Hijaubiru: Film
Tampilkan postingan dengan label Film. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Film. Tampilkan semua postingan

Jumat, 23 September 2022

September 21, 1945
September 23, 2022 4 Comments


Mumpung masih sama-sama September. 


Pernah kenal dengan gambar di atas? Atau justru langsung pengen nangis waktu lihat gambar di atas? Waktu lihat post di atas di story salah seorang teman, rasanya saya pengin memekik, "Kok kamu tega ngingetin soal ini. Di-post pagi-pagi, lagi!" 


Gambar di atas merupakan potongan adegan dari film animasi Grave of Fireflies (Hotaru no Haka). Meski film lawas banget, film besutan Studio Ghibli ini tetap sukses bikin penontonnya menangis tersedu-sedu. Film ini ber-setting di Negeri Matahari Terbit, ketika kekaisaran itu sedang mengalami perang dunia. Tepatnya, waktu mereka sedang dibombardir balik Amerika Serikat. Film ini sebetulnya merupakan adaptasi dari cerpen semi-otobiografi karya Akiyuki Nosaka[1]. 


Grave of Firelies bukan bercerita soal perang itu sendiri, tapi tentang hidup-hidup rakyat biasa yang terimbas perang. Tokoh utama film ini, seorang kakak lelaki dan adik perempuannya yang masih kecil, terpaksa kehilangan orang tua dan rumah karena perang. Nggak cuma ending, sepanjang adegan di film ini semuanya bikin nyesek dan nangis. 


Kali ini, saya nggak ngomongin soal isi cerita atau review filmnya. Tulisan kali ini lebih ngebahas tentang refleksi perang buat manusia non-militer. 


Film-film bertema militer sudah lama beredar. Bahkan film action yang bukan reka ulang kejadian masa lalu, juga bejibun. Sebutlah film-film Hollywood, antara lain seri Delta Force, dsb. Yang digambarkan di film itu adalah betapa kerennya action mereka (ya emang keren, sih), betapa rasanya bangga kalau berhasil menyelesaikan misi, betapa rasanya senang karena misi sudah selesai.


Tapi, apa betul begitu rasanya perang?

Yang kita lihat di film itu adalah serdadu yang hoki; yang berhasil menyelesaikan misi dan tetap hidup. Atau malah pasukan elit yang skill-nya memang di atas rata-rata. Tapi, berapa tentara biasa yang mati dan keluarga yang kehilangan sosok ayah/anak/suami/saudara? POV penuh rasa bangga itu akan berubah signifikan bila dilihat dari kacamata warga sipil. Grave of Fireflies menyinggung hal itu dari kacamata sepasang anak kecil.


Betapa adegan perang yang terlihat gagah, diiringi musik dengan beat berdentum, berubah jadi alarm penuh tanda bahaya di mata sepasang kakak beradik yang usianya masih kurang dari 12 tahun itu. Apalagi mereka kehilangan orang tua dan rumah. Maka hal seperti kelaparan, mencari tempat tinggal, terpaksa mencuri demi bisa makan, adalah hal yang harus mereka hadapi. Dan, hal-hal ini juga terjadi betulan pada manusia di masa perang. Mungkin, malah terjadi pada leluhur atau tetangga leluhur kita, dulu. 


Lupakan sekolah dan pendidikan. Mendapatkan kebutuhan primer seperti pangan dan papan saja susahnya minta ampun. Maka pendidikan jadi salah satu barang mewah waktu itu. Tak heran zaman dulu banyak orang yang buta huruf. Buat apa? Yang penting bisa bertahan hidup dulu. (Meski dalam beberapa kondisi, tidak buta huruf bisa juga sangat menolong untuk tetap hidup. Bisa ngelamar jadi pegawai di kantor pemerintahan, misalnya.)


Dalam Grave of Fireflies, hal-hal yang lumrah dilakukan anak kecil menjadi sesuatu yang super mewah. Permen? Duh, sekaleng harus dieman-eman bener biar nggak cepat habis. Sebab, jajan mereka ya cuma itu. Anak kecil juga nggak bisa pakai baju yang lucu-lucu kayak balita zaman sekarang saat mereka keluar main sore. Sehelai baju harus betul-betul dijaga supaya nggak sobek. Nggak apa-apa warnanya sudah luntur, yang penting masih bisa terpakai. Mainan? Buku? Lupakan seri-seri mainan dan buku mahal nan edukatif zaman sekarang. Sebuah ranting, bola usang, dan lahan depan sungai sudah harus cukup jadi bahan permainan. 


Bukan cuma barang atau materi, bahkan kebersamaan pun menjadi suatukemewahan. Berbanding terbalik dengan perpisahan yang telah jadi satu hal yang umum.


Seseorang pernah berkata bahwa nasib kakak-beradik dalam film nggak akan sesusah itu kalau saja si kakak mau bekerja mencari nafkah, seperti anak-anak lain seusianya yang juga bekerja. Itu ada betulnya, sebab di zaman tersebut, anak-anak memang sudah bekerja. Bahkan ada segolongan balita yang sudah dipekerjakan. Hal itu memang menjadi miris bila dibandingkan dengan standar sekarang.


Namun, saya pribadi tetap nggak sreg bila anak-anak, apalagi di bawah usia legal, sudah harus bekerja. Dan, bekerjanya bukan sekadar buat nambah uang jajan, tapi betul-betul untuk hidup. Saya tahu bahwa hal itu merupakan sesuatu yang di masa tersebut. Bahkan harus dilakukan kalau mau tetap hidup. Tapi, apa 'sesuatu yang harus' itu selalu manusiawi? Anak-anak, bekerja?


"Kan, zaman perang. Beda, dong."

That's the exact point. Perang membuat semua yang lumrah dan normal menjadi ekstrem. Sesimpel leisurely playing menjadi satu kemewahan. Suatu kebutuhan dasar yang wajar berubah jadi satu hal yang sulit didapatkan. Hal yang normal adalah suatu hal yang tidak normal, vice versa


Perang beda dengan penggambaran di film-film. Nggak semua orang ikut merasakan kemenangan. Nggak semua pihak bisa merasakan euforia kebanggaan dan kekerenan setelah bom dilempar dan si tokoh utama melenggang macho dengan kobaran api sebagai background


Justru banyak pihak yang terdampak adalah warga sipil yang nggak tahu apa-apa, nggak ikut apa-apa, tapi kena imbasnya. Warga sipil yang simply pengin hidup biasa-biasa aja. Kisah-kisah miris yang terjadi pada kelompok rentan, apalagi. Dan kisah-kisah itu masih terjadi di berbagai belahan dunia hingga saat ini, meski jumlahnya menurun jauh bila dibandingkan dengan waktu PD I atau PD II.


Tapi, rasa sakit tetap rasa sakit meski yang merasakan hanya sedikit.

Kehilangan tetaplah kehilangan meski hanya terjadi pada sebagian orang.

Kita, yang alhamdulillah tidak mengalaminya, tak punya hak untuk berkata, "Halah cuma gitu doang."


Betul bahwa perang adalah masalah politik. Akan selalu ada unsur politis. Tapi itu hendaknya nggak menghalangi kita untuk berempati pada sesama. Apalagi pada manusia yang nggak tahu apa-apa tapi tetap kena imbasnya akibat pilihan politik para pentolan negara.


Karena pada akhirnya mereka hanyalah rakyat biasa.

Seperti kita.

Bila kita saja tak sanggup membayangkan hal yang sama terjadi pada kita atau keluarga atau para sahabat dan teman dekat atau tetangga, maka mari bertenggang rasa. Atau setidaknya, tak usah mencela.




==================


Yang sering muncul di kisah atau diajarkan di sekolah adalah perang 'permukaannya' aja. Kalau kita gali sedikit lebih dalam, ugh, it was more gruesome. (Apalagi kalo gali sampai dalam banget.) Sampai kadang dibikin bingung sebab semua pihak jadi abu-abu. Dan pada akhirnya berkesimpulan, "Oalah... menungso, menungso..."






Reading Time:

Sabtu, 02 Oktober 2021

Buku dan Film: antara Sekuel dan Layar Lebar
Oktober 02, 20210 Comments





Film: sekuel atau enggak? 

Makin ke sini, rasanya makin banyak film yang dibikinkan lanjutannya padahal sebelumnya nggak ada rencana. Biasanya film yang memang bagus atau disukai banyak orang. Aji mumpung, mumpung laku, siapa tahu kalau ada lanjutannya juga laku, kan? Nggak apa-apa sih, ASAL bagus. 

Masalahnya tuh, ada beberapa film (dan buku) yang awalnya bagus, terus waktu dibikin lanjutannya malah jadi zonk. Kan kecewa ya... Apalagi penggemar setianya. Tahu gitu nggak usah dibikin sekuel sama sekali.

====================================
Buku: sekuel atau enggak? Angkat ke film atau enggak?

Jujur sih, waktu lagi pengin nulis ini, sebenernya saya terpantik gara-gara ada satu novel favorit yang kemudian dibikin sekuelnya. Kecewa? Iya. Karena novel itu sudah selesai dengan paripurna dan sempurna. Nggak ada cerita lanjutannya dan memang nggak ada yang perlu dilanjutkan. Saya ngikutin proses sang penulis saat menyusun buku itu dan nggak ada arah ke sana sama sekali.

Memang sudah selesai.

Bahkan, endingnya aja sebetulnya agak aneh karena terkesan diada-adain atau dijelas-jelasin, seakan pengin negesin kalau ini lho tokoh utamanya udah nggak papa, beneran deh! Untungnya ending yang rada aneh ini cuma 1-2 halaman aja (ada sih novel yang ngasih glimpse ke kehidupan tokohnya waktu konflik udah selesai/udah bahagia, cuma, eksekusi di novel ini berasa kurang smooth). Selain poin itu, dari intro sampai menjelang ending sebetulnya isinya bagus. 

Yang bikin kecewa lagi adalah ketika buku ini difilmkan. Kejadiannya udah lama sih, bertahun-tahun lalu. Saya udah feeling harusnya nggak usah nonton. Tapi toh karena penasaran, pergi juga ke bioskop. Then, what? Ya bener, nyesel.

"Lho katanya isi bukunya bagus? Kok nonton filmnya nyesel?"

Isi bukunya emang bagus. Serius. Salah satu buku favorit saya. Berulang kali saya baca dan bahkan jadi 'acuan' nulis fiksi. Tapi, rasa-rasanya bukan buku yang cocok buat difilmkan. Bukan karena eksekusinya kurang bombastis kayak Harry Potter ketika difilmkan, bukan! Namun, lebih karena alurnya.

Saya rasa, film yang menarik itu harus alurnya yang memang menarik atau eksekusinya yang menarik. Biasanya buat yang kedua, ide ceritanya emang biasa-biasa aja. Misalnya? Film-filmnya Marvel. Plotnya kan simpel: ada orang jahat atau membahayakan bumi, lalu dibasmi dengan bertengkar. Tapi eksekusinya keren kan, bisa bikin orang 2,5 jam anteng nontonin adegan per adegan. Atau film Hachiko. Intinya sederhana: nemu anjing, dipelihara, terus si anjing tetap setia nungguin di depan stasiun meski pemiliknya udah meninggal. Tapi toh orang-orang tetap nangis deres waktu nonton filmnya. 

Nah, buku ini, sebenernya alurnya 'biasa aja'. Plot yang dipakai sebetulnya termasuk sudah sangat sering dipakai di jagat perfilman dan pernovelan Indonesia. Bedanya adalah: di buku, ada detail-detail yang dijelaskan lebih dalam. Perasaan si tokoh dieksplor lebih dalam, istilah dan hal-hal asing dijelaskan lebih jauh, ada backstory para tokoh, dan dan terutama diksi yang digunakan -meski tetap bahasa praktis tapi- lebih ke arah puitis. Jadinya, memang indah. Sayangnya, hal-hal seperti diksi, background story (yang memang luas dan panjaaang itu), memang nggak bisa diadaptasi ke film. Kalau dipaksakan, jadinya malah aneh. Entah jadi kepanjangan atau dialognya bakal berasa nggak natural.

Pernah di webtun, (iya webtun, bukan webtoon. Ini nggak salah tulis. Sekarang sudah ada versi resminya di KBBI jadi webtun) ada sebuah komik yang lumayan populer. Rame dong kolom komentarnya, pada nyaranin dan ngebayangin kalau dibikin K-drama dsb. Tapi, ada seorang yang kurang lebih bilang gini:

"Ya menurutku kurang pas dijadikan drakor karena sebenarnya ceritanya simpel. Cuma agak lambat aja alurnya. Mungkin kalau dijadiin webseries setengah jam-an atau cerita to the point (film) durasi kurleb sejam-an lebih cocok daripada dijadiin drama series. Soalnya, adegan dan alur ceritanya kurang dalem. Ntar jadi jelek." 

Entah buku, entah komik (fisik atau digital), menurut saya punya tantangan ini ketika difilmkan. Kalau buku, bisa jadi karena sebetulnya dia bagus di diksi. Kalau komik, bisa jadi karena sebenarnya dia bagus di penggambaran adegan. (Soal eksplor detail dsb keduanya sama sih menurut saya -- dalam hal-hal yang bagus maksudnya).

Yang ngikutin banyak komik romance pasti udah nggak aneh lagi kalau banyaaak pembaca yang pengin ceritanya dilanjutin. Entah sampai resepsi pernikahan, waktu udah punya anak, cerita pas udah nikah/bahagia, bahkan ada yang minta ceritanya dilanjutin sampai ke generasi anak si tokoh utama. 

Lha, konfliknya kan udah selesai. Kalau ditambah konflik lagi, malah mirip sinetron atau manhua pasaran, dong?

Untungnya --menurut saya sih-- emang komik/manhwa yang udah selesai kemudian nggak dilanjut oleh author. Di situasi gini, biasanya yang dipakai adalah win-win solution: dikasih sedikit chapter untuk side stories. Jadi pembaca bisa tetap ngintip kehidupan para tokoh di masa depan, tapi dengan cerita yang ringan dan nggak perlu berhubungan. Kayak, demi muasin perasaan pembaca aja gitu, nggak ada hubungannya sama plot. Tapi, ini cara yang bagus biar kedua belah pihak (author dan pembaca) sama-sama puas.

Cuma, cara di komik-komik ini menurutku kurang cocok kalau diadaptasi ke novel. Terutama yang endingnya gantung. Atau saya ngerasa gitu karena lebih suka ending gantung atau rada hablur ya? Hehehe.

Jadi, memang, buku bagus bisa jadi nggak bagus saat dijadikan film. Di sini emang hak prerogatif penulis: dia mau/nggak kalau ada tawaran difilmin. Tapi, ada baiknya dia juga mikir: bukunya cocok atau enggak buat difilmin?

"Yang kamu bilang adaptasi filmnya nggak bagus itu ada kok yang tetep difilmin dan banyak yang suka/nonton."

Iya, emang tetap banyak yang nonton dan suka. Selera dan pendapat orang kan beda-beda. Nggak bagus buat saya bisa jadi bagus banget buat orang lain, juga sebaliknya. Apalagi kalau penggemar yang militan, mau jelek atau bagus tetap bilang bagus (ini sih 'blindspot' kalo udah jadi penggemar seseorang/sesuatu. Jadi susah objektif. Fanatism?). Tapi menurutku, film itu jatuhnya sama seperti film-film layar lebar lainnya yang cuma jual cinta dan lokasi keren tanpa ada substansi lebih dalam. Padahal, justru itu yang bikin bukunya bagus, tapi malah nggak dimasukin di film.

Kemudian, buku yang saya ceritain di awal tadi bakal dibikin lanjutan bukunya.
Apa saya bakal beli, seperti waktu buku pertamanya dulu muncul dan bela-belain beli cetakan pertamanya?
Sepertinya enggak. 

Saya harus tahu 'batas untuk berhenti' supaya buku 'pertama' itu tetap bisa terus saya nikmati tanpa rasa kecewa. 



--------------------------------


NB: bahasanya amburadul ya? Iya, kerasa kok, wkwk.
Nanti deh saya edit lagi. Udah hampir tengah malem nulisnya,
udah nggak sinkron kayaknya otaknya.
Lebih berasa curhat daripada bikin tulisan 'biasa'.


--------------------------------

NB: Gambar hanya pemanis.
Gambar nggak nyambung? Emang, wkwk.
Biar ada gambarnya aja dan naruh foto lama yang nggak tahu
kapan bakal dipake. Daripada berdebu di folder.
Reading Time:

Sabtu, 25 Agustus 2018

Christopher Robin (2018)
Agustus 25, 20180 Comments
Took this from: imdb.com


Durasi                 : 1 jam 44 menit
Produksi              : Walt Disney Pictures
Cast                    :  -Ewan McGregor (Christopher Robin)
                             -Hayley Atwell (Evelyn Robin)
                             -Bronte Carmichael (Madeline Robin)
                             -Mark Gatiss (Mr. Winslow)
                             -Jim Cummings (pengisi suara Pooh)
               (selengkapnya cek IMDB/Rotten Tomatoes/dan semacamnya)

NB: premier di Indonesia bukan tanggal 3 Agustus 2018. Saya juga nggak tahu jelasnya kapan, tapi setelah tanggal 20-an.

--------------------

"Did you let me go?" - Pooh
"Yes... yes I did." - Christopher

Sejak pertama tahu dan ngelihat teaser-nya, saya sudah berniat nggak nonton. Kenapa? Karena di teaser sudah jelas-jelas menunjukkan Christopher Robin yang sudah dewasa dengan sifat yang jauh berbeda dari sifat masa kecilnya dulu. Sebagai penyuka Winnie The Pooh & Friends yang terbiasa dengan sifat polos, ceria, kalem, dan full of sunshine-nya Christopher, saya nggak rela dia berubah jadi laki-laki seperti itu.

Sungguh nggak rela dan nggak mau. I am not ready for the adult version of Christopher Robin.

Pernah ngerasain kecewa berat karena dulu pernah naksir orang  dan berharap sosoknya masih sama seperti dulu, tapi saat sekarang ketemu ternyata dia sudah 180 derajat berubah dan bukan lagi orang dengan sifat yang kita sukai atau nggak sesuai bayangan & harapan kita? Kurang lebih gitu perasaan saya waktu itu, padahal baru lihat teaser doang.

Namun, beberapa hari yang lalu, pergi juga saya ke bioskop. Apa pasal? Mendengar suara kalem dan kalimat serta tingkah polos Pooh di trailer, saya meleleh. God, that bear is so fluffy and adorable!

Baru 15 menit film diputar, saya udah kudu nangis. Pahit! Patah hati! Selama ini saya nggak sadar bahwa hidup Christopher serta Pooh dan kawan-kawan di buku atau kartunnya ber-setting sebelum Perang Dunia I. Prolog film ini menampilkan Christopher yang harus meninggalkan teman-temannya di pedesaan Sussex (Inggris) karena dimasukkan ke sekolah asrama. Tak lama, sang ayah meninggal. Di usia 20-an, Christopher pindah ke London dan bertemu Evelyn, calon istrinya. Mereka menikah dan saat Evelyn hamil, pria itu harus berangkat ke medan laga Perang Dunia I. Tiga tahun Evelyn membesarkan putri mereka, Madeline, sendirian sebelum Christopher akhirnya kembali, syukurlah, dengan anggota tubuh yang lengkap.

Life happened to Christopher.
Bocah manis yang dulu, kini telah merasakan riak-riak kehidupan.

Christopher yang merupakan veteran perang kemudian bekerja sebuah perusahaan koper, Winslow Company. Berubah menjadi pria yang terlalu sibuk dan terlalu serius, sang istri pun protes dan sang putri ngambek. Apalagi ketika akhir pekan yang dinantikan tiba, Christopher tidak bisa ikut pergi bersama mereka ke pondok di Sussex karena harus lembur. Perusahaan sedang krisis dan Christopher, sebagai salah seorang atasan, harus cepat menyelesaikannya.

Kapan Pooh muncul?

Pooh muncul ketika beruang itu bangun pagi, menemukan bahwa gentong madunya kosong, dan pergi ke rumah Piglet untuk meminta madu. Anehnya, beruang itu tidak menemukan Piglet atau teman-temannya yang lain. Kesepian, ia pergi ke pohon tempat Christopher dulu muncul. Ia memasukinya, merangkak terus, dan keluar dari sebuah pohon lain di taman depan rumah Christopher.

Christopher panik karena kemunculan sahabat masa kecil yang ia anggap tak nyata. Namun, mau diapa-apakan juga, boneka beruang itu memang ada, bicara, dan bergerak layaknya makhluk hidup. Tak ingin Pooh mengganggu lembur, pria itu memutuskan mengembalikan teman lawasnya ke pedesaan Sussex. Namun, masalah baru menunggu di sana: ia harus membantu Pooh menemukan teman-temannya yang menghilang secara misterius.

Berdua mereka mencari di hutan. Pooh berkata berkali-kali bahwa ia khawatir teman-temannya diculik oleh Heffalump dan Woozle, monster hasil imajinasi Christopher dan yang lain ketika lelaki itu masih kecil. Frustasi, Christopher pun membentak bahwa monster itu tak nyata, bahwa hidup sudah berubah, bahwa dia sudah berubah.

Pooh mengkeret, saya mengkeret. Kepala Pooh menunduk sedih, hati saya patah jadi dua.

Who is this man? It's as if there is no trace of the young Christopher in him. I mean, how could he shout at that adorable, innocent creature, who is was his bestfriend?

Yeah he could. Life happened, remember?

Tapi itu nggak berlangsung lama kok. Satu peristiwa membuatnya 'sadar' dan dengan rela hati membantu Pooh dan kawan-kawan. Sudah? Belum. Setelah berpisah dengan sahabat-sahabat masa kecilnya dan kembali ke London, kini giliran Madeline yang lenyap dari pondok. Ke mana Madeline? Dan, bagaimana nasib krisis perusahaan yang sedang ditangani Christopher?

Ditarget sebagai film anak-anak, maka jangan protes bila ending dan penyelesaiannya pun sangat sederhana. Tak ada intrik yang mengguncang layaknya roller coaster. Bahkan rasanya ritme bicara para tokoh juga tidak terlalu cepat dan kata-kata yang digunakan pun cukup sederhana, mungkin untuk memudahkan anak-anak supaya bisa mengikuti dan paham dengan mudah. Ending yang manis juga bisa membuat para krucil bahagia dan puas. That's what children stories are like, right? Happy ending and live happily ever after.

Meskipun film anak-anak, nggak ada salahnya yang 'sudah besar' ikutan nonton. Perkembangan karakter Christopher Robin dari anak kecil yang simpel, menjadi orang dewasa yang 'pahit', kemudian menemukan kembali 'inner child'-nya tanpa melepaskan peran sebagai orang dewasa, mungkin dapat membantu mengingatkan bahwa kehidupan tak selamanya serius.  After all, there'll always be an inner child inside us. Ada momen-momen di mana kita bisa berhenti sejenak, menikmati hidup sebentar untuk refreshing sekaligus memaknainya, lalu berjalan lagi maju ke depan.

Those moments are what we live for.
Those moments which make us alive.
Those moments which, actually, matters the most.
Those moments-in-between.


--------------------


PS: saya ngerasa kalau ini nggak sepenuhnya review film, berasa separuhnya lebih ke curhatan. Sorry.

PPS: nulisnya banyak kecampur bahasa Indonesia-Inggris. Efek belum bisa move on dari cerita-cerita fiksi nemu di internet & nonton ulang BBC Sherlock. Sorry again. 
Reading Time:

Minggu, 21 Juni 2015

Pride and Prejudice
Juni 21, 2015 6 Comments



Maunya sih dikasih judul 'My Confession part 2'. Pasalnya, inilah film yang saya sebut-sebut di postingan sebelumnya.

Saya agak susah meleleh sama film-film yang katanya romantis. Film-film bergenre roman yang saya download, terutama film Barat, hanya saya tonton dua-tiga kali, lalu detail ceritanya hilang dari ingatan. Kalau nasibnya lagi nggak beruntung, nontonnya di-skip berkali-kali, lalu kalau dinilai nggak menarik, langsung saya lempar ke Recycle Bin.

Bisa dibilang, satu-satunya film roman yang tetap tinggal di ingatan cuma satu: Titanic. Itu pun, mungkin, karena waktu itu saya belum banyak preferensi soal film roman (jadi sekarang sudah banyak? Nggak juga sih, hehehe).

Film apa sih?

Kawan yang suka baca, apalagi literatur klasik, begitu dengar satu kata aja, langsung bisa nebak film ini. Waktu saya posting status fb tentang film ini, salah satu teman pun langsung bisa menebak dengan menanggapi,



Yes, it is 'Pride and Prejudice'.

Got this from www.moviepostershop.com

Diadaptasi dari novel tulisan Jane Austen, film yang rilis 2005 ini disutradarai Joe Wright. Sebelum versi 2005, sebenernya novel ini sudah banyak diadaptasi jadi film. Yang paling terkenal adalah versi BBC mini series tahun 1995. Di mayoritas adaptasinya, film bersetting tahun 1800an. Tapi menurut IMDb, versi 2005 bersetting tahun 1797, tahun sang penulis menyelesaikan draft novelnya.

Gimana sih ceritanya, sebegitu romantisnyakah sampai saya putar empat kali berturut-turut dalam satu malam?

Ide ceritanya soal pandangan masyarakat Inggris pada umumnya saat itu. Bahwa gadis 'pekerjaan utamanya' adalah nyari suami dan nikah. Harus kalau bisa, suaminya yang pantas dalam hal status dan pemasukan (hm... nggak heran pas baca Sherlock Holmes sering ada kalimat, 'pemasukannya xxx pound per tahun'). Jadilah para gadis sibuk memikat gentleman ketika sudah cukup umur. Di masyarakat Inggris zaman lawas itu, juga ada semacam aturan tak terlisan tentang kasta. Bangsawan harus nikah sama bangsawan, orang kaya nikahin orang kaya, dan warga yang statusnya menengah ke bawah harus tahu diri.

Jadi, pantas kan kalau Mrs. Bennet, ibu dari keluarga bukan strata atas dan dari lima anak perempuan yang sudah cukup umur, nggak bosan-bosan mendorong gadis-gadisnya secepatnya nyari suami yang kaya? Lydia & Kitty Bennet, dua anak terakhir, nggak usah disuruh sudah nyari sendiri. Tapi Mary Bennet, sang anak tengah, malah terkesan plain karena kebanyakan baca dan nganggap bersosialisasi itu kurang penting. Jane Bennet yang berhati lembut, sedikit-sedikit masih mematuhi ibunya. Meski demikian toh Jane jatuh hati pada Mr. Bingley, seorang pemuda kaya, bukan karena melihat statusnya. Tapi Elizabeth (Lizzy) Bennet, mendeklarasikan bahwa ia tak akan, akan, pernah menikah hanya demi uang.

L-R: Lydia, Kitty, Elizabeth, Jane, Mary
 Picture was copied from http://socialwits.com/pride-and-prejudice-perfection-in-austen/

"Only the deepest love will persuade me into matrimony, which is why I will end up an old maid" - Elizabeth.

Elizabeth punya watak yang kontras dengan keempat saudarinya. Ia lebih keras dari yang lain, bicaranya terus terang, dan sikapnya independen. Maka ketika dalam suatu pesta ia bertemu dengan Mr. Darcy, gentleman kaya raya yang dianggap menghinanya, langsung aja Elizabeth mengetok palu kalau ia tidak menyukainya.

Description of Mr. Darcy, captured from the novel

L-R: Mr. Bingley, Mr. Darcy, Miss Caroline Bingley
Picture was printscreened

Namun entah kenapa, takdir selalu mempertemukan Lizzy (Elizabeth) dan Mr. Darcy. Entah ketika Lizzy menjenguk Jane yang jatuh sakit ketika mengunjungi kediaman Mr. Bingley, di pesta yang diadakan Mr. Bingley, bahkan ketika Lizzy mengunjungi rumah sahabatnya di Rosings (tempat ini jauh dari Longbourne, kediaman keluarga Bennet). Di kesempatan-kesempatan itu, keduanya banyak terlibat percakapan yang meski pendek-pendek tetapi penuh makna. Catat, makna di sini bukan cuma soal romantisme, tapi lebih dalam dari itu. Dari sinilah keduanya lebih mengenal.

Sosok sombong dan penuh kebanggan yang tidak disukai Lizzy ternyata merupakan sifat pemalu Mr. Darcy yang banyak disalahartikan. Darcy ternyata sangat, sangat baik. Orang yang dermawan dan ringan tangan, yang membantu Lizzy bahkan ketika Lizzy tak meminta bantuannya. Di sinilah letak 'prejudice' yang digaungkan. Bahwa Lizzy yang cerdas ternyata bisa salah menilai orang. Lalu di mana 'pride'-nya? Salah satunya ditampilkan saat Lizzy yang berharga diri tinggi menolak Mr. Darcy karena merasa dihinakan karena Darcy, yang juga juga bersifat demikian, lebih memilihnya dibandingkan strata mereka.


"I've fought against my better judgement, my family's expectation, the inferiority of your birth, my rank dan circumstance, all those things... but I'm willing to put them aside... and ask you to end my agony." - Mr. Darcy.

"I might as well enquire why, with so evident a design of insulting me, you chose to tell me that you liked me against your better judgement!" - Elizabeth.

Udah, gitu aja? Nggak ada konflik?

Konflik tentu ada. Lydia yang kawin lari, contohnya. Atau ketika Lady Catherine de Bourgh, bibi Darcy, datang malam-malam dan menginterogasi Lizzy soal hubungannya dengan Darcy. Atau, tentang Lizzy yang menolak lamaran Darcy dengan penuh emosi.

Tapi yang namanya kekuatan pemahaman ya, semua konflik dapat diselesaikan, akhirnya. Ketika mereka saling memahami benak masing-masing, maka apa yang sedang terjadi bisa lebih mudah dimengerti dan diatasi.

Sekilas lebih datar dibanding film-film roman lain yang penuh kejutan dan intrik, tapi film ini tetap memesona lewat gestur tubuh yang bicara dan percakapan-percakapan penuh makna.

Di luar konteks inti/ide cerita yang fundamental (yang baru saya pahami setelah baca beberapa review), film ini menyihir saya lewat setting-settingnya. Lewat musik-musik instrumentalnya yang begitu pas di adegan-adegan tertentu.

Lokasi syutingnya di pedesaan Inggris, lebih tempatnya di estate-estate klasik seperti Wilton House (Wiltshire), Basildon Park (Berkshire), Groombridge Place (Kent), dan Chatsworth House (Derbyshire). Arsitektur klasik  dari gedung-gedung lawas yang dipadu kecantikan khas pedesaan Inggris. Estate menawan yang dikelilingi padang rumput, hutan-hutan yang menjulang, dan sungai kecil yang gemericik. Bisa dibayangkan hidup di sana di zaman 1700-1800an?

Groombridge Place, Kent: rumah keluarga Bennet, Longbourne
Picture was copied from https://www.pinterest.com/pin/251146116689792456/

Basildon Park, Berkshire: kediaman Mr. & Miss Bingley, Netherfield
Picture was copied from http://www.nationaltrust.org.uk/basildon-park/

Stourhead Park: setting of the denied proposal
Picture was copied from http://www.greatbritishgardens.co.uk/england/item/stourhead-gardens.html

Chatsworth House, Derbyshire: tampak luar kediaman Mr. Darcy of Pemberley
Picture was copied from http://www.throapham-house.co.uk/throapham-house/things-to-do-2/heritage-and-museums/

Chatsworth House, Derbyshire: tampak luar kediaman Mr. Darcy of Pemberley
Picture was copied from http://i2.wp.com/www.throapham-house.co.uk/wp-content/uploads/2012/04/DSC_0083.jpg
Chatsworth House: tampak luar kediaman Mr. Darcy of Pemberley
Got this from: www.dmu.ac.uk

Chatsworth House, Derbyshire: tampak luar kediaman Mr. Darcy of Pemberley
Picture was copied from http://blog.luxuryproperty.com/chatsworth-house-luxury-destination-fit-for-a-duchess/292691346_0e690e3749/

Chatsworth House, Derbyshire: tampak dalam kediaman Mr. Darcy of Pemberley
Picture was copied from https://architecturebehindmovies.files.wordpress.com/2012/03/chatsworth_main_hallway.jpg

Wilton House, Wiltshire: kediaman Lady Catherine de Bourgh, Rosings
Picture was copied from wiltonhouse.co.uk

Wilton House, Wiltshire: tampak dalam kediaman Lady Catherine de Bourgh, Rosings
Picture was copied from wiltonhouse.co.uk

Wilton House, Wiltshire: kediaman Lady Catherine de Bourgh, Rosings
Picture was copied from wiltonhouse.co.uk

Dan pencahayaannya. Film ini terlihat lebih cerah dibandingkan film lain yang bersetting waktu yang sama karena cahayanya yang terang. Rata-rata film abad pertengahan yang pernah saya tonton kesannya selalu gloomy, mulai dari lingkungan sampai warna baju, dan akhirnya bikin saya nggak mood nonton (meskipun dilihat juga sampai akhir sih). Tapi Pride & Prejudice ini nggak. Biarpun warna bajunya mungkin nggak beda jauh, tapi kesannya lebih cerah. Sinar matahari di mana-mana.

Selain settingnya yang keren abis, musik-musik yang dimainkan juga mendukung adegan-adegannya. Music defines the moment, the atmosphere. Sepertinya, semakin banyak musiknya, semakin saya suka filmnya. Kenapa? Yah karena musik mendorong perasaan penonton, bikin penonton seakan merasakan apa yang dirasakan tokoh. Musik-musik yang dimainkan di sini musik instrumental, rata-rata biola atau piano, yang beberapa dibuat oleh Henry Purcell & dimainkan oleh Dario Marianelli, English Chamber Orchestra, dan Jean-Yves Thibaudet.

Dari segi tokoh? Jujur aja saya nggak begitu memperhatikan aspek ini. Tapi ketika saya rasa film itu bagus, rasa-rasanya akting pemerannya berarti bagus. Keira Knightley sebagai Elizabeth dan Matthew Macfadyen sebagai Mr. Darcy yang jadi tokoh utama rasanya perfect ketika memerankan Elizabeth yang lively dan Mr. Darcy yang lebih banyak diam dan merasa 'do not have the talent of conversing easily with people I've never met'.

Baru nonton setengah jalan, saya sudah terpesona. Tapi ketika sudah tiga perempat jalan, saya mulai khawatir. Apa pasal? Sejauh ini, tumben-tumbenan nggak ada adegan kissing atau (maaf) intercourse yang selalu jadi identitas khas film Barat. Sampai ketika adegan akhir, saya menarik nafas...

... lega, akhirnya. There are no such things in this film. At least in the British version. And I won't ever, ever, watch the American version.

Ketiadaan dua hal inilah yang bikin film ini bernilai plus-plus-plus di mata saya. Akhirnya, ketemu juga satu film Barat yang mendefinisikan perwujudan cinta di luar dua hal tersebut. Cukup melihat, memahami, dan sama-sama merasakan. Tanpa ada sentuhan sama sekali, kecuali ketika dansa. Baru tahu juga, setelah nonton BTS (Behind The Scene)nya, bahwa zaman itu pria dan wanita nggak saling berjabat tangan, tetapi cukup menundukkan kepala tanda hormat. One touch or one glance can be interpreted as a world to someone.

Gentle, simple, yet so sweet.

Trus gimana dengan novelnya? Apa versi 2005 ini sama?

Jujur, pas nulis ini, sepertiga bagian novelnya belum saya tamatkan. Tapi tentu ada bagian dari novel yang hilang atau diganti. Bukan masalah, karena saya rasa ide utama dan alur pokoknya tetap sama. Miniserinya, versi BBC, memang lebih mengikuti alur dan lebih mirip detailnya dibanding versi 2005 ini. Tapi toh itu miniseri, yang artinya banyak seri, yang artinya banyak waktu pula untuk membuatnya sesesuai mungkin dengan alur asli. Yang ini, versi movie, yang hanya punya waktu kurang lebih dua jam untuk merangkum semua kisah dan perasaan jadi satu dan harus bisa memancing emosi penonton. Jadi wajarlah kalau beda.

Dan satu lagi poin plus: bahasanya puitis. Pada beberapa kalimat sangat sopan, bahkan waktu menyampaikan kritik pedas sekalipun. Kalimat-kalimat yang digunakan pake kata-kata terpilih, kata-kata yang jarang digunakan di percakapan sehari-hari. Lumayan nambah vocab kan jadinya. Misalnya aja, ketika Darcy melamar Lizzy. Di film-film dewasa ini, mungkin ekspresi yang digunakan akan nggak jauh dari, "I love you, will you marry me?" dan semacamnya. Di Pride & Prejudice?

"Please do me the honour of accepting my hand." - Fitzwilliam Darcy (Mr. Darcy)

This movie trully bewitches me.

-----------------------
Cast:
  • Elizabeth Bennet − Keira Knightley
  • Mary Bennet − Talulah Riley
  • Jane Bennet − Rosamund Pike
  • Lydia Bennet − Jena Malone
  • Kitty Bennet − Carey Mulligan
  • Mr. Bennet − Donald Sutherland
  • Mrs. Bennet − Brenda Blethyn
  • Charlotte Lucas − Claudie Blakley
  • Mr. Bingley − Simon Woods
  • Caroline Bingley −  Kelly Reilly
  • Mr. Darcy − Matthew Macfadyen
  • Georgiana Darcy − Tamzin Merchant
  • Mr. Wickham − Rupert Friend
  • Mr. Collins − Tom Hollander
  • Lady Catherine de Bourgh −  Judi Dench
  • Miss de Bourgh − Rosamund Stephen
  • Colonel Fitzwilliam − Cornelius Booth
  • Mrs. Gardiner − Penelope Wilton
  • Mr. Gardiner − Peter Wight   

Songs:

  • Dawn pembukaan
  • Stars and Butterflies
  • The Living Sculptures of Pemberley − saat Lizzy melihat galeri patung di Pemberley
  • Meryton Townhall lagu dansa menyambut Bingley bersaudara
  • The Militia Marches In ketika para tentara memasuki kota
  • Georgiana lagu yang dimainkan Georgiana, juga lagu latar belakang ketika Bingley berlatih melamar
  • Arrival at Netherfield
  • A Postcard to Henry Purcell ketika Lizzy & Mr. Darcy berdansa. 
  • Liz on Top of The World ketika Lizzy berada di atas tebing
  • Leaving Netherfield saat Bingley & Darcy meninggalkan Netherfield. Buat saya, ini lagu paling sedih sepanjang film. Perhatikan aja mimik Mr. Bingley & Mr. Darcy yang lemes dan hopeless, sedangkan Miss Bingley penuh kemenangan.
  • Another Dance
  • The Secret Life of Daydreams
  • Darcy's Letter ketika Lizzy berlari di tengah hujan seusai dari gereja. Scene paling keren.
  • Can't Slow Down lagu dansa
  • Your Hands Are Cold  adegan di padang rumput subuh hari
  • Credits

Recommended!

1st picture is courtesy of the movie itself.
Reading Time: