Hijaubiru: Motivasi
Tampilkan postingan dengan label Motivasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Motivasi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 April 2011

Kisah Inspirasi
April 17, 20110 Comments
Tenang aja, cerita yang sangat bagus ini sumbernya bukan dari saya, tapi dari beberapa kakak kelas dan seorang alumni yang memang memiliki segudang cerita motivasi. Cerita ini untuk semua orang. Khususnya untuk orang yang lagi down karena masalah kehidupannya segunung.

1. Kisah Sebuah Pedang
Tahu gimana pembuatan pedang pada umumnya kan? Untuk jadi sebuah pedang yang bagus, tajam, dan kuat, besi itu harus ditempa berkali-kali. Dilebur, dipanaskan, ditempa, dilipat, dipanaskan lagi, ditemoa lagi, begitu seterusnya. Jadi kesimpulannya, kalau kita mau menjadi  orang yang berkualitas bagus, ya memang begitulah cara-Nya untuk membuat kita kuat. Dalam kehidupan, kita harus ditempa dengan keras, dipanaskan dengan bara api sangat panas. Kalau kita nggak mau digituin, ya, gimana bisa kita mau jadi kayak pedang yang keras dan tajam?

2. Membangun Jembatan
Di suatu desa terdapat sebuah sungai yang lebar dan besar. Untuk mencapai daratan di seberangnya, diperlukan sebuah jembatan yang sangat kuat karena arus sungai tersebut sangatlah deras. Akhirnya, diadakanlah sebuah sayembara. Siapa yang bisa membuat sebuah jembatan yang kuat untuk dilintasi, dialah pemenangnya. (*Catatan: jembatan terbuat dari kayu).
Semua orang sudah mencobanya. Namun, tidak ada yang bisa kukuh sampai akhir. Ada sebuah jembatan yang saat dilintasi mobil, ambruk. Ada yang bisa dilintasi truk, tapi hanya bertahan satu hari saja. Bahkan ada yang ambruk saat dilewati hanya satu manusia saja.
Saat semua penduduk desa sudah pesimis, duh, percuma ah, nggak bisa bikin jembatan yang kuat nih, nyerah aja deh, seorang pemuda terlihat sangat bersemangat dan berkata, "Saya bisa membuatnya!"
Jadilah pemuda tersebut mulai membuat sebuah jembatan yang sesuai dengan rancangannya. Seluruh penduduk desa pun membantunya. Dalam beberapa hari, pekerjaan itu pun rampung. Dan apa yang terjadi? Tidak hanya truk yang bisa melewatinya! Trailer, kontainer-kontainer, bisa melewatinya. Bahkan jembatan tersebut awet.
Suatu saat, pemuda tersebut ditanya oleh penduduk yang penasaran. Bagaimana membuat jembatan yang begitu kuat? Apa rahasianya? Dan pemuda itu menjawab, "Saya memakai kayu dari pepohonan yang berada di atas gunung. Mengapa? Karena merekalah yang pertama kali merasakan dinginnya air saat hujan. Merekalah yang pertama kali merasakan kuatnya angin saat badai. Merekalah yang pertama merasakan takutnya mendengar gelegar petir. Karena itu, akar-akar mereka akan terbiasa mencengkeram tanah dengan erat. Anda tahu kan, kalau merekalah yang menahan tanah agar tidak erosi? Mengapa saya tidak menggunakan pepohonan di lereng? Karena mereka tidak merasakan apa yang pohon-pohon di atas rasakan. Itulah perbedaan kekuatan mereka. Amat beda kan?"

3. Pertarungan 3 Angin
Alkisah ada 3 jenis angin. Yaitu angin bohorok, angin tornado, dan angin topan. Di sisi sebuah hutan yang lain, ada sebuah pohon kelapa dengan seekor monyet yang bertengger di atasnya. Ketiga angin ini iseng-iseng melakukan pertandingan. Siapa yang bisa menjatuhkan monyet itu dari pohon kelapa, dialah yang menang.
"Aku duluan yaa," kata angin topan. Dan angin topan langsung menghempas seisi hutan, mendekati si monyet. Namun monyet itu ternyata mempererat pegangannya pada pohon kelapa. Angin bohorok mencoba lebih keras, namun tidak mempan.
"Udah deh, kamu tuh nggak kuat. Lihat aku nih!" kata angin bohorok dan langsung melesat. Angin bohorok menghancurkan segalanya. Rumah, perkebunan kopi, perkebunan teh, dan lain-lain. Tapi sang monyet malah bergeming. Ia malah lebih mempererat pegangannya pada pohon kelapa.
"Ah, cupu! Makanya, lihat nih, angin tornado! Angin paling kuat sedunia!". Angin tornado langsung bergerak menuju si monyet. Kali ini dampaknya lebih dahsyat. Bukan hanya rumah dan perkebunan yang terlempar, gedung-gedung pencakar langit rusak, hancur. Rumah-rumah beterbangan, mobil-mobil melayang di udara. Angin berbentuk corong dari langit itu menghancurkan segala yang dilewatinya. Tapi apa? Sang monyet malah lebih, lebih mempererat pelukannya pada pohon kelapa, seakan tidak mau melepaskan begitu saja, seakan pohon kelapa itu adalah hidupnya. Dia sudah mengalami dua angin kuat terdahulu, dia sedikit banyak sudah tahu medan, maka kali ini dia lebih tahu dan siap menghadapi gempuran.
Berjam-jam angin tornado yang mengklain sebagai angin paling kuat sedunia itu mencoba, tapi gagal. Sang monyet masih ada di atas pohon.
"Gila ya! Tambah kuat aja pegangannya!" umpat salah satu angin.
Tiba-tiba datanglah angin sepoi-sepoi. Dia berkata, "Aku nyoba ya. Siapa tahu bisa".
Ketiga angin terdahulu langsung ngakak abis. "Lha kita aja nggak bisa, apalagi kamu yang kecepatannya cuma beberapa meter per detik, ha? Nggak mungkin, nggak mungkin!"
"Lhoo, aku kan mau nyoba. Ya? Ya? Nyoba doang kok!" pinta angin sepoi-sepoi. Permintaannya akhirnya diluluskan walaupun ketiga angin yang lain masih sakit perut karena kebanyakan ketawa.
Datanglah angin sepoi-sepoi pada si monyet. Whus whuss, angin itu bergerak, mendesau lembut. Dibelai angin, si monyet akhirnya tertidur. Dia meloloskan pelukannya pada pohon kelapa, dan.... bluk, dia pun terjatuh.
Angin sepoi-sepoi tersenyum-senyum, ketiga angin melongo abis.

Intinya sih: ujian itu ada untuk menguatkan kita. Kadang ujian itu emang gede (diibaratkan ketiga angin). Saat itu, apa yang kita butuhkan? Tak lain adalah pegangan alias iman yang kuat. Tapi ada juga ujian yang saking kecilnya kita anggap enteng dan akhirnya kita malah terjatuh di lubang kecil tersebut (diibaratkan angin sepoi-sepoi)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saya pernah baca sebuah ungkapan puisi (lupa baca di mana). Tapi isinya bagus banget. Kalau nggak salah (ya bener, hehehe) isinya gini (dengan sedikit revisi):
 Yakinlah
Bahwa Dia memberimu ujian
Karena Dia ingin membuatmu kuat
Yakinlah
Bahwa Dia akan memberimu yang kau butuhkan
Bukan yang kau inginkan
Yakinlah
Percayalah
Bahwa Dia memberimu hujan
Karena Dia ingin dirimu mendapat pelangi

Reading Time:

Jumat, 15 April 2011

Dia yang Memberi
April 15, 20110 Comments
Pernah lihat orang kaya infak uang 10 juta? Itu biasa. Tapi pernah lihat seorang tukang becak menyumbang sebesar RMB 350.000 (kurs 1300, setara 455 juta Rupiah)? Pernah? Bahkan pernahkah kita melihat seorang pejabat menyumbang sebesar itu?
Kisah ini dimulai di Cina. Kisah seorang lelaki tua renta pengayuh becak, yang karena sebuah peristiwa yang hinggap di pelupuk matanya yang sudah keriput, bisa mendorongnya untuk mengayuh lebih keras dan memberikan sebagian besar hasil pekerjaannya untuk sebuah yayasan.
Bai Fang Li, seorang lelaki pengayuh becak yang sudah tua. Perawakannya kecil dan kurus, tidak perkasa. Bahkan bisa dilihat bahwa dia cukup ringkih. Namun semangatnya tetap membara demi menghidupi para yatim-piatu yang hidup di sebuah yayasan. Dia bekerja mulai jam 6 pagi hingga pukul 8 malam.
Para pelanggan sangat menyukai Bai Fang Li karena ia merupakan pribadi yang ramah dan murah senyum. Ia juga tidak pernah mematok berapa uang yang harus dibayarkan padanya atas kerjanya mengayuh becak. Tapi itulah sebabnya mengapa para penumpangnya memberinya upah lebih. Sifat rendah hati selalu memberi feedback yang sama, bukan? Allah maha adil.
Suatu hari, dia melihat seorang anak kecil yang membantu seorang ibu membawakan belanjaannya. Bai Fang Li sering melihat anak tersebut mengangkatkan belanjaan. Anak itu terlihat kesulitan mengangkat barang bawaan tersebut. Namun ia tetap bersemangat mengangkat bawang. Saat ibu itu memberikan beberapa koin recehan, anak itu tampak senang sekali. Setelah mengangkatkan barang bawaan ibu tersebut, anak itu lalu pergi ke tempat sampah dan mengorek-ngorek isinya. Menemukan sebuah roti lalu memakannya.
Bai Fang Li merasa kasihan dengan anak tersebut dan membagi manakannya dengan anak itu. Saat Bai Fang Li bertanya pada anak itu, mengapa ia tidak membeli makanan dengan uang yang didapatnya, padahal uang pendapatannya cukup untuk memberi makanan yang cukup, anak itu menjawab, "Uang itu untuk makan kedua adik saya". Dan saat ditanya di mana orang tuanya, anak itu menjawab, "Orang tua saya pemulung. Sejak mereka pergi memulung beberapa saat yang lalu, mereka tidak pernah kembali".
Bai Fang Li lalu pergi ke rumah anak yang bernama Wang Fing tersebut. Bai Fang Li makin nelangsa saat melihat kedua ading Wang Fing yang berusia 5 dan 4 tahun yang memakai pakaian kurus kering dan compang-camping. Tidak mengherankan, mengingat mereka sudah ditinggal kedua orang tuanya yang pemulung. Apalagi para tetangga mereka juga tidak bisa membantu karena mereka juga hidup dalam kekurangan.
Bani Fang Li lalu memasukkan ketiga anak kasihan tersebut ke sebuah yayasan. Saat itu Bai Fang Li berkata bahwa setiap hari dia akan mengantarkan penghasilannya ke yayasan tersebut untuk menghidupi anak-anak yatim piatu di situ.
Sebagai akibat, Bai Fang Li hidup dengan sederhana. Dia tinggal di sebuah gubuk tua yang disewanya per hari di sebuah lingkungan para pengemis dan pemulung. Gubuk itu hanya terdiri atas satu ruangan sempit. Hanya ada sebuah tikar tua yang robek-robek sebagai kasurnya, sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Sebagai alat makannya ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya dari tempat sampah dan sebuah tempat minum dari kaleng. Dipojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, (lampu templok, bukan LAMPU LISTRIK).
Dari penghasilannya mengayuh becak, sebenarnya Bai Fang Li bisa hidup dengan layak. Namun dia lebih memilih untuk memberikan penghasilannya kepada sebuah yayasan sosial di Tianjin untuk menghidupi anak-anak yatim-piatu.

Di ambang usianya yang ke-90 tahun, Bai Fang Li datang ke yayasan tersebut sambil menangis. Dia berkata, "Saya sudah tua, saya sudah tak bisa mengayuh becak lagi," katanya sambil berurai air mata lalu memberikan seluruh tabungannya senilai sekitar 650 ribu rupiah kepada yayasan tersebut.
Bai Fang Li meninggal pada usia 93 tahun. Akhir hidup seorang pria yang mengayuh becak dan memberikan penghasilannya selama dua puluh tahun kepada sebuah yayasan, sedang dia sendiri hanya mengambil secukupnya untuk sewa gubuk, membeli makanan berupa dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya.

Semoga bisa menjadi hikmah bagi kita. Kalau seorang tukang becak yang hidup kekurangan saja bisa berbuat semulia itu, bagaimana dengan kita yang mampu?
Reading Time:

Kamis, 07 April 2011

Angin, Cemara, Bambu
April 07, 20110 Comments
Pernah cuma kepikiran nih. Waktu itu ada setan yang tiba-tiba lewat terus ngebisikin, "Udah, lo nggak bisa apa-apa! Lo gak bakalan sukses, dah! Noh, liat sono. Temen-temen lo udah sukses. Lo? Apaan? Kagak ada apa-apanya!". Nah, langsung deh ini otak langsung memerintahkan kadar semangat dalam tubuh jadi nol (nggak sih, nggak sampe nol. Supaya dramatis aja kesannya. Hehehe).
Seperti orang down pada normalnya, aku langsung analisa. Ini anak-anak makan apa sih kok bisa sukses kaya' gitu? Dan hasil analisa menunjukkan kalau jalanku dan jalan mereka beda. Dan otakku langsung memerintahkan diriku untuk mengikuti cara mereka. Tapi setelah beberapa hari, baru aku ngerti kalau ternyata jalan orang beda-beda. Dan muncullah satu quote:
Tiap orang memiliki jalannya sendiri
Kamu indah dengan jalanmu
Terus sambil bikin puisi, mikir-mikir lagi. Dan muncullah analogi berikut. Analogi angin, cemara, dan bambu.
Angin adalah jalan orang sedangkan bambu dan cemara adalah diriku sendiri.  Kalau aku jadi cemara, yang mau mengikuti jalan orang lain padahal jalan itu nggak cocok buatku, akhirnya aku akan semakin doyong dan miring. Emang kelihatannya sih kuat. Lihat aja cemara, kelihatan kuat kan? Tapi pada akhirnya aku bakalan doyong, miring, dan akhirnya ambruk.
Sedangkan kalau aku jadi bambu, meskipun kelihatan rapuh, tapi dia mau konsisten pegang jalan dia sendiri dan bersungguh-sungguh. Dan akhirnya, dia tetap berdiri tegak. Nggak doyong, nggak miring, dan nggak ambruk kecuali emang dia waktunya ambruk. Bahkan, dia sempat-sempatnya nyimpan air.
Jadi, buat apa jadi cemara kalau berakhir nelangsa sedangkan kita bisa memilih jadi bambu yang konsisten dalam waktu?














Reading Time: