dan saking lazimnya, bawah sadar saya pun jadi ikut pakai angka itu. Tahun ini adalah selang sepuluh dan enam tahun sejak saya terakhir pelesir ke kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS). Tepatnya Juni-Juli lalu.

 

Wah, udah selama itu? Pantesan kangen!

 

Juni-Juli-Agustus memang selalu jadi bulan penuh liburan, penuh petualangan, dan kini, penuh kenangan. Apa lagi sebabnya kalau bukan karena libur panjang dari sekolah yang bikin bisa bebas mbolang ke mana-mana.

 

Dan, nggak tahu, deh, TNBTS memang selalu punya tempat tersendiri di hati biarpun gunung-gunung lain yang pernah saya sambangi juga nggak kalah cantik. Mungkin karena rangkaian pegunungan ini adalah cinta pertama saya. Gunung pertama yang saya kunjungi ada di sini, yaitu Gunung Bromo.

 

Masih ingat banget betapa mata saya membulat takjub waktu ngelihat hutan-hutan rapat plus perbukitan menjulang di kanan-kiri. Kemilau kerlip Bimasakti dengan latar belakang langit bergradasi hitam-biru-ungu terekam jelas. Pun bekunya udara pukul tiga pagi yang menelusup halus lewat celah jaket ketika kami harus turun dari mobil demi menanyakan arah.

 

Beberapa tahun kemudian, saya melawat ke sini lagi untuk mendaki Gunung Semeru. Kali ini, yang bikin berkesan selain pemandangannya —yang masih juga breathtaking yaitu ‘misi’-nya. Buat anak sekolahan yang lemah fisik kayak saya, mendaki Atap Pulau Jawa adalah satu tantangan dan kebanggaan tersendiri.

 

Ah masa, sih, lemah?

Yes, seriously, I was.

 

Sebagai gambaran, saya nggak pernah nggak remidi ujian lari sejak SD hingga tamat SMP. Saat masih awal-awal berseragam putih-merah, saya bakal sesak napas kalau bawa ransel yang lebih berat daripada biasanya. Saat ada upacara bendera, mbak-mbak PMR adalah teman yang familiar karena saya sering mundur dari barisan dan izin duduk lantaran nggak kuat berdiri tiga puluh menit. To be noted, ini masih berlangsung sampai awal SMA.

 

Kemudian, segalanya berubah (halah!). Entah karena hasil digembleng habis selama satu tahun, atau gara-gara pengin banget bisa naik gunung, atau kombinasi keduanya, pelan-pelan fisik saya jadi lebih tangguh. Jauh, jauh, lebih tangguh daripada setahun sebelumnya, alhamdulillah.

 

Anak yang setahun lalu nggak kuat berdiri kalau upacara, kini atas izin-Nya bisa berangkat ke puncak tertinggi di Jawa. Catatan perjalanan untuk pendakian ini pernah saya ceritakan di sini.

 

I’d never have guessed.

 

Pendakian kali itu bikin saya makin kesengsem dengan TNBTS, apalagi ranu-ranunya. Empat tahun kemudian, saking kangennya dengan Ranu Regulo, saya main ke sana lagi. Hal yang spesial dari perjalanan kali ini adalah: alhamdulillah bisa explore TNBTS komplet mulai dari desa warna-warni Tosari, Kaldera Bromo, Lautan Pasir, Bukit Teletubbies, hingga Ranu Pani-Regulo. Dua hari, pakai sepeda motor keluaran ’99, di bulan puasa. Oh, of course bukan saya yang nyetir, hahahah. Nggak ke Ranu Kumbolo sekalian? Enggak, soalnya emang nggak berniat hiking. Selain itu, emang lagi kangen sama Ranu Pani-Regulo aja (buat ngehidupin vibes bikin cerpen, LOL).

 

Kemudian, musim berganti. Tahun-tahun kelipatan 3, 5, dan 10 pun hadir. Nggak terasa sudah sepuluh tahun berlalu semenjak hiking ke Semeru dan enam tahun setelah explore Bromo. Selain dipakai untuk patokan suatu momen, ternyata angka-angka ini juga turut dijadikan pembanding oleh manusia. Termasuk saya, meski tanpa sadar. Dan kemudian, secara sadar, diri ini jadi turut membandingkan keadaan kala itu dan situasi saat ini.

 

And it was quite disheartening.

 

Bukan karena ‘dulu bisa naik gunung, sekarang nggak bisa’. Ya lagi pandemi mau gimana lagi. Tapi lebih karena ‘dulu mampu naik gunung dan segala hal lainnya, sekarang personally nggak mampu’. Dan berakhir jadi ngebandingin banyak aspek lainnya.

 

Sering dulu, zaman sekolah, kami diminta memproyeksikan kira-kira apa yang akan dan mau kami lakukan 3, 5, 10 tahun ke depan. Diminta nulis daftar mimpi dan target juga. Apa karena mimpi yang tercoret nggak banyak, jadi kecewa?

 

Nggak juga. Dari awal saya emang sudah sadar kalau nggak mungkin target seratus biji (dulu kayaknya saya sih nggak sampai seratus juga) itu semuanya bisa tercapai on time ataupun a bit overdue. Karena itulah dibikin banyak biar seenggaknya ada beberapa yang nyantol. Well, it doesn’t matter. What hits me the most was because the grand design I meticulously planned crumbled, almost into ash.

 

It wasn’t about the targets, really. Bukan tujuan yang nggak tercapai yang bikin down, tapi karena langkah-langkah menuju ke sana pun sudah lebur dan hablur.

 

Many people says that the timing or age isn’t everything, but we know that’s not true. Kita semua punya limit waktu. Berita buruk atau baik? nya, kita nggak tahu limit itu kapan. Ini lebih dari ‘sekadar’ limit kematian, tapi juga tentang golden moment; masa di mana waktu dan sesuatu bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya, seoptimal-optimalnya, semaksimal-maksimalnya.

 

And I missed that.

Damn.

 

Seberapa buruk, sih?

 

Sebagai bayangan: saya lebih lemah daripada zaman sebelum ditatar. Masih ingat kalau di atas ada cerita bahwa saya nggak tahan ikut upacara? Well, sekarang lebih ringkih daripada itu.

 

Physically, academically, dan -ly -ly yang lain.

 

Mungkin karena kamu ngebandingin sama orang lain, kali?

 

Eh, semua orang dekat tahu betapa cueknya saya kalau soal beginian, wkwk. Nggak menyangkal, kadang pengin juga kayak teman-teman lain yang sudah stable. Namun, perasaan itu hanya sebagian keciiil dari wujud utuh emosi yang menggerogoti. Saya jarang banget membandingkan diri sendiri dengan orang lain (ya karena cuek mendekati masa bodoh tadi), tapi lebih dari sering membandingkan saya-versi-nyata vs saya-versi-cita-cita.

 

Berkaca dari exploring TNBTS tahun-tahun itu, sebenarnya saya punya proyeksi gunung apa yang ingin saya gapai sepuluh tahun dari itu (atau sepuluh tahun lebih sedikit, deh). ‘Hanya’ satu gunung, kok. Di luar Indonesia, memang, tapi kurang terkenal. Tertinggi di negara/benuanya saja, enggak. Namun kalau diibaratkan, gunung ini adalah titik kulminasi secara harfiah maupun kiasan dari rangkaian target dan rencana hidup yang pernah saya buat.

 

*Sigh*

 

Sama seperti naik gunung yang kudu latihan dulu, kudu bikin manajemen perjalanan dulu, atau kudu ngalami gagal dulu, hidup pun sebenarnya begitu. Cuma kan beda yaaa rasanya (dan skalanya) antara mbeleset hiking gunung dan hiking kehidupan. Coping mechanism dan pengobatan rasa kecewanya juga beda, meski ya mirip-mirip sih kayaknya.

 

I’m trying.

 

Satu telepon dari seorang sahabat, Agustus lalu, jadi semacam suntikan semangat dan wake-up call  bahwa ‘hey, you did it in the past. I’m sure you can do it again, now, albeit slower and weaker. The point is: you can. Focus on that and don’t count the steps, for the time being. Don’t even think about calculating your progress. It’ll only send you backwards and upset. Just. Walk. I believe you can.’

 

Dia nggak literally bilang begitu, sih. Tapi kurang lebih begitulah maksud yang saya tangkap.

 

Gimana kalau salah tangkap?

 

Well I don’t care.

 

Salah satu ‘suntikan’ yang dibutuhkan orang yang lagi down adalah rasa percaya kalau dia bisa bangkit lagi; balik berdiri lagi. Entah rasa percaya dari dia sendiri atau dari orang yang dekat dengannya. Entah dari kata-kata yang memang bermaksud mendorong atau dari kalimat yang sebetulnya nggak bermaksud demikian tapi dia menganggap bisa membangkitkan. Suntikan semangat sekecil apapun bisa jadi booster yang punya daya dorong luar biasa bila ybs punya sugesti demikian.

 

Yah … semoga ‘suntikannya’ masih cukup sampai ‘yang disuntik’ mampu lagi berpijak kuat seperti masa yang telah lewat.


Reading Time:

Rabu, 30 Juni 2021

Platform & Komunitas Nulis, Kenapa Milih Itu?
Juni 30, 20210 Comments




“Kamu nulis di xxxx, kenapa nggak nulis di xyxy?”
 
Beberapa teman menyebutkan sejumlah platform kepenulisan, non-fiksi dan fiksi. Beberapa memang platform besar yang sudah banyak orang tahu. Platform lebih besar tentu berarti pembaca yang lebih banyak. Berarti juga, ‘mata-mata’ penerbit juga sudah terbiasa terjun ke sana untuk scouting naskah yang berpotensi dibukukan.
 
Jadi, kenapa lebih milih nulis di platform yang belum terlalu banyak orang tahu?
Dan, kenapa milih komunitas/grup belajar nulis tertentu?
Caution: ini tulisan bakal panjang karena ada curhatannya juga, wkwk
 
(1)
Salah satu alasannya justru itu: karena orangnya masih sedikit. Yaa sekarang sih nggak sedikit-sedikit amat, meski jumlah penggunanya masih kalah jauh dengan platform satunya yang lebih sohor. Namun, jumlah yang sedikit itu justru jadi peluang. Logikanya, kalau ada lebih sedikit orang lalu kemampuannya agak menonjol, maka peluang ‘dilirik’ lebih besar juga, kan? Beda kalau orangnya lebih banyak. Tentu bukan ‘agak’ lagi, tapi harus sangat menonjol.
 
(2)
Kedua, vibes-nya. Beberapa platform banyak mengusung tema percintaan sebagai trademark. Percintaan remaja, dewasa, hingga cerita stensilan. Tentu, nggak semuanya. Kisah yang bagus atau sarat makna juga banyak, baik yang bertema asmara ataupun bukan. Namun, seringkali views-nya kalah jauh dengan cerita-cerita di atas. Sayangnya, cerita-cerita bagus ini nggak masuk di menu Recommended platform ybs karena ya itu tadi... views-nya sedikit. Jadi pembaca yang mau nyari ya agak rumit.
 
Saya nggak masalah kalau cerita percintaan. Tapi letak masalahnya pada ini: substansi.
(Sok iyes banget, sih!
Emang! Hahaha.)
 
Saya suka novel roman. Jangankan yang berat kayak Pride and Prejudice, yang ringan macam Winter in Tokyo dsb-nya aja saya lahap. Lha emang pada dasarnya hopeless romantic (ups, ini sih trait di The Sims, hehe).
 
Beda Winter in Tokyo dkk dengan cerita cinta di platform ybs dkk adalah isinya. Di novel-novel tsb, meski poin utamanya tetap cerita cinta, yang diceritain nggak melulu soal asmara. Misalnya, ada nih cerita soal lokasi tertentu, kultur atau kebiasaan tertentu, konflik sosial tertentu, dll dsb yang larut ke alur cerita dan bukan tempelan. Bahkan, kerjaan tokohnya aja bisa jadi tambahan kisah.
 
Kalau di beberapa platform, maaf, klise. Topiknya nggak jauh-jauh dari kisah cinta cool CEO-bawahannya, dosen-mahasiswanya, atau malah sugar daddy. Atau perjodohan, pernikahan terpaksa, mencintai tapi tidak dicintai yang penuh tangisan bombay, abusive relationship yang ber-ending si tokoh laki-laki jatuh cinta dan tobat, dst.
 
‘Uniknya’, meski tokohnya CEO/dosen/the most eligible bachelor and exec, nggak ada cerita gitu lho soal kerjaannya, sedikiiit aja. 
Bahkan nggak jelas si CEO ini perusahaannya bergerak di bidang apa. Kalau rapat ya cuma dibilang meeting. Cuma diceritain dia masuk ruangan, menjelaskan (mbuh opo), terus direksi bilang “Saya suka, kita terima!”. Kayak tempelan gitu lho.  Pokoke CEO, tajir melintir, punya power. Misalnya nih, gawean si tokoh diganti jadi karyawan/staf biasa tapi tajir dari sononya, nggak bakal berefek banyak ke alur cerita.
 
Ada pula cerita-cerita yang mirip sinetron di TV atau akun gosip instagram. Bedanya cuma: ini bentuknya tulisan. Perselingkuhan, pelakor/pebinor, konflik menantu-mertua, konflik suami-istri, pernikahan dipaksa orang tua, rebutan pacar, dsb. Kadang dibumbui pesan agamis yang sayangnya cuma tempelan dan agamanya asal tafsir pulak! Biasanya yang ‘islami’ bertopik taaruf, pernikahan, dan poligami. Tapi, isi yang dibahas ya itu-itu aja. Klise, kayak udah template gitu. Cuma beda nama tokoh aja.
 
Jadi kasihan nggak sih sama yang Islam beneran, taaruf dengan benar, nyunnah beneran, dsb. Image-nya jadi gini amat di masyarakat. Padahal mereka yang beneran ini bisa seratus delapan puluh derajat sama tokoh yang diceritakan. Beda banget! Ya gini yang bikin image Islam (atau kelompok lainnya) amburadul: ulah oknum.
 
Oh, satu lagi. Fanfiction artis atau idol tapi dibikin cerita kasur. ‘Kasur’ ya, bukan lagi fanfiksi normal/sekadar selipan/sastra wangi, tapi betulan vulgar adegan per adegan tanpa cerita lain sama sekali. Jadi kasihan artis/idolnya nggak sih, dibikin fantasi liar begini. Satu lagi, soal fanfiksi artis ini juga mirip sama CEO-CEO-an tadi: profesi tempelan. Cuma dibilang ‘syuting, sibuk’. Lah terus? Misal si idol diganti bukan artis tapi orang berprofesi lain kayaknya nggak ngefek. Sama-sama sibuk juga toh?
 
Daaaan, cerita stensilan serta abusive relationship menjamur di sana. Dan ini laku abisss, views-nya banyak. Inget sinetron Zahra yang diprotes tayang beberapa waktu lalu karena nunjukin glorifikasi pernikahan di bawah umur? Cerita kayak gini bejibun, Bung!
 
Jadi ini: mulai dari background tokoh, setting, sampai konflik banyak yang tempelan. Nggak substansial (halah bahasane!). Plus, cerita seperti itu menjamur di sana. Ini sih yang paling bikin nggak setuju dan bikin nggak suka.
 
Kebetulan, platform yang saya masuki vibes-nya lebih ‘biasa’. Mayoritas cerita remaja dan dewasa muda/metropop (young adult). Cerita ‘dewasa’ tetap ada, tapi terbatas dan nggak vulgar banget. Cerita stensilan, saya belum pernah nemu sih. Semoga aja nggak ada. Dengar-dengar ada editor yang mengkurasi karya. Bukan kurasi yang serius gimana-gimana, cuma buat nyaring cerita yang nggak pantas aja. Cerita sarat makna juga ada, cerita sosio-kultural macam gaya Kompas/Jawa Pos ada.
 
Beberapa waktu lalu mereka nyelenggarain lomba cerpen bertema budaya (kalau nggak salah). Karena mayoritas young adult kan, saya pikir yang bakal menang ya yang vibes-nya metropop atau teenlit gitu. Ternyata enggak, dong. Baca cerpen pemenangnya bagai baca cerpen Kompas/JP.
 
To be noted, saya nggak bilang cerita bertema CEO, selingkuh, agamis, fanfiksi, dsb yg disebut di atas itu pasti jelek. No, nggak semuanya jelek. Yang bagus-bagus juga ada, saya pun pernah baca. Ada yang sampe bikin saya nangis, ada yang sampe bikin ngebatin, “Ini kudunya dinovelin aja, asik nih. Pasti laku nih”. Cuma mayoritas di platform-platform tsb ya pada retjeh gitu eksekusi ceritanya. Jadi bukan soal temanya, tapi lebih ke eksekusinya; isinya. 
 
Semoga itu cuma langkah awal aja, lalu ke depannya membaik dan penulisnya bisa bikin cerita dengan tema yang sama tapi lebih bagus.
 
 
(3)
Kelakuan anggotanya.
 
Seringkali kita cocok sama idenya, tapi orang-orang di sana nggak enak. Jadi cabut, deh. Iya, nggak? Banyak orang resign dari kantor yang gaji, benefit, dan visinya bagus karena ini. Grup nulis juga gitu.
 
Ini ‘grup’ nulis yang berhubungan sama platform nulis yang sudah dibahas, ya.
 
Duluuuu waktu tulis-menulis belum jadi se-anaksenja sekarang, sudah ada beberapa grup kepenulisan. Saya yang waktu itu masih ijo (eh sekarang juga masih sih. Kayaknya... hehe) dan cuma belajar nulis otodidak jadi suka mantengin grup. Soalnya, penjelasan di sana simpel dan aplikatif. Nggak terlalu banyak teori kebahasaan macam di kelas Bahasa Indonesia di sekolah (yang susah saya cerna, hehe).
 
Anggota grup-grup itu bervariasi. Ada yang sudah lihai nulis di media massa, ada yang sudah lihai aja tapi baru berani publish karyanya di grup doang, ada yang bener-bener baru nyemplung. Ada pula yang ikut simply karena suka baca aja, tapi nggak ikut nulis. It’s okay dan semuanya diterima dengan baik.
 
Semua anggota bebas mengomentari tulisan anggota lainnya. Kadang-kadang, founder platform tsb turut ngasih kritikan. Komentar dan kritik di sana ada yang halus, tapi nggak jarang pula pedas. Tapi, kritiknya memang fokus ke tulisan. Kalaupun bukan kritik, maka isinya adalah apresiasi. “Aku suka deh soalnya blablabla”, “Wah bagian ini keren nih”, dan komentar lainnya.
 
Seiring bertambahnya anggota yang kian membeludak, interaksi macam ini kian sedikit.
 
Ada naskah yang komentarnya banyak, tapi tulisannya cuma: “Next”, “Lanjut”, “Mana lanjutannya?”. Atau komentarnya malah menyoroti hal lain. Misal nih, tokoh dalam cerita dikisahkan berkonflik dengan iparnya. Maka komentar yang muncul semacam ini: “Iya nih ipar emang bisa jadi sumber masalah. Aku/tetanggaku/saudaraku sama iparnya juga blablabla” atau “Emang ya ipar nggak tahu diri. Mertuanya juga gitu. Memang keluarga pasangan itu harusnya cari yang beginibegitu”.
 
Begitu pun dalam tulisan non-fiksi. Kalau yang dibahas asuransi, nanti ada aja yang buka lapak soal halal-haram. Kalau yang dibahas vaksin, bakal ada yang ngomen anti-vax. Malah jadi curhat atau buka lapak sendiri. Forum di dalam forum. Kasihan si penulis (yang bener-bener pengin dibaca, bukan pengin tenar doang), tulisannya cuma jadi preambule doang buat obrolan lain.
 
Saya pernah ngasih komentar perbaikan seputar penulisan tanda baca dan PUEBI. Ada yang respon, “Halah gitu doang kok dipermasalahkan”. Halo? What? Ya saya bilang, kalau ini grup curhat (tulisannya memang cenderung opini) nggak bakalan saya komentarin tanda baca dll. Tapi kan ini grup literasi!
 
Ada juga platform yang komentatornya lebih ganas daripada penulisnya. Komentar macam ‘cerita lu jelek, cerita apaan nih, lanjutannya mana sih udah nunggu lama buruan dong!’ menjamur bak iklan pinjaman online. Kalau si penulis membela diri, maka balasan komennya akan lebih ganas lagi. Kadang pakai misuh dalam berbagai bahasa. Kadang, nggak cuma berhenti di komentar, si penyerang bakal buka semua data diri si penulis.
 
Jadi, yang dibedah bukan lagi tulisan, tapi personal.
 
Apalagi kalau yang dibahas adalah topik-topik tertentu yang sensitif. Isu politik, budaya, kelompok tertentu, dan agama hampir dijamin bakal banyak pelapak. Padahal, dulu juga tulisan macam ini sudah ada di grup-grup itu. Namun, reaksi anggota-anggota lebih adem. Kalau ada yang nggak setuju, ya dibalas pakai bahasa yang santun dan argumen yang baik. Kalaupun ada tulisan bertema demikian yang bahasanya ketara ‘memancing’, bakal di-report rame-rame biar tulisannya dihapus admin.
 
Sekarang enggak. Mungkin karena anggotanya udah banyak, adminnya juga kewalahan nyaring satu per satu. Akhirnya, tulisan alakadarnya yang bersifat ‘mancing’ pun membeludak. Anggota yang niatnya emang buat cari panggung dan bukan beneran nulis pun makin getol posting tulisan macam ini.
 
Pernah nemu status orang yang agak panjang, di medsos. Lalu ada orang lain yang komentar, “Mba share aja di (nama grup), insyaallah bakal banyak dukungan di sana.” – (ini perkataan asli ybs, nggak saya edit. Masih inget saking speechless-nya)
 
Lah, ini grup udah berubah jadi platform curhat rupanya.
 
Tulisan amburadul asal sensasional jadi laris manis. Grup kepenulisan udah berubah jadi medsos biasa.
 
Ada sebuah platform yang founder-nya buka suara. Dilihat dari analisis traffic, pengakses platform itu memang orang-orang segmen tertentu yang, kebetulan, sama dengan segmen tujuan sinetron dan akun hoax. Jadi ya nggak heran kalau sikap (mayoritas) anggotanya 11-12.
 
Padahal, saya suka sama tulisan founder-nya. Suka sama cara dia ngajarin nulis dulu, cocok sama pandangan menulisnya. Program-programnya sampai sekarang pun bagus. Tapi karena anggotanya reaktif gitu, saya milih pasif, lalu lama-kelamaan keluar. Sekarang saya cuma ikutan kalau si founder ada acara/seminar aja tanpa nyemplung juga di grupnya.
 
Seorang suhu dari grup lain memberi pencerahan soal segmen tertentu ini. Dia bilang, kita nggak bisa menyamaratakan tiap orang dan memaksa mereka jadi segmen yang seirama. Ada orang-orang yang ditakdirkan begitu sehingga pendekatan media untuk mereka berbeda pula. Sebab, kalau dipaksakan dengan media lain yang meski lebih berkualitas, pesannya nggak sampai dan nggak bakal efektif.
 
Ambil contoh penggemar sinetron dan semacamnya. Misal kita mau ngasih pesan terselip bahwa korupsi itu berbahaya, dilarang, dan merugikan orang banyak sehingga korupsi itu nggak boleh. Kalau sasaran orangnya seperti itu dan kita kasih macam film yang agak 'high level', mereka akan susah pahamnya. Mereka malah akan lebih paham kalau pesan itu ditayangkan lewat sinetron/sinema azab berisi kades yang meninggalnya susah karena nilep uang warga, misalnya.
 
Hal senada juga berlaku untuk segmen remaja penggemar artis tertentu atau K-pop.
 
Jadi, ya, mafhum kalau segmen pembaca di platform-platform pun beda-beda. Malah bisa jadi peluang untuk menggapai segmen tertentu lewat tulisan yang sesuai selera mereka.
 
Dan akhirnya, saya milih platform yang vibes-nya sesuai selera saya juga.
 
 
(4)
“Ada platform yang vibes dan segmennya sesuai selera kamu, kenapa nggak dimasukin, tapi malah nulis di blog?”
 
Pertama, emang nggak ambil banyak platform. Repot euy ngisinya. Lha wong blog aja jarang diisi, ini mau nambah banyak, wkwk.
 
Kedua, platform yang ditanyakan teman-teman itu ‘gede’. Saat itu. Dan kini, pamornya makin meredup. Ya masih aktif sih, tapi nggak se-hype dulu.
 
Kalau dilihat-lihat, platform tsb mirip-mirip sama medsos: ada masa kadaluwarsanya. Kayak era-era hype-nya FB, Twitter, dsb. Apa mereka sekarang nggak ada? Masih. Penggunanya juga masih banyak, tapi nggak segede dulu. Banyak yang migrasi. This might sound cliche, but I don’t want to 'just go with the flow'.
 
Ketiga, pertimbangan utama pakai blog adalah karena bisa diubah jadi web. Platform seperti blogspot dan wordpress bisa diubah jadi website berdomain .com dsb. Kalau H*pw**, M*d**m, dsb, setahu saya nggak bisa. Dan, website ini milik sendiri kan, jadi mau diubah sesuka kita juga bisa. Entah dimodif tampilannya atau mau pasang iklan biar dapet duit, dsb. Jadi lebih bebas dan lebih timeless aja meski era blogger & follow-follow-an blog udah lama usai.
 
 
(5)
“Kenapa nggak nulis buku? Udah lama kan nyemplung di kepenulisan. Emang nggak pengin?”
 
Kalau ditanya pengin, ya pengin. Penghobi nulis mana sih yang nggak seneng kalau tulisannya dibaca orang? Alhamdulillah kalau sampai disukai pembaca. Beberapa tulisan memang masuk ke sejumlah buku antologi. Tapi, kalau saya sendirian, ngerasa belum saatnya. Cukup testing the waters di blog, platform, medsos, dan lomba-lomba dulu. 

Why?
 
Simply karena emang belum mampu nulis bagus. Kalau dibandingin sama orang biasa yang nggak biasa nulis, ya emang bagus. Tapi kalau dicerna lebih dalam... Dibandingin aja deh sama temen-temen dekat di komunitas menulis, hasilnya masih di bawah. Jadi nanti dulu deh. Nanti, kalau kualitasnya udah agak naik. Sebab tulisan yang bagus itu adalah hak pembaca. Kalau pembaca kecewa sama tulisan, penulisnya juga bakal kecewa nggak, sih?
 
“Banyak lho yang baru nyemplung dan udah bikin buku.”
 
Ada penulis besar yang punya keyakinan bahwa semakin banyak orang menulis/menerbitkan buku itu lebih bagus. Artinya, tingkat literasi jadi lebih tinggi. Bahkan ada satu negara (lupa mana, kayaknya negara Balkan) yang presentase penerbitan bukunya hampir satu orang bikin satu buku. Itu bagus, karena minat bacanya juga tinggi.
 
Apalagi sekarang saat penerbit indie menjamur. Ini membantu penulis pemula banget. Soalnya nembus penerbit mayor atau media massa emang susah. Apalagi kalau belajar nulisnya masih ngerangkak. Butuh keberanian tersendiri buat soal terbit-terbitan ini.
 
Cuma sisi negatifnya adalah ada buku-buku yang nggak bagus yang bisa terbit. Ya karena proses penerbitan buku indie ini beda sama penerbit mayor. Tiap penerbit indie punya sistem yang beda. Ada yang tetap ada editor buat ngasih masukan, ada yang editornya cuma ngeditin saltik dll doang, ada juga yang langsung terima lalu terbit. Yang terakhir ini yang meresahkan. No quality control.
 
Saya pernah nemu novel begini. Udahlah kalimatnya kayak ditulis anak SD (sorry, but it’s true -- bahkan ada anak SD yang tulisannya lebih bagus dari ini), intronya panjang, tokohnya banyak, 3/4 bagian belum ada konfliknya, konfliknya ternyata langsung pembunuhan, terus endingnya selesai dalam 3 lembar A5. Like, whaaaat?  (untung murah!)
 
Gola Gong, penulis dan penggiat literasi, pernah bilang, “Penulis-penulis baru ini semangatnya tinggi. Itu baik. Tapi coba sesekali lemparkan naskah ke penerbit mayor atau media besar. Buat ngecek kualitas aja. Jangan buru-buru diterbitin. Semangat nulis tinggi, semangat nerbitin buku tinggi, itu bagus. Tapi kualitasnya juga harus bagus atau, paling nggak, meningkat.”

Jadi, jangan cuma terjebak euforia aja gitu.

Dee Lestari bahkan pernah bilang, "Yang menentukan langkah penulis itu bukan buku pertamanya, tapi buku keduanya".

Sebab, seringkali penulis, terutama pemula, terjebak suasana di buku pertama. Setelah buku pertama, lalu ngapain? Nulis apa lagi? Atau, sudah? Yang penting sudah pernah nerbitin buku dan tercatat di ISBN? (NB: soal ISBN dari penerbit, harap hati-hati. Sebab ada penerbit indie yang bilangnya ngurusin ISBN tapi ternyata enggak. Jadi cari penerbit indie yang terpercaya. Meski nggak semua buku kudu ber-ISBN sih. So, writer's choice)

Mungkin, ini salah satu sebab kenapa penulis dari background literasi atau kelompok tertentu kurang dikenal di kancah literasi nasional.  Dikenalnya ya orang-orang golongan itu aja sebab karyanya cuma berputar di circle itu-itu aja. Karena penerbitnya sejenis itu-itu aja, ditambah marketing yang begitu-begitu aja. Ya nggak salah sih, toh selera orang beda-beda. Cuma, kalau lebih dikenal, pesan kebaikan yang disampaikan bisa sampai ke lebih banyak orang. Kalau nggak dikenal, paling nggak pernah didengar di circle luar.
 
Mungkin ada yang nggak setuju dengan pendapat Gola Gong. Sebab, kalau nunggu ‘matang’, kapan mulainya? Saya sedikit nggak setuju juga sama beliau karena soal memulai ini. Tapi soal kualitas dan peningkatannya, setuju banget. Sebab, nggak bisa dipungkiri, salah satu tanda tulisan bagus adalah kalau dibaca, disukai, dan dipahami banyak orang.
 
Atau setidaknya, tulisan yang mudah dicerna orang lain.
(Dan saya masih tertatih-tatih soal ini.)
 
(Ya dari postingan ini aja kelihatan kan. Masih panjang banget, nggak efektif, dan mungkin bikin kamu yang baca jadi bingung, wkwkwk. Iya nggak sih?)
 

Reading Time:

Sabtu, 25 Agustus 2018

Dwelling (?)
Agustus 25, 20180 Comments

Hm... where to start, where to start?

Kemana aja, kok blog-nya kosong nggak ada update? Social media juga nggak begitu aktif kayaknya? Kenapa? Nggak nulis lagi? Atau nggak jalan-jalan lagi? Atau nggak baca lagi? Kemana aja?

Nggak kemana-mana, pun nggak sedang melakukan rencana besar yang revolusioner. So?

Life happened, that's why.
Or rather, it didn't. Whichever you think is fine.

In a world that never stops talking, silence is addictive. And when you find a 'place' which is quiet and comfortable and understands you in a way nobody does, it's almost as if you don't want to leave and want to dwell there forever.

Almost.

Reading Time:

Minggu, 16 April 2017

Satu Bulan di Kota 1000 Industri
April 16, 20170 Comments
Meskipun banyak pabrik tersebar di seluruh penjuru Jabodetabek, tetapi kota ini mendapat kehormatan diberi julukan tersebut. Terletak di barat Jakarta dan agak dekat dengan Gunung Salak, sebenarnya kota ini terbagi menjadi wilayah perkotaan dan kabupaten. Sudah tertebak? Benar, jawabannya adalah kota Tangerang.

Awal tahun ini, saya berkesempatan merasakan hidup di Tangerang selama sebulan. Pasalnya, saya mendapat tugas di salah satu wilayah tepi Tangerang yang sudah termasuk dalam Kabupaten Tangerang. Jadi kalau dibilang tinggal di kota Tangerang, ya nggak juga sih, hehe. Tapi pengalaman bepergian di salah satu kota Jabodetabek tercoret sudah dari wish list. Jadi, senang dong? 

Tidak juga. Saya mendapat penugasan di tempat ini karena tempat lain sudah penuh. Plus, ada tenggat waktu untuk tugas lain yang harus dikejar. Bila penugasan keluar kota ini tak kunjung dipenuhi, maka tugas lain akan ikut kacau-balau karena pengumpulannya mundur dan fokus saya jelas akan terpecah. Jadi, demi mengejar dateline, saya ambil saja kesempatan ini. Hitung-hitung menyelesaikan satu tugas dulu. Singkatnya: terpaksa.

Mana ada kebahagiaan yang muncul kalau di awalnya sudah terpaksa?

Kalau di akhir atau tengah-tengah perjalanan tiba-tiba 'tersadar' sehingga jadi ikhlas, itu lain soal.

Saya sudah mulai mengkalkulasi biaya hidup semenjak tahu sudah fix ditugaskan di sana. Biaya hidup di kota yang masih bertetangga Jakarta, meski sudah masuk Provinsi Banten, tentu tak murah. Bila dihitung, biaya makan sehari-hari dan biaya ngekos kira-kira satu setengah kali biaya hidup di kota tempat saya tinggal. Ongkos makan jelas membengkak karena saya jadi tak bisa masak (siapa sih yang mau bawa atau beli peralatan masak dan cuma dipakai sebulan? Repot sekaleee!). Untungnya, saya berdua dengan teman sehingga pengeluaran untuk ngekos bisa patungan.

Hari itu juga, teman saya langsung booking tiket bus. Karena berangkat dari Jogja, kami dikenai biaya Rp165.000,00 dengan menumpang bus Rosalia Indah. Perjalanan dimulai menjelang sore, sekitar pukul 15.00 WIB, dan malam habis di perjalanan. Menurut perkiraan, kami akan sampai sekitar pukul tujuh di Tangerang. Namun, estimasi tinggal estimasi. Kejutan pertama: meskipun kami telat berangkat sejam, kami tiba di Tangerang tetap subuh, tepat pukul lima. Dan, hujan.

Saya dan rekan pun memutuskan menunggu di pool bus di Jl. Raya Serang hingga agak terang. Setelah itu, baru kami akan cari kos. Keinginan kami tentang kos nggak muluk-muluk: dekat dengan tempat kerja, sesuai budget, dan yang paling penting: bersih. Nggak perlu yang terlalu mewah, nggak perlu-perlu pula yang fasilitasnya lengkap. Toh kami bakal cuma numpang tidur, plus nyuci baju. Selebihnya, waktu pasti akan habis di kantor.

Rencana tinggal rencana. Tak ada yang cocok. Bila ada pun, sudah ada yang menyewa. Kondisinya juga tak sesuai dengan ekspektasi. Salah bila kami mengira kos di sini seperti kos-kosan di Surabaya atau Jogja. Kos, yang di wilayah ini disebut dengan kontrakan saya sih nyebutnya kontrakan petak merupakan satu kamar kosong dengan kamar mandi di dalam. Bingung juga kami pada awalnya, karena dalam pikiran kami, kontrakan itu ya rumah tinggal yang dikontrakkan, bukan kontrakan petak. Tak ada perabot satu pun karena penyewa biasanya adalah pekerja-pekerja yang akan tinggal lama, bahkan berkeluarga. Satu jam mencari, tak kunjung ada kontrakan petak yang cocok. Ojek yang berbaik hati mengantarkan kami keliling ngider-ngider sepertinya sudah capek dan menawarkan kontrakan milik temannya. Ya apa boleh buat, dari tadi tak ada yang cocok. Dengan kata lain, nggak ada yang cukup bersih. Oke, ngider lagi.

Tapi kelamaan jadi kami yang capek. Dengan pasrah, kami mengiyakan tawaran kontrakan terakhir. Lingkungan luar pintu bersih, dalam ruangan pun cukup bersih. Ada kandang unggas di belakang yang kadang baunya menguar ke depan karena si unggas dibiarkan berkeliaran. Kamar mandi? Sempit dan agak bersih. Kalau cuma 'agak bersih', kenapa dipilih? Karena ini yang paling mending dibandingkan kontrakan-kontrakan lain yang sudah disurvey. Dan kami yakin, yang lain paling juga 11-12 dengan ini, malah bisa jadi lebih kotor, ditilik dari lingkungan sekitarnya. 

Oke. Deal. Sudah dapat kosan.

Jadi, sudah tenang? Belum. Kosan kami jaraknya sekitar 1,5 km dari kantor. Yey, kejutan kedua! 

Sebenarnya kami sama-sama terbiasa jalan jauh, baik dengan beban secara harfiah maupun 'beban' pressing (saya suka naik gunung, rekan saya dulu anggota Paskibraka). Tapi yang cukup bikin kami shock, ini tiap hari! Dan dilakukan sebelum dan sesudah ngantor! Padahal sebelum kerja kan harus fresh sehingga nanti bisa mikir, dan sesudah kerja tentunya sudah capek ampun-ampunan. Dan kami kudu jalan? Yang bener aja!

Malam itu, kami menghitung-hitung anggaran untuk ongkos angkot selama sebulan. Sempat terpikir ngojek. Namun setelah dikalkulasi, tentu lebih tekor. Maka ngangkot pun jadi pilihan satu-satunya untuk memperpendek jarak jalan kaki. Ngangkotnya 500 meter, sisanya jalan.

"Nggak apa-apa, nanti juga kita biasa, dan akhirnya kita bisa jalan pulang-pergi," kami menghibur diri. 

Masih kaget dengan lingkungan, kami masih juga dibuat syok dengan kondisi dan situasi tempat kerja. Namun, yang ini masih bisa ditolerir. Namanya juga tempat kerja, pasti kultur dan kebiasaan antartempat berbeda-beda. Ngalir aja lah. Toh cuma sebulan, batin kami. Hitung-hitung buat nambah pengalaman.

Makan malam jadi salah satu pelipur lara (halah) di sela-sela kesibukan. Meski cuma makan di warung-warung pinggir jalan, tapi mencoba satu demi satu makanan 'pasaran' kami anggap petualangan kuliner tersendiri. Nasi uduk, nasi kuning, mie ayam, sate, ayam bakar, siomay, pecel lele, nasi campur, nasi padang. Makanan yang lumrah bukan? Namun, entah kenapa tetap excited mencoba meski sudah tahu rasanya pasti begitu-begitu saja. Mungkin kami memang kurang hiburan. Selain HP dan laptop, yang hanya bisa dibuka setelah pulang kerja, tak ada lagi pengalih perhatian dari rutinitas. Ya, kalau nyuci baju bisa disebut sebagai pengalih perhatian sih.

Maka kami pun mencari hiburan.

Akhir pekan merupakan saat yang paling kami nanti sejak minggu pertama. Pasalnya, hanya di hari itulah kami bisa refreshing, jalan-jalan, explore beragam tempat, plus melupakan sejenak rutinitas kantor yang terkesan monoton. Sebulan di Kota 1000 Industri, tak satu kali pun kami lewatkan tanpa jalan-jalan.


Pekan pertama
Sabtu siang, kami memutuskan pergi ke Citra Raya untuk nyari es durian. Hasil browsing semalaman memberi tahu bahwa ada satu kafe yang menyediakan beragam hidangan durian di sana. Setelah ngojek dan mengikuti petunjuk dari Google Maps, ndilalah kafenya nggak ada. 

"Udahlah, ke Eco Plaza aja," saran teman saya.

Dalam bayangannya, tempat itu ya plaza, mall luas dengan berbagai gerai. Tapi, hm..., melihat lokasinya yang ada di tengah perumahan (meski perumahan super besar) begini, saya kok jadi sangsi.

Benarlah keraguan saya. Tempat itu memang menyerupai mall, tapi hanya dengan beberapa gerai meski besar. Tidak salah memang kalau menyebutnya 'plaza' karena secara harfiah, istilah dari negeri Pizza itu dipakai untuk mendefinisikan suatu tempat luas yang digunakan orang-orang untuk berkumpul. Lantai satu terisi dengan semacam hypermart dan toko baju dengan tiga-empat kios-kios jajanan. Menurut saya, daya tarik utamanya ya yang di lantai dua, yaitu bioskop.

Rekan saya pun mengajak hengkang dengan betenya. Sisa siang itu kami habiskan dengan makan mie aceh dan sup durian di dua ruko berbeda yang terletak dekat dengan plaza.

Esoknya, hari Minggu, dia ngajak ke 'plaza beneran'. Meluncurlah kami selepas dhuhur ke arah Tangerang City Mall, yang biasa disebut Tangcit. Selama satu jam (plus ngetem), bus kota sederhana jurusan Kalideres, Jakbar, mengantarkan kami dari Jl. Raya Serang dengan ongkos 15 ribu. Pulangnya, kami naik bus yang sama dengan jurusan Balaraja/Bitung/Cikupa setelah menyeberang dari Tangcit.

Sebenarnya ada shuttle bus dari Citra Raya yang bisa mengantar sampai Tangcit dengan ongkos kira-kira Rp7.500,00. Namun, artinya kami harus ngangkot dulu ke halte di Citra demi bisa menaiki mobil berAC itu. Pulangnya juga. Dua kali jalan? Ogah.

Di Tangcit, teman saya nggak sedetik pun menampakkan wajah bete.


-Salah satu sudut Tangcit-


Pekan Kedua
Karena minggu kemarin sudah ke tempat beraroma modern, maka kali ini giliran saya yang request untuk ke tempat yang agak tua sedikit. Kota Tua Jakarta sudah jadi salah satu incaran sejak tahu saya ditugaskan di Jabodetabek. Meski tempat kami lebih ke selatan dan Kota Tua itu di pucuk utara, saya tetap keukeuh pergi ke sana. Salah satu jurus bujukan saya adalah ini, "Di sana tempat wisatanya nggak cuma satu. Kita bisa loncat dari satu tempat ke tempat lain, dan itu dekat! Plus, banyak tempat bagus buat spot foto."

Rekan saya mengiyakan. Yes! Kunjungan ke tempat historik ini sangat kami nikmati, meski di akhir perjalanan ada satu hal yang bikin dongkol karena miskalkulasi.
Selengkapnya di _________


-Sang Saka berkibar di salah satu gedung peninggalan era kolonial-


Pekan Ketiga
Awalnya, kami 'bertualang' ke lokasi ini karena stuck. Nggak ada lagi tempat wisata yang kami nilai cukup bagus dan cukup dekat. Syukurlah, ternyata rezeki nggak ke mana, anak bapak kos yang mendengar percakapan kami nyeletuk, "Kenapa nggak ke Danau Biru aja? Dekat, cuma di Tigaraksa".

Tigaraksa adalah kecamatan lain yang tidak jauh dari kosan. Setelah browsing sana-sini, kami putuskan melancong ke tempat yang disebut juga dengan julukan Danau Dua Warna ini.
Selengkapnya di _________


-Danau Biru Cisoka, dua danau berbeda warna yang letaknya tepat bersebelahan-


Pekan Keempat
Yang artinya pekan terakhir sebelum kami pulang. Jauh-jauh hari saya sudah mengajak untuk sekalian ke Bogor. Kenapa jauh banget? Dulu, setahun lalu, kami pernah ke Bogor. Namun, hanya ke pinggirannya untuk mengunjungi satu lembaga. Itu pun hanya selama lima jam. Kasihan dong rekan saya yang cuma sebentar dan belum melihat Bogor agak luas sedikit (saya sudah, karena setelah kunjungan lembaga itu saya berpisah dengan rombongan dan extend sendiri, hehehe).

Jadilah kami ke Bogor! Meski di akhir perjalanan, saat kembali ke Tangerang, kami harus rela mengantre tiket KRL selama sejam.


-Salah satu kantor lawas di dekat Kebun Raya Bogor yang sekarang digunakan sebagai kantor Balittanah. Terj: Laboratorium Agrogeologi & Penelitian Tanah-



-------000-------

Yep, itulah cerita 'pelancongan' kami sebulan di Kota 1000 Industri. Yah, meskipun jalan-jalannya ada yang nggak di kota itu sih. Tapi lumayan lah bisa jalan-jalan kesana-kemari, jadi duo traveler yang artinya karena cuma berdua maka dua-duanya harus bisa gerak cepat di situasi yang nggak ada di skenario kami, dan harus berani dan nekat meski itu artinya harus sama-sama manjat pagar setinggi dua meter demi ngejar angkot. 


NB: saya nggak bilang semua tempat di Tangerang kotor ya. Ada kok, dan saya kira banyak, lingkungan yang bersih di Tangerang. Cuma, saya kebetulan aja saya dapat tugas & tinggal di tempat yang agak kurang nyaman. Secara, kota besar mana sih yang nggak punya wilayah begini?
Reading Time: