November 2015 - Hijaubiru

Jumat, 27 November 2015

Makan Aman di Tempat Tak Dikenal
November 27, 20150 Comments
"Berapa harganya Bu?"

Di tempat-tempat tak dikenal: tempat asing, tempat yang baru pertama kali disingaahi, dan terutama tempat wisata, saya sering nanya ini ke ibu atau bapak penjual di warung, atau di tempat makan yang nggak mencantumkan harga di daftar menunya. Bukan apa -tapi kalau dibilang belum punya duit banyak, boleh juga sih, hehe-, tapi kita sebagai pembeli toh nggak mau dapet 'kejutan' setelah makan. Apa enaknya, saat perut udah kenyang, eh tiba-tiba disodori tagihan dengan harga yang nggak sesuai dengan makanan.

Sepiring nasi uduk, lima puluh ribu. Apa nggak syok? Mending kalau rasanya enak. Eh, jadi inget postingan teman tentang satu tempat makan di bilangan tepi pantai Jakarta, beberapaaaa waktu lalu.

Sebagai penggemar jalan-jalan yang (masih) berkantong tipis, hal ini tentu nggak luput dari perhitungan.

Tempat yang sering ngelonjakin harga yang pertama adalah terminal dan semacamnya. Teman saya pernah protes waktu makan mie ayam di terminal Solo. Mie ayamnya bukan mie ayam beneran, tapi mie instan biasa yang diberi beberapa potong kecil ayam. Harganya? Sepuluh ribu. "Ginian mah, di deket kosku cuma lima ribu!" cetusnya.

Tempat kedua? Tempat wisata. Emang nggak semuanya sih, tapi sebagian besar, iya. Jadi untuk amannya, mending tanya aja harganya sebelum beli. Apalagi kalau itu di warung. Bahkan di tempat wisata yang terpencil sekalipun, kadang saya masih nanya harga. Sebab, seseorang yang juga doyan jalan-jalan pernah 'berpesan', "Kalau tempat makan itu sepi, kemungkinannya ada dua: nggak enak atau kemahalan."

Tempat lainnya? Saya pengen nambahin kereta api, sebenarnya. Tapi sekarang kan sudah nggak ada lagi pedagang asongan di dalam kereta ekonomi,

Catatan: aman di dompet belum tentu aman di mulut. Belum tentu enak rasanya.

Untuk mengantisipasi hal ini, di tempat asing, saya biasa pesan menu standar. Nasi goreng. Atau mie rebus. Kalau nggak enak, seenggaknya masih terasa bawangnya. Kecuali di tempat-tempat yang menawarkan menu rada eksotis, maka saya rada berani bereksperimen. Apalagi kalau makanannya cuma ada di daerah itu. Kapan lagi nyobain di tempat asalnya? Contohnya, saat pesan ikan bakar di warung tepi pantai Krakal, Gunungkidul. Kapan lagi makan ikan fresh from the sea ditemani irama deburan ombak Laut Selatan? (Ikan itu pun, masih hasil patungan, hehehe). 

Atau kalau pengen tahu makanan di warung itu enak atau nggak, biasanya cirinya satu: satu warung (kecil) sedia aneka jenis masakan. Bisa jualan soto plus rawon plus bakso plus nasi goreng, dan semacamnya. Kenapa? Ya rasanya nggak percaya gitu, berbagai piranti penyedia berbagai makanan bisa muat di tempat sekecil itu. Dua jenis makanan aja, ada kalanya nggak enak. Pernah saya andok di gerobak dorong yang jualan tahu campur dan kikil. Eh lha kok, kuah kikilnya ternyata sama dengan kuah tahu campurnya. Oalaaah...

Pengalaman inilah yang bikin saya nyoret bakso dan mie ayam dari daftar makanan aman yang enak dimakan. Tak lain tak bukan, karena pernah nyobain dua makanan ini di 'warung gado-gado' dan rasanya tak dapat digambarkan. Soto pun sama aja. Di tiap daerah, sotonya ternyata beda-beda! Kalau di Surabaya soto itu kuahnya kuning berminyak, di Jawa Tengah kuahnya hampir bening mengalir. "Saya nggak pesen sup, saya pesen soto," bisik saya pada teman makan kali itu. Eh kok dia bilang, "Soto di sini ya begini. Kalo mau soto yang biasanya, sana cari soto Lamongan."

Dan kadang, apes itu memang sudah tersurat di takdir. Meski sudah pilah-pilih, kalau dapet yang harga atau rasanya nggak cocok, ya sudahlah. Makan aja. Hitung-hitung buat bahan bakar jalan-jalan lagi.



PS: harga dan rasa makanan biasanya memang berbanding terbalik. Tapi kalau memang sudah tersurat takdir (lagi), bisa aja kok keduanya seimbang. Harga cocok di doku, cita rasa pas di lidah.


PPS: nggak ada foto kali ini. Musim jalan-jalan masih bulan depan, Bung.


Reading Time:

Senin, 02 November 2015

Suroloyo, Menoreh
November 02, 20150 Comments
Spontan. Cuma butuh waktu kurang dari sepuluh detik untuk kami memutuskan rencana perjalanan ini. Saat itu, saya dan beberapa teman lagi asyik ngadem sambil sibuk memelototi gadget masing-masing ketika sebuah artikel jalan-jalan muncul di layar HP.

“Suroloyo itu mana ya?” tanya saya.
“Kulonprogo. Kenapa?”
“Enggak, ini muncul di artikel jalan-jalan.”
“Ke sana yuk?”
“Yuk.”

Akhir minggu itu juga, bersepuluh kami berangkat ke puncak Suroloyo. Tempat ini merupakan salah satu puncak yang ada di barisan Perbukitan Menoreh, kabupaten Kulonprogo, D. I. Yogyakarta. ‘Wah, ini kan bukit yang jadi judul komik Api di Bukit Menoreh yang tersohor itu’, pikir saya. Makin semangat (dan penasaran)lah saya. Apalagi dari review-review yang kami baca, tempat ini cocok buat ngejar sunrise. Beberapa malah menyebutkan kalau pemandangan siluet Borobudur yang terlihat dari sini nggak kalah dengan pemandangan dari Puthuk Setumbu. Tapi karena pada malas berangkat dini hari, kali ini mentari terbit bukan jadi tujuan utama kami. 05.30 WIB kami ngumpul, pukul 06.05 kami berangkat. Tak apalah, toh Borobudur tetap anggun dilihat meski bukan saat sunrise.

Kata Yuti, teman yang ngajak saya dengan spontan sekaligus guide kami kali ini, dari Jogja ke Suroloyo nggak makan waktu lama. Pagi itu, dengan kecepatan rata-rata ± 50 km/jam, dalam 1 jam kami sudah sampai di lingkup wilayah perbukitan Menoreh. Itu pun jalannya nyantai banget, banyak berhentinya, lagi. Entah isi bensin, isi angin ban, jajan di minimarket (karena kami nggak sempat sarapan, hiks).  Kalau soal rute, wah maaf, saya nggak tahu jalan persisnya. Tapi Yuti bilang, rute berangkat kami ini lewat Samigaluh. Dari Seyegan, Sleman, lurus terus ke barat.

Selewat Sleman, Perbukitan Menoreh belum juga kelihatan. Padahal normalnya sudah, kalau nggak ada kabut. Kawasan legendaris ini baru terlihat jelas saat motor kami melintas di atas jembatan Kali Progo.

Garis-garis biru yang menandai Perbukitan Menoreh mulai terlihat di kejauhan. Lapis-lapisnya dihiasi pepohonan yang meranggas di sana-sini, menguning belum tersentuh hujan. Melongok ke bawah jembatan, tampak Kali Progo yang meski menyisakan sedikit air, arusnya mengalir tenang. Yuti bercerita bahwa ketika Merapi erupsi beberapa tahun lalu, sungai inilah yang bertugas membawa material-material dari puncak gunung hingga mengendap di Laut Selatan. Jadi nggak heran kenapa sungai ini lebar banget. Bahkan dengan menyusutnya air dalam kondisi kemarau sekarang ini, alirannya tetap lebar, meski kedalaman airnya di bawah lutut orang dewasa.


Kali Progo, foto diambil saat perjalanan pulang


Penduduk lokal mencari ikan di sungai yang kini dangkal

Saya kira di pelancongan kali ini, ini satu-satunya pemandangan tepi jalan yang bisa bikin saya ternganga. Kenapa? Kawasan yang kami tuju merupakan perbukitan batu. Saya sudah nyiapin hati kalau-kalau nantinya pemandangan yang tersaji cuma bukit batu, gunung batu, atau tebing batu yang tandus.

Perkiraan saya nggak salah, tapi kesimpulan itu diambil terlalu cepat.

Pernah lihat, atau ingat, lukisan-lukisan pemandangan yang suka ada di pameran? Itu, lukisan yang gambarnya hamparan sawah yang luas. Di kanan-kirinya ada gubuk-gubuk petani kecil-kecil plus pohon-pohon kelapa. Latar belakang gunung melengkapi kanvas. Pernah? Saya kira, lukisan-lukisan itu cuma ada di imajinasi para pelukis yang saking pengennya lihat pemandangan seperti itu saking nggak ada, akhirnya menerjemahkan bayangannya pada karyanya.

Ternyata, lukisan seperti itu nyata ada. Di depan mata.

Paket sawah komplet dengan pohon kelapa dan bukit.
  
Ini pemandangan yang sering saya lihat semenjak kecil, di atas kanvas. Beranjak usia, saya nggak kunjung nemuin panorama beneran yang seperti ini. Eh ternyata memang belum jodoh. Akhirnya dipertemukan juga di perjalanan kali ini.

Selepas hamparan sawah, beberapa kilometer jalan lurus kemudian, terdapat perempatan dengan pos polisi di sebelah kanannya. Lurus, arahnya ke Samigaluh. Kanan, arahnya ke Sidoharjo. Keduanya sama-sama bisa mengarah ke Suroloyo. Kami ambil lurus karena Yuti hanya pernah lewat jalan lurus tersebut.

Jalan mulai menanjak memasuki perbukitan. Persneling motor hanya berpindah-pindah antara nomor dua atau satu supaya kuat melewati tanjakan demi tanjakan. Perumahan mulai jarang, meski toko-toko kelontong tetap dijumpai di beberapa rumah pinggir jalan. Sekali-dua, tampak galur sungai dengan batu-batu kalinya yang mendominasi di bawah jurang.

“Cuacanya mendung begini. Ntar di puncak, kelihatan pemandangan di bawah nggak ya?”

Yup, cuaca mendung. Salah satu ‘musuh’ kalau lagi bepergian, karena awan abu-abu itu bisa jadi isyarat turun hujan. Gara-gara mendung inilah kami akhirnya putar haluan. Puncak Suroloyo yang awalnya jadi tujuan pertama, jadi yang kedua. Rombongan memutuskan bahwa perhentian pertama adalah perkebunan teh di kawasan yang sama.

Dua puluh menit kemudian, setelah tanjakan demi tanjakan, sampai juga kami di perkebunan teh Nglinggo, Grojogan Watujonggol. Perkebunan ini, selain untuk kebun contoh, juga dirancang untuk wisata. Objek wisata ini dibentuk belum lama. Untuk masuk, kami cuma bayar Rp2.000,00 per motor sebagai biaya parkir. Nggak ada tarikan retribusi lain.

Ini memang kebun teh, tapi jangan bayangkan hamparan luas seperti foto-foto di National Geographic atau agrowisata kebun teh Batu Malang. Karena kebun contoh, maka ukurannya pun relatif lebih kecil sehingga hamparannya pun nggak terlalu luas. Belum lagi karena dikelilingi perbukitan batu, pandangan pun terasa kurang lapang.

Tapi, itu bukan berarti perjalanan kami kemari nggak worth it. Hamparan hijau teh yang menyegarkan, apalagi saat itu masih sepi, sangat-sangat mampu jadi pelepas penat. Terpikat histeria, kami berlarian ke sela-sela rimbun teh yang setinggi pinggang. Cuaca yang berubah cerah, cuma meninggalkan gerumbulan awan-awan kecil penghias langit biru terang. Angin sejuk semilir meniup pucuk-pucuk teh, menggoyangkan beberapa dahan-dahan kurus pepohonan wind barrier. Kelompok burung dan rombongan capung hilir-mudik terbang dari satu area ke area lain.



Teras-teras perkebunan teh



Hijau segar


Hutan pinus di bukit seberang








Burung dan kumpulan capung melintas tanpa aba-aba di depan mata



Bayangan gunung di kejauhan

Menurut saya, waktu paling cocok berkunjung ke kebun teh memang waktu pagi. Langit sudah terang, tapi tak cukup terik untuk memaksa kita memakai topi. Semakin pagi pula, semakin sejuk hawa yang didapat, dan semakin sepi pula hingga kita bebas berlarian kesana-kemari tanpa perlu malu dilihat pengunjung lain.

Pukul sembilan lebih, kami baru rela pergi. Saatnya bertolak ke Suroloyo.

Arah ke Suroloyo berarti kami harus balik kucing dulu. Di suatu pertigaan yang sebelumnya sudah kami lewati (alert: pertigaan ini jangan dijadikan pedoman karena ada banyak pertigaan), kami ambil arah ke kiri. Nggak perlu takut nyasar karena ada papan petunjuk arah. Percabangan jalan pun nggak terlalu banyak.

Kalau tadi persneling bisa gonta-ganti di nomor satu atau dua, maka kali ini nomor satu yang mayoritas dipakai. Jalan yang nanjaknya hingga 45 derajat, plus belokan yang suka muncul nggak kira-kira, bikin pengendara harus ekstra hati-hati kalau nggak mau nyasar ke jurang di tepi. Di jalur ini, kami sering menemui tanjakan, lalu belokan tajam yang nanjaknya juga nggak kira-kira. Mirip-mirip jalanan di Cangar, Batu Malang. Kalau nggak PD atau skill motornya belum mumpuni, mending disetiri teman lain yang PD dan mumpuni.

Di sepanjang jalan, selain pohon jati, sering ditemui pohon kakao atau pohon kopi. Ternyata, warga lokal juga produksi kopi Arabika. Di parkiran bawah Suroloyo, ada satu warung kopi Arabika.

kiri: buah kopi, kanan: bunga kopi


Kami sampai di parkiran kira-kira pukul sepuluh. Sebelumnya ada pos penjagaan untuk bayar tiket masuk. Motor dikenai biaya Rp1.000,00 dan per orang Rp3.000,00. Di parkiran, ada biaya parkir berkisar Rp1.000,00-Rp2.000,00, saya lupa.

Ternyata, ada tiga puncak di daerah ini. Dari satu puncak ke puncak lain lokasinya cukup dekat, tapi harus pakai motor karena dempor juga kalau jalan kaki naik-turun tanjakan. Karena nggak punya niat menjelajah, kami cukupkan naik ke Suroloyo aja. Suroloyo merupakan salah satu puncak paling terkenal, kemungkinan karena Sultan Agung Mataram dulu menerima petunjuk gaib di sini. Mungkin juga karena ini puncak tertinggi Perbukitan Menoreh.

Ada 286 anak tangga hingga ke puncak. Entahlah, saya nggak berniat ngecek karena napas pun sudah satu-satu mendaki anak tangga. Bukan berarti perjalanan naik ke atas sangat berat. Kalau niat, 5-10 menit juga sudah sampai. Tapi ini tangga, yang artinya jarak langkah kaki kita diatur tangga. Ukuran tangganya pun tak sama.



Napas yang diambil satu-satu mengantar kami ke suatu tanah lapang yang tak terlalu luas, titik tertinggi Perbukitan Menoreh, 1.019 mdpl. Ada satu bangunan kecil di satu pojok. Bau kemenyan menguar dari patung dewa di sudut bangunan itu. Kelopak-kelopak mawar bertebaran, sisa-sisa doa pengunjung.

Rangkaian Perbukitan Menoreh berkilo-kilometer jauhnya tampak seperti rantai. Antarbukit berbatas warna biru yang berbeda-beda. Jauh di bawah, perumahan, pedesaan, bahkan lurus jalan terlihat jelas. Bisa dibayangkan saat malam tiba, kerlap-kerlip lampu bakal jadi pemandangan yang wah.





Gradasi warna gugusan Perbukitan Menoreh

Gunung Merapi, Sindara, Sumbing, ataupun Merbabu memang tak terlihat karena tertutup kabut. Pun siluet Candi Borobudur. Tapi cukuplah rangkaian Menoreh jadi penghapus kecewa. Seenggaknya, kami jadi tahu wujud nyata setting serial komik legendaris Indonesia karya S.H. Mintardja itu, Api di Bukit Menoreh.
Reading Time: