2017 - Hijaubiru

Minggu, 20 Agustus 2017

Buku-Buku Perjalanan Agustinus Wibowo
Agustus 20, 20170 Comments


Penulis: Agustinus Wibowo
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama

TITIK NOL
Tahun terbit: Mei 2014 (cetakan 5)
Tebal: 552 halaman

SELIMUT DEBU
Tahun terbit: April 2013 (cetakan 4)
Tebal: 461 halaman

GARIS BATAS
Tahun terbit: 2011 (cetakan pertama)


Bila kita mencari buku tentang travelling yang berbeda dari buku-buku kebanyakan, sepertinya ketiga buku di atas bisa memuaskan keinginan itu.

Dewasa ini, travelling sudah jadi bagian dari tren 'kekinian'. Buku-buku tentang travelling pun kian marak di pasaran, mulai dari manual travelling, kumpulan catatan perjalanan, hingga novel-novel fiksi yang menyinggung topik ini. Rata-rata buku tentang jalan-jalan akan membahas tujuan perjalanan, pengalaman di sana, dan metode mencapainya, bahkan hingga rinci. Itinerary. Rata-rata cenderung deskriptif, meski beberapa memang ada yang penyampaiannya lebih puitis & melankolis, terutama bila itu novel. Namun, hanya sedikit yang menulis tentang pengalaman humanis dalam proses mencapai tempat tujuan.

Bila mencari buku yang seperti itu, saya rasa ketiga buku tulisan Agustinus Wibowo ini lebih dari layak untuk masuk hitungan. 

Sudah ada tiga buku yang ditulis pria ini. Lelaki yang juga wartawan Kompas ini menulis Titik Nol, Selimut Debu, dan Garis Batas, semuanya dilengkapi dengan foto-foto berwarna jepretannya sendiri. Kisah dalam buku-buku ini pernah dimuat pula di media Kompas beberapa tahun lalu. Bila ada yang penasaran tentang gambaran buku ini, mampir saja ke website penulisnya http://agustinuswibowo.com/.

Saya baru selesai baca dua di antaranya. Maka, yang saya bahas di sini hanya Titik Nol dan Selimut Debu aja ya. Garis Batasnya menyusul.


_________________________________


"Memberi arti pada perjalanan". Itu judul pengantar yang ada pada Titik Nol. Secara garis besar, buku ini berkisah tentang pengalaman penulis melintasi negara-negara Asia. Jangan salah, yang dikunjungi bukan negara-negara tersohor nan maju seperti Jepang, Korea, atau Singapura, melainkan negara-negara yang sedang berkembang. Berbekal mimpi menjadi petualang dunia, mencapai negeri-negeri jauh, Agustinus memulai perjalanannya dari Cina. Dari negeri tempatnya berkuliah itu, perlahan-lahan ia berpindah ke wilayah Tibet, lalu ke negara sekitarnya: Mongolia, Nepal, India, Pakistan, negeri-negeri atap dunia tempat rangkaian pegunungan tinggi dunia bersemayam. Dari sana ia menyusuri negeri-negeri Asia Tengah: negara-negara berakhiran -tan (Afghanistan, Uzbekistan, dan kawan-kawannya). Seluruh perjalanan ini ditempuhnya melalui jalan darat yang tentu relatif lebih ribet.

Hanya itu? Oh enggak. Perjalanan tidak selalu mulus. Ada kala ia harus menunggu angkutan berjam-jam di padang sepi yang jauh dari mana-mana, menumpang kendaraan pribadi, berjalan kaki sendirian berkilo-kilometer dengan medan yang tak selalu mulus (dan jalan yang tak senantiasa ada). Bukan hanya itu, ia harus merasakan yang rasanya ditampar penduduk lokal, dicurigai sebagai penyelundup, dicopet dan dirampok, dan berbagai pengalaman tidak mengenakkan lainnya.

Kok nelangsa sekali? Benar, penulis dituntut lihai dalam perjalannya, tak saklek, dan banyak akal menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak pernah termaktub di buku teks kuliahan maupun buku panduan travelling. Tak banyak buku travelling yang berani menyampaikan duka perjalanan yang dialami, tetapi peristiwa itu dituliskan di sini. 

Tentu tidak semua kisah-kisahnya menyedihkan, ada kehangatan dan eksotisme yang ditawarkan. Entah lewat kisah keramahan teman nemu-di-jalan, teman nemu-di-warung, atau warga lokal yang terlalu baik. Disampaikan pula budaya, mitos, kebiasaan, dan kisah-kisah masa lalu di tempat-tempat yang dilalui, menjadikan cerita lebih 'hidup'.


_________________________________

Bila Titik Nol menceritakan garis besar perjalanan penulis melintasi Asia, maka Selimut Debu menitikberatkan pada pengalamannya selama berada di negeri perang, Afghanistan. Siapa yang tak pernah mendengar tentang keganasan kota Karachi, Kandahar, atau kelompok Taliban? Negara yang tersohor akan perangnya yang tak habis-habis ini memiliki sisi-sisi menarik, unik, dan kaya yang tak banyak diketahui orang. Afghanistan ternyata tidak melulu tentang debu padang pasir, rentetan kalashnikov dan bom yang siap meledak sewaktu-waktu, Taliban, atau tempat yang terisolasi dan mengisolasi dari dunia global. Negara ini pernah jaya pada masanya, dahulu sekali ketika Jalur Sutra masih sering dilintasi. Ia memiliki gunung-gunung tinggi, lembah-lembah hijau, dan danau serta sungai deras berwarna biru terang. Ia juga memiliki mall mewah, hotel berbintang, bahkan bar.

Di balik negeri yang dipenuhi aroma perang dan kematian, kehidupan terus berjalan. Inilah yang diulik penulis. Masyarakat di sana beragam, mulai yang tertutup sekali hingga agak terbuka. Ada kisah kuno soal penyebaran agama Hindu dan Buddha yang pernah menjamah daerah yang sekarang mayoritas muslim ini. Ada cerita tentang minaret dan masjid yang pernah menjadi bukti kejayaannya di masa lampau, ada pula cerita yang di negara kita dianggap tabu tetapi ternyata di sana sudah jadi rahasia umum. Tak hanya nilai-nilai kemanusiaan dan aroma kepasrahan, kita pun bisa menemukan kebanggaan dan api semangat yang tersemat di dalam hati para warga Afghan, yang selama ini kita anggap tak lebih dari sekedar korban perang.


_________________________________

Bahasa yang digunakan pada buku-buku ini tepat dan bernas. Tak ada basa-basi, kalimat-kalimat penuh kiasan, atau penggambaran yang kadang malah membuat pembaca tak paham. Meski bahasa yang dipakai adalah bahasa baku khas koran, tapi saya rasa ceritanya tetap mengalir. 

Buku-buku ini tak selalu menceritakan kisah secara runtut. Alur yang digunakan pada Selimut Debu memang cenderung menggunakan alur maju bersetting sekitar tahun 2006, sedikit berbeda dengan Titik Nol yang beralur maju-mundur. Meskipun demikian, pada keduanya banyak ditemukan kisah-kisah lain yang berhubungan (misalnya mitos, sejarah, budaya) yang diselipkan di tengah-tengah cerita. Jangan kira selipan ini sedikit, kadang justru sisipan inilah yang porsinya lebih banyak. Awalnya, saya sedikit bingung dengan gaya ini karena kesannya melompat-lompat. Namun pada akhirnya terbiasa dan malah menikmati kisah-kisah sisipan bernilai tinggi tersebut, karena menurut saya inilah daya tarik utama buku ini dan yang membuatnya berbeda dengan buku travelling lainnya. Penulis tak hanya fokus pada tujuan dan itinerary belaka, tetapi lebih pada proses selama perjalanan dan orang-orang yang ditemui.

Buku ini mengajak kita melanglang buana ke belahan bumi yang jarang dijamah orang. Negara-negara yang dilalui bukanlah negara tujuan pariwisata yang sudah sangat maju. Namun itulah sisi lebihnya, yaitu menguak kisah tak terduga di balik negara-negara yang masih samar-samar di mata dunia. Negara-negara ini bukanlah tempat yang bisa dengan mudah kita cari infonya dari dunia maya, yang gampang ditemukan website pariwisata (atau badan pemerintah lain) resminya. Sebagian kita bahkan mungkin tidak tahu letak negara-negara ini, bahkan hanya pernah sekali mendengarnya zaman pelajaran Geografi di SD dulu, kemudian lupa selamanya. Buku travelling ini menuntun kita mengintip negara-negara yang masih berada di balik tirai, mengantarkan pada situasi di sana masa kini, dulu, bahkan beratus-ratus tahun yang lalu.


_________________________________


Suka dan takjub! Itu reaksi saya saat selesai membaca Titik Nol, buku Agustinus Wibowo yang pertama saya beli. Titik Nol sebenarnya sudah saya incar beberapa bulan sebelumnya. Meski buku tersebut tak boleh dibuka segelnya saat di toko buku, saya tahu dari larik-larik gelap di sisinya bahwa buku ini menyajikan foto-foto berwarna. Jarang saya temukan buku travelling, dalam hal ini buku cerita (bukan manual  travelling), yang melengkapi ceritanya dengan gambar. Inilah yang membuat saya tertarik, selain tulisan 'best seller travel writing' pada cover-nya. Maklum, gambar berwarna pasti berimbas pada harga yang lebih tinggi. Karena alasan inilah, Titik Nol berusaha tidak saya gubris tiap kali melewatinya di toko buku, meski seringkali saya menimang dan menimbang, "Kapan ya, ini buku bisa terbeli?"

Suatu saat ketika melewati rak buku ini, saya teringat perkataan seseorang, "Kenapa kita sulit sekali menganggarkan uang untuk membeli buku? Kenapa terlalu banyak pertimbangan? Dengan enteng kita keluarkan uang untuk baju berharga sembilan puluh ribu, bahkan yang harganya di atas seratus. Lalu kenapa untuk buku, untuk ilmu dan investasi masa depan yang bisa diwariskan, kita terlalu berhitung?". Kurang lebih itu yang dikatakan penulis Asma Nadia di seminar yang saya hadiri beberapa bulan sebelumnya.

Kalimat itulah yang akhirnya memantapkan saya membawa Titik Nol ke kasir, meski saat itu harganya Rp125.000,00. 

Dan, kalimat itulah yang selalu saya dengungkan saat saya ragu dalam membeli buku. Meski kadang saya jadi kalap dan jadi memborong buku banyak-banyak, hehehe.

Ternyata tidak mengecewakan. Sangat amat tidak mengecewakan a.k.a sangat memuaskan. Jujur saya mulai bosan pada buku-buku travelling yang isinya kurang lebih sama, ya seperti yang disebut di atas: itinerary, tips dan trik, keindahan lokasi. Atau, novel yang menggunakan tema perjalanan atau luar negeri sebagai tempelan di cerita-cerita romantis tapi kata-katanya tidak romantis. Maka, buku-buku seperti Titik Nol dan Selimut Debu jadi semacam angin segar buat saya yang tetap ingin baca cerita perjalanan yang tak semu dan umum.

Selesai dengan Titik Nol, sejenak saya terlupa hingga pada awal 2017 lalu saya kembali mencari novel perjalanan lainnya. Browsing sana-sini, akhirnya saya teringat buku Agustinus Wibowo yang lain. Dimulailah perburuan itu, saya mencari Selimut Debu. 

Nihil.

Toko-toko buku mayor di Yogya sudah saya sambangi, tetapi stoknya selalu kosong. Ya sudah, coba dulu ke lain kota. Saya pun beralih ke Surabaya. Apes pula, toko-toko buku mayor langganan saya pun kosong. Seorang pramuniaga di salah satu toko berkata, "Terbitnya sudah agak lama ya? Wah maaf, kalau sudah lebih dari sekian tahun, biasanya sudah dikembalikan ke penerbit".

Saya tambah patah hati.

Berbekal pasrah, pergilah saya ke salah satu toko buku terbesar di Surabaya, yang kalau di toko ini buku itu tidak ada, maka bisa dipastikan buku tersebut sudah tidak beredar di Surabaya. Kembali saya menatap layar komputer toko, mencari. Tuh kan, Selimut Debu stoknya nol. Garis Batas tinggal satu, yang masih banyak adalah Titik Nol yang sepertinya memang lebih terkenal dan best seller  di antara ketiganya. Ya sudah, Selimut Debu tak ada, Garis Batas pun boleh juga.

"Kalau tinggal satu, biasanya sulit ditemukan bahkan sudah nggak ada, bahkan di gudang," kata si mas pramuniaga, tetapi tetap ia antarkan saya untuk mencari. Benar, hanya tumpukan buku berkover biru, Titik Nol, yang masih tersedia. Saya menghela napas kecewa sebelum saya melihat satu buku berkover hitam di antara lautan biru. 

Ternyata, jodoh memang tidak ke mana. Setelah dicari tentunya #eh. Buku itu bukan Garis Batas, tapi justru Selimut Debu. Hanya satu! Benar-benar tinggal satu! Setelahnya, di sisa waktu berkeliling toko, buku tersebut tak pernah saya lepaskan dari genggaman. Takut ada orang lain yang ngincar juga, hehe.

Kenapa saya keukeuh nyari buku ini? Simpel, ingin tahu tentang negara yang selalu dikabarkan berkonflik oleh seluruh media: Afganistan. Apa cerita di baliknya sama seperti yang kita dengar selama ini? Menilik dari Titik Nol, saya yakin Selimut Debu juga akan menuturkan cerita-cerita tak terduga yang tak terkover media. Dugaan itu tak meleset.

Untuk saya sendiri, Selimut Debu menawarkan kisah-kisah sejarah yang menarik dengan benang merahnya. Saat itu (curcol sedikit nih jadinya), saya sedang menggandrungi film Prince of Persia. Iya, saya tahu saya telat tujuh tahun menonton film ini. Saya pun baru benar-benar menonton film ini saat ditayangkan di TV. Terpikat pada ide ceritanya, saya pun mencari info soal film ini untuk memilah mana yang benar-benar ada dan mana yang fiksi.

Kisah Kekaisaran Persia, kota Alamut, Hassanssin, dan pegunungan Hindu Kush merupakan beberapa hal yang nyata adanya dan mereka turut diceritakan dalam Selimut Debu. Mengapa? Sebab Kekaisaran Persia dulu meliputi Afghanistan. Bicara soal sufisme, yang juga ada di Afghanistan, juga bersinggungan dengan Hassanssin (sumber inspirasi dari game terkenal Assassin Creed dan asal kata bahasa Inggris 'assassinate') dan kotanya, yaitu Alamut. Dan pegunungan Hindu Kush? Awalnya saya agak sangsi karena setting padang pasir di film tiba-tiba berubah menjadi pegunungan bersalju. Namun, tempat ini nyata adanya. Penamaan 'Hindu Kush' memiliki beberapa versi, salah satunya berarti 'pembunuh Hindu' karena banyak budak India yang dibawa ke Asia Tengah berabad lalu menjemput ajal di pegunungan ini lantaran tidak tahan suhu dingin yang menggigit. Siapa sangka Hindu pernah melintasi  Afghanistan? Bahkan, agama Buddha pernah berjaya di negara ini. Patung Buddha terbesar di dunia pernah ada di Afghanistan, sebelum hancur dibom oleh Taliban. 

Selimut Debu menceritakan kisah negeri di balik perang, kisah negara yang pernah jaya, cerita lawas para saudagar negeri padang pasir yang melintasi Jalur Sutra untuk mencapai Asia. Ini kisah tentang budaya dan desa yang tak tersentuh arus dunia, kisah tentang hijau lembah dan biru danau yang tersembunyi dari mata yang tak jeli mencari.



_________________________________



NB: salah satu buku perjalanan lain yang ada nilai human-nya yang saya temukan adalah Berjalan di Atas Cahaya tulisan Hanum Rais dan kawan-kawan. Kisah perjalanannya memang jauh lebih sedikit, tetapi setting luar negerinya benar-benar berhubungan dengan manusia dan bukan sekedar tempelan. 

Ada juga novel yang menceritakan tentang negara perang lain: Palestina. Novel ini berjudul Rinai, tulisan Sinta Yudisia. Bentuknya memang fiksi/novel, tapi penggambaran setting-nya amat detail dan nyata. Ceritanya bukan tentang perang-perangan juga, melainkan kisah humanis relawan-pengungsi dan banyak ilmu psikologinya. 

_________________________________



NB: ketika ke toko buku beberapa saat lalu, nemu Selimut Debu banyak di rak. Sepertinya sudah dicetak ulang, Garis Batas juga sudah. Jadi nggak perlu khawatir njelimet nyari, syukurlah :)
Reading Time:

Minggu, 16 April 2017

Satu Bulan di Kota 1000 Industri
April 16, 20170 Comments
Meskipun banyak pabrik tersebar di seluruh penjuru Jabodetabek, tetapi kota ini mendapat kehormatan diberi julukan tersebut. Terletak di barat Jakarta dan agak dekat dengan Gunung Salak, sebenarnya kota ini terbagi menjadi wilayah perkotaan dan kabupaten. Sudah tertebak? Benar, jawabannya adalah kota Tangerang.

Awal tahun ini, saya berkesempatan merasakan hidup di Tangerang selama sebulan. Pasalnya, saya mendapat tugas di salah satu wilayah tepi Tangerang yang sudah termasuk dalam Kabupaten Tangerang. Jadi kalau dibilang tinggal di kota Tangerang, ya nggak juga sih, hehe. Tapi pengalaman bepergian di salah satu kota Jabodetabek tercoret sudah dari wish list. Jadi, senang dong? 

Tidak juga. Saya mendapat penugasan di tempat ini karena tempat lain sudah penuh. Plus, ada tenggat waktu untuk tugas lain yang harus dikejar. Bila penugasan keluar kota ini tak kunjung dipenuhi, maka tugas lain akan ikut kacau-balau karena pengumpulannya mundur dan fokus saya jelas akan terpecah. Jadi, demi mengejar dateline, saya ambil saja kesempatan ini. Hitung-hitung menyelesaikan satu tugas dulu. Singkatnya: terpaksa.

Mana ada kebahagiaan yang muncul kalau di awalnya sudah terpaksa?

Kalau di akhir atau tengah-tengah perjalanan tiba-tiba 'tersadar' sehingga jadi ikhlas, itu lain soal.

Saya sudah mulai mengkalkulasi biaya hidup semenjak tahu sudah fix ditugaskan di sana. Biaya hidup di kota yang masih bertetangga Jakarta, meski sudah masuk Provinsi Banten, tentu tak murah. Bila dihitung, biaya makan sehari-hari dan biaya ngekos kira-kira satu setengah kali biaya hidup di kota tempat saya tinggal. Ongkos makan jelas membengkak karena saya jadi tak bisa masak (siapa sih yang mau bawa atau beli peralatan masak dan cuma dipakai sebulan? Repot sekaleee!). Untungnya, saya berdua dengan teman sehingga pengeluaran untuk ngekos bisa patungan.

Hari itu juga, teman saya langsung booking tiket bus. Karena berangkat dari Jogja, kami dikenai biaya Rp165.000,00 dengan menumpang bus Rosalia Indah. Perjalanan dimulai menjelang sore, sekitar pukul 15.00 WIB, dan malam habis di perjalanan. Menurut perkiraan, kami akan sampai sekitar pukul tujuh di Tangerang. Namun, estimasi tinggal estimasi. Kejutan pertama: meskipun kami telat berangkat sejam, kami tiba di Tangerang tetap subuh, tepat pukul lima. Dan, hujan.

Saya dan rekan pun memutuskan menunggu di pool bus di Jl. Raya Serang hingga agak terang. Setelah itu, baru kami akan cari kos. Keinginan kami tentang kos nggak muluk-muluk: dekat dengan tempat kerja, sesuai budget, dan yang paling penting: bersih. Nggak perlu yang terlalu mewah, nggak perlu-perlu pula yang fasilitasnya lengkap. Toh kami bakal cuma numpang tidur, plus nyuci baju. Selebihnya, waktu pasti akan habis di kantor.

Rencana tinggal rencana. Tak ada yang cocok. Bila ada pun, sudah ada yang menyewa. Kondisinya juga tak sesuai dengan ekspektasi. Salah bila kami mengira kos di sini seperti kos-kosan di Surabaya atau Jogja. Kos, yang di wilayah ini disebut dengan kontrakan saya sih nyebutnya kontrakan petak merupakan satu kamar kosong dengan kamar mandi di dalam. Bingung juga kami pada awalnya, karena dalam pikiran kami, kontrakan itu ya rumah tinggal yang dikontrakkan, bukan kontrakan petak. Tak ada perabot satu pun karena penyewa biasanya adalah pekerja-pekerja yang akan tinggal lama, bahkan berkeluarga. Satu jam mencari, tak kunjung ada kontrakan petak yang cocok. Ojek yang berbaik hati mengantarkan kami keliling ngider-ngider sepertinya sudah capek dan menawarkan kontrakan milik temannya. Ya apa boleh buat, dari tadi tak ada yang cocok. Dengan kata lain, nggak ada yang cukup bersih. Oke, ngider lagi.

Tapi kelamaan jadi kami yang capek. Dengan pasrah, kami mengiyakan tawaran kontrakan terakhir. Lingkungan luar pintu bersih, dalam ruangan pun cukup bersih. Ada kandang unggas di belakang yang kadang baunya menguar ke depan karena si unggas dibiarkan berkeliaran. Kamar mandi? Sempit dan agak bersih. Kalau cuma 'agak bersih', kenapa dipilih? Karena ini yang paling mending dibandingkan kontrakan-kontrakan lain yang sudah disurvey. Dan kami yakin, yang lain paling juga 11-12 dengan ini, malah bisa jadi lebih kotor, ditilik dari lingkungan sekitarnya. 

Oke. Deal. Sudah dapat kosan.

Jadi, sudah tenang? Belum. Kosan kami jaraknya sekitar 1,5 km dari kantor. Yey, kejutan kedua! 

Sebenarnya kami sama-sama terbiasa jalan jauh, baik dengan beban secara harfiah maupun 'beban' pressing (saya suka naik gunung, rekan saya dulu anggota Paskibraka). Tapi yang cukup bikin kami shock, ini tiap hari! Dan dilakukan sebelum dan sesudah ngantor! Padahal sebelum kerja kan harus fresh sehingga nanti bisa mikir, dan sesudah kerja tentunya sudah capek ampun-ampunan. Dan kami kudu jalan? Yang bener aja!

Malam itu, kami menghitung-hitung anggaran untuk ongkos angkot selama sebulan. Sempat terpikir ngojek. Namun setelah dikalkulasi, tentu lebih tekor. Maka ngangkot pun jadi pilihan satu-satunya untuk memperpendek jarak jalan kaki. Ngangkotnya 500 meter, sisanya jalan.

"Nggak apa-apa, nanti juga kita biasa, dan akhirnya kita bisa jalan pulang-pergi," kami menghibur diri. 

Masih kaget dengan lingkungan, kami masih juga dibuat syok dengan kondisi dan situasi tempat kerja. Namun, yang ini masih bisa ditolerir. Namanya juga tempat kerja, pasti kultur dan kebiasaan antartempat berbeda-beda. Ngalir aja lah. Toh cuma sebulan, batin kami. Hitung-hitung buat nambah pengalaman.

Makan malam jadi salah satu pelipur lara (halah) di sela-sela kesibukan. Meski cuma makan di warung-warung pinggir jalan, tapi mencoba satu demi satu makanan 'pasaran' kami anggap petualangan kuliner tersendiri. Nasi uduk, nasi kuning, mie ayam, sate, ayam bakar, siomay, pecel lele, nasi campur, nasi padang. Makanan yang lumrah bukan? Namun, entah kenapa tetap excited mencoba meski sudah tahu rasanya pasti begitu-begitu saja. Mungkin kami memang kurang hiburan. Selain HP dan laptop, yang hanya bisa dibuka setelah pulang kerja, tak ada lagi pengalih perhatian dari rutinitas. Ya, kalau nyuci baju bisa disebut sebagai pengalih perhatian sih.

Maka kami pun mencari hiburan.

Akhir pekan merupakan saat yang paling kami nanti sejak minggu pertama. Pasalnya, hanya di hari itulah kami bisa refreshing, jalan-jalan, explore beragam tempat, plus melupakan sejenak rutinitas kantor yang terkesan monoton. Sebulan di Kota 1000 Industri, tak satu kali pun kami lewatkan tanpa jalan-jalan.


Pekan pertama
Sabtu siang, kami memutuskan pergi ke Citra Raya untuk nyari es durian. Hasil browsing semalaman memberi tahu bahwa ada satu kafe yang menyediakan beragam hidangan durian di sana. Setelah ngojek dan mengikuti petunjuk dari Google Maps, ndilalah kafenya nggak ada. 

"Udahlah, ke Eco Plaza aja," saran teman saya.

Dalam bayangannya, tempat itu ya plaza, mall luas dengan berbagai gerai. Tapi, hm..., melihat lokasinya yang ada di tengah perumahan (meski perumahan super besar) begini, saya kok jadi sangsi.

Benarlah keraguan saya. Tempat itu memang menyerupai mall, tapi hanya dengan beberapa gerai meski besar. Tidak salah memang kalau menyebutnya 'plaza' karena secara harfiah, istilah dari negeri Pizza itu dipakai untuk mendefinisikan suatu tempat luas yang digunakan orang-orang untuk berkumpul. Lantai satu terisi dengan semacam hypermart dan toko baju dengan tiga-empat kios-kios jajanan. Menurut saya, daya tarik utamanya ya yang di lantai dua, yaitu bioskop.

Rekan saya pun mengajak hengkang dengan betenya. Sisa siang itu kami habiskan dengan makan mie aceh dan sup durian di dua ruko berbeda yang terletak dekat dengan plaza.

Esoknya, hari Minggu, dia ngajak ke 'plaza beneran'. Meluncurlah kami selepas dhuhur ke arah Tangerang City Mall, yang biasa disebut Tangcit. Selama satu jam (plus ngetem), bus kota sederhana jurusan Kalideres, Jakbar, mengantarkan kami dari Jl. Raya Serang dengan ongkos 15 ribu. Pulangnya, kami naik bus yang sama dengan jurusan Balaraja/Bitung/Cikupa setelah menyeberang dari Tangcit.

Sebenarnya ada shuttle bus dari Citra Raya yang bisa mengantar sampai Tangcit dengan ongkos kira-kira Rp7.500,00. Namun, artinya kami harus ngangkot dulu ke halte di Citra demi bisa menaiki mobil berAC itu. Pulangnya juga. Dua kali jalan? Ogah.

Di Tangcit, teman saya nggak sedetik pun menampakkan wajah bete.


-Salah satu sudut Tangcit-


Pekan Kedua
Karena minggu kemarin sudah ke tempat beraroma modern, maka kali ini giliran saya yang request untuk ke tempat yang agak tua sedikit. Kota Tua Jakarta sudah jadi salah satu incaran sejak tahu saya ditugaskan di Jabodetabek. Meski tempat kami lebih ke selatan dan Kota Tua itu di pucuk utara, saya tetap keukeuh pergi ke sana. Salah satu jurus bujukan saya adalah ini, "Di sana tempat wisatanya nggak cuma satu. Kita bisa loncat dari satu tempat ke tempat lain, dan itu dekat! Plus, banyak tempat bagus buat spot foto."

Rekan saya mengiyakan. Yes! Kunjungan ke tempat historik ini sangat kami nikmati, meski di akhir perjalanan ada satu hal yang bikin dongkol karena miskalkulasi.
Selengkapnya di _________


-Sang Saka berkibar di salah satu gedung peninggalan era kolonial-


Pekan Ketiga
Awalnya, kami 'bertualang' ke lokasi ini karena stuck. Nggak ada lagi tempat wisata yang kami nilai cukup bagus dan cukup dekat. Syukurlah, ternyata rezeki nggak ke mana, anak bapak kos yang mendengar percakapan kami nyeletuk, "Kenapa nggak ke Danau Biru aja? Dekat, cuma di Tigaraksa".

Tigaraksa adalah kecamatan lain yang tidak jauh dari kosan. Setelah browsing sana-sini, kami putuskan melancong ke tempat yang disebut juga dengan julukan Danau Dua Warna ini.
Selengkapnya di _________


-Danau Biru Cisoka, dua danau berbeda warna yang letaknya tepat bersebelahan-


Pekan Keempat
Yang artinya pekan terakhir sebelum kami pulang. Jauh-jauh hari saya sudah mengajak untuk sekalian ke Bogor. Kenapa jauh banget? Dulu, setahun lalu, kami pernah ke Bogor. Namun, hanya ke pinggirannya untuk mengunjungi satu lembaga. Itu pun hanya selama lima jam. Kasihan dong rekan saya yang cuma sebentar dan belum melihat Bogor agak luas sedikit (saya sudah, karena setelah kunjungan lembaga itu saya berpisah dengan rombongan dan extend sendiri, hehehe).

Jadilah kami ke Bogor! Meski di akhir perjalanan, saat kembali ke Tangerang, kami harus rela mengantre tiket KRL selama sejam.


-Salah satu kantor lawas di dekat Kebun Raya Bogor yang sekarang digunakan sebagai kantor Balittanah. Terj: Laboratorium Agrogeologi & Penelitian Tanah-



-------000-------

Yep, itulah cerita 'pelancongan' kami sebulan di Kota 1000 Industri. Yah, meskipun jalan-jalannya ada yang nggak di kota itu sih. Tapi lumayan lah bisa jalan-jalan kesana-kemari, jadi duo traveler yang artinya karena cuma berdua maka dua-duanya harus bisa gerak cepat di situasi yang nggak ada di skenario kami, dan harus berani dan nekat meski itu artinya harus sama-sama manjat pagar setinggi dua meter demi ngejar angkot. 


NB: saya nggak bilang semua tempat di Tangerang kotor ya. Ada kok, dan saya kira banyak, lingkungan yang bersih di Tangerang. Cuma, saya kebetulan aja saya dapat tugas & tinggal di tempat yang agak kurang nyaman. Secara, kota besar mana sih yang nggak punya wilayah begini?
Reading Time: