Juni 2015 - Hijaubiru

Minggu, 21 Juni 2015

Pride and Prejudice
Juni 21, 2015 6 Comments



Maunya sih dikasih judul 'My Confession part 2'. Pasalnya, inilah film yang saya sebut-sebut di postingan sebelumnya.

Saya agak susah meleleh sama film-film yang katanya romantis. Film-film bergenre roman yang saya download, terutama film Barat, hanya saya tonton dua-tiga kali, lalu detail ceritanya hilang dari ingatan. Kalau nasibnya lagi nggak beruntung, nontonnya di-skip berkali-kali, lalu kalau dinilai nggak menarik, langsung saya lempar ke Recycle Bin.

Bisa dibilang, satu-satunya film roman yang tetap tinggal di ingatan cuma satu: Titanic. Itu pun, mungkin, karena waktu itu saya belum banyak preferensi soal film roman (jadi sekarang sudah banyak? Nggak juga sih, hehehe).

Film apa sih?

Kawan yang suka baca, apalagi literatur klasik, begitu dengar satu kata aja, langsung bisa nebak film ini. Waktu saya posting status fb tentang film ini, salah satu teman pun langsung bisa menebak dengan menanggapi,



Yes, it is 'Pride and Prejudice'.

Got this from www.moviepostershop.com

Diadaptasi dari novel tulisan Jane Austen, film yang rilis 2005 ini disutradarai Joe Wright. Sebelum versi 2005, sebenernya novel ini sudah banyak diadaptasi jadi film. Yang paling terkenal adalah versi BBC mini series tahun 1995. Di mayoritas adaptasinya, film bersetting tahun 1800an. Tapi menurut IMDb, versi 2005 bersetting tahun 1797, tahun sang penulis menyelesaikan draft novelnya.

Gimana sih ceritanya, sebegitu romantisnyakah sampai saya putar empat kali berturut-turut dalam satu malam?

Ide ceritanya soal pandangan masyarakat Inggris pada umumnya saat itu. Bahwa gadis 'pekerjaan utamanya' adalah nyari suami dan nikah. Harus kalau bisa, suaminya yang pantas dalam hal status dan pemasukan (hm... nggak heran pas baca Sherlock Holmes sering ada kalimat, 'pemasukannya xxx pound per tahun'). Jadilah para gadis sibuk memikat gentleman ketika sudah cukup umur. Di masyarakat Inggris zaman lawas itu, juga ada semacam aturan tak terlisan tentang kasta. Bangsawan harus nikah sama bangsawan, orang kaya nikahin orang kaya, dan warga yang statusnya menengah ke bawah harus tahu diri.

Jadi, pantas kan kalau Mrs. Bennet, ibu dari keluarga bukan strata atas dan dari lima anak perempuan yang sudah cukup umur, nggak bosan-bosan mendorong gadis-gadisnya secepatnya nyari suami yang kaya? Lydia & Kitty Bennet, dua anak terakhir, nggak usah disuruh sudah nyari sendiri. Tapi Mary Bennet, sang anak tengah, malah terkesan plain karena kebanyakan baca dan nganggap bersosialisasi itu kurang penting. Jane Bennet yang berhati lembut, sedikit-sedikit masih mematuhi ibunya. Meski demikian toh Jane jatuh hati pada Mr. Bingley, seorang pemuda kaya, bukan karena melihat statusnya. Tapi Elizabeth (Lizzy) Bennet, mendeklarasikan bahwa ia tak akan, akan, pernah menikah hanya demi uang.

L-R: Lydia, Kitty, Elizabeth, Jane, Mary
 Picture was copied from http://socialwits.com/pride-and-prejudice-perfection-in-austen/

"Only the deepest love will persuade me into matrimony, which is why I will end up an old maid" - Elizabeth.

Elizabeth punya watak yang kontras dengan keempat saudarinya. Ia lebih keras dari yang lain, bicaranya terus terang, dan sikapnya independen. Maka ketika dalam suatu pesta ia bertemu dengan Mr. Darcy, gentleman kaya raya yang dianggap menghinanya, langsung aja Elizabeth mengetok palu kalau ia tidak menyukainya.

Description of Mr. Darcy, captured from the novel

L-R: Mr. Bingley, Mr. Darcy, Miss Caroline Bingley
Picture was printscreened

Namun entah kenapa, takdir selalu mempertemukan Lizzy (Elizabeth) dan Mr. Darcy. Entah ketika Lizzy menjenguk Jane yang jatuh sakit ketika mengunjungi kediaman Mr. Bingley, di pesta yang diadakan Mr. Bingley, bahkan ketika Lizzy mengunjungi rumah sahabatnya di Rosings (tempat ini jauh dari Longbourne, kediaman keluarga Bennet). Di kesempatan-kesempatan itu, keduanya banyak terlibat percakapan yang meski pendek-pendek tetapi penuh makna. Catat, makna di sini bukan cuma soal romantisme, tapi lebih dalam dari itu. Dari sinilah keduanya lebih mengenal.

Sosok sombong dan penuh kebanggan yang tidak disukai Lizzy ternyata merupakan sifat pemalu Mr. Darcy yang banyak disalahartikan. Darcy ternyata sangat, sangat baik. Orang yang dermawan dan ringan tangan, yang membantu Lizzy bahkan ketika Lizzy tak meminta bantuannya. Di sinilah letak 'prejudice' yang digaungkan. Bahwa Lizzy yang cerdas ternyata bisa salah menilai orang. Lalu di mana 'pride'-nya? Salah satunya ditampilkan saat Lizzy yang berharga diri tinggi menolak Mr. Darcy karena merasa dihinakan karena Darcy, yang juga juga bersifat demikian, lebih memilihnya dibandingkan strata mereka.


"I've fought against my better judgement, my family's expectation, the inferiority of your birth, my rank dan circumstance, all those things... but I'm willing to put them aside... and ask you to end my agony." - Mr. Darcy.

"I might as well enquire why, with so evident a design of insulting me, you chose to tell me that you liked me against your better judgement!" - Elizabeth.

Udah, gitu aja? Nggak ada konflik?

Konflik tentu ada. Lydia yang kawin lari, contohnya. Atau ketika Lady Catherine de Bourgh, bibi Darcy, datang malam-malam dan menginterogasi Lizzy soal hubungannya dengan Darcy. Atau, tentang Lizzy yang menolak lamaran Darcy dengan penuh emosi.

Tapi yang namanya kekuatan pemahaman ya, semua konflik dapat diselesaikan, akhirnya. Ketika mereka saling memahami benak masing-masing, maka apa yang sedang terjadi bisa lebih mudah dimengerti dan diatasi.

Sekilas lebih datar dibanding film-film roman lain yang penuh kejutan dan intrik, tapi film ini tetap memesona lewat gestur tubuh yang bicara dan percakapan-percakapan penuh makna.

Di luar konteks inti/ide cerita yang fundamental (yang baru saya pahami setelah baca beberapa review), film ini menyihir saya lewat setting-settingnya. Lewat musik-musik instrumentalnya yang begitu pas di adegan-adegan tertentu.

Lokasi syutingnya di pedesaan Inggris, lebih tempatnya di estate-estate klasik seperti Wilton House (Wiltshire), Basildon Park (Berkshire), Groombridge Place (Kent), dan Chatsworth House (Derbyshire). Arsitektur klasik  dari gedung-gedung lawas yang dipadu kecantikan khas pedesaan Inggris. Estate menawan yang dikelilingi padang rumput, hutan-hutan yang menjulang, dan sungai kecil yang gemericik. Bisa dibayangkan hidup di sana di zaman 1700-1800an?

Groombridge Place, Kent: rumah keluarga Bennet, Longbourne
Picture was copied from https://www.pinterest.com/pin/251146116689792456/

Basildon Park, Berkshire: kediaman Mr. & Miss Bingley, Netherfield
Picture was copied from http://www.nationaltrust.org.uk/basildon-park/

Stourhead Park: setting of the denied proposal
Picture was copied from http://www.greatbritishgardens.co.uk/england/item/stourhead-gardens.html

Chatsworth House, Derbyshire: tampak luar kediaman Mr. Darcy of Pemberley
Picture was copied from http://www.throapham-house.co.uk/throapham-house/things-to-do-2/heritage-and-museums/

Chatsworth House, Derbyshire: tampak luar kediaman Mr. Darcy of Pemberley
Picture was copied from http://i2.wp.com/www.throapham-house.co.uk/wp-content/uploads/2012/04/DSC_0083.jpg
Chatsworth House: tampak luar kediaman Mr. Darcy of Pemberley
Got this from: www.dmu.ac.uk

Chatsworth House, Derbyshire: tampak luar kediaman Mr. Darcy of Pemberley
Picture was copied from http://blog.luxuryproperty.com/chatsworth-house-luxury-destination-fit-for-a-duchess/292691346_0e690e3749/

Chatsworth House, Derbyshire: tampak dalam kediaman Mr. Darcy of Pemberley
Picture was copied from https://architecturebehindmovies.files.wordpress.com/2012/03/chatsworth_main_hallway.jpg

Wilton House, Wiltshire: kediaman Lady Catherine de Bourgh, Rosings
Picture was copied from wiltonhouse.co.uk

Wilton House, Wiltshire: tampak dalam kediaman Lady Catherine de Bourgh, Rosings
Picture was copied from wiltonhouse.co.uk

Wilton House, Wiltshire: kediaman Lady Catherine de Bourgh, Rosings
Picture was copied from wiltonhouse.co.uk

Dan pencahayaannya. Film ini terlihat lebih cerah dibandingkan film lain yang bersetting waktu yang sama karena cahayanya yang terang. Rata-rata film abad pertengahan yang pernah saya tonton kesannya selalu gloomy, mulai dari lingkungan sampai warna baju, dan akhirnya bikin saya nggak mood nonton (meskipun dilihat juga sampai akhir sih). Tapi Pride & Prejudice ini nggak. Biarpun warna bajunya mungkin nggak beda jauh, tapi kesannya lebih cerah. Sinar matahari di mana-mana.

Selain settingnya yang keren abis, musik-musik yang dimainkan juga mendukung adegan-adegannya. Music defines the moment, the atmosphere. Sepertinya, semakin banyak musiknya, semakin saya suka filmnya. Kenapa? Yah karena musik mendorong perasaan penonton, bikin penonton seakan merasakan apa yang dirasakan tokoh. Musik-musik yang dimainkan di sini musik instrumental, rata-rata biola atau piano, yang beberapa dibuat oleh Henry Purcell & dimainkan oleh Dario Marianelli, English Chamber Orchestra, dan Jean-Yves Thibaudet.

Dari segi tokoh? Jujur aja saya nggak begitu memperhatikan aspek ini. Tapi ketika saya rasa film itu bagus, rasa-rasanya akting pemerannya berarti bagus. Keira Knightley sebagai Elizabeth dan Matthew Macfadyen sebagai Mr. Darcy yang jadi tokoh utama rasanya perfect ketika memerankan Elizabeth yang lively dan Mr. Darcy yang lebih banyak diam dan merasa 'do not have the talent of conversing easily with people I've never met'.

Baru nonton setengah jalan, saya sudah terpesona. Tapi ketika sudah tiga perempat jalan, saya mulai khawatir. Apa pasal? Sejauh ini, tumben-tumbenan nggak ada adegan kissing atau (maaf) intercourse yang selalu jadi identitas khas film Barat. Sampai ketika adegan akhir, saya menarik nafas...

... lega, akhirnya. There are no such things in this film. At least in the British version. And I won't ever, ever, watch the American version.

Ketiadaan dua hal inilah yang bikin film ini bernilai plus-plus-plus di mata saya. Akhirnya, ketemu juga satu film Barat yang mendefinisikan perwujudan cinta di luar dua hal tersebut. Cukup melihat, memahami, dan sama-sama merasakan. Tanpa ada sentuhan sama sekali, kecuali ketika dansa. Baru tahu juga, setelah nonton BTS (Behind The Scene)nya, bahwa zaman itu pria dan wanita nggak saling berjabat tangan, tetapi cukup menundukkan kepala tanda hormat. One touch or one glance can be interpreted as a world to someone.

Gentle, simple, yet so sweet.

Trus gimana dengan novelnya? Apa versi 2005 ini sama?

Jujur, pas nulis ini, sepertiga bagian novelnya belum saya tamatkan. Tapi tentu ada bagian dari novel yang hilang atau diganti. Bukan masalah, karena saya rasa ide utama dan alur pokoknya tetap sama. Miniserinya, versi BBC, memang lebih mengikuti alur dan lebih mirip detailnya dibanding versi 2005 ini. Tapi toh itu miniseri, yang artinya banyak seri, yang artinya banyak waktu pula untuk membuatnya sesesuai mungkin dengan alur asli. Yang ini, versi movie, yang hanya punya waktu kurang lebih dua jam untuk merangkum semua kisah dan perasaan jadi satu dan harus bisa memancing emosi penonton. Jadi wajarlah kalau beda.

Dan satu lagi poin plus: bahasanya puitis. Pada beberapa kalimat sangat sopan, bahkan waktu menyampaikan kritik pedas sekalipun. Kalimat-kalimat yang digunakan pake kata-kata terpilih, kata-kata yang jarang digunakan di percakapan sehari-hari. Lumayan nambah vocab kan jadinya. Misalnya aja, ketika Darcy melamar Lizzy. Di film-film dewasa ini, mungkin ekspresi yang digunakan akan nggak jauh dari, "I love you, will you marry me?" dan semacamnya. Di Pride & Prejudice?

"Please do me the honour of accepting my hand." - Fitzwilliam Darcy (Mr. Darcy)

This movie trully bewitches me.

-----------------------
Cast:
  • Elizabeth Bennet − Keira Knightley
  • Mary Bennet − Talulah Riley
  • Jane Bennet − Rosamund Pike
  • Lydia Bennet − Jena Malone
  • Kitty Bennet − Carey Mulligan
  • Mr. Bennet − Donald Sutherland
  • Mrs. Bennet − Brenda Blethyn
  • Charlotte Lucas − Claudie Blakley
  • Mr. Bingley − Simon Woods
  • Caroline Bingley −  Kelly Reilly
  • Mr. Darcy − Matthew Macfadyen
  • Georgiana Darcy − Tamzin Merchant
  • Mr. Wickham − Rupert Friend
  • Mr. Collins − Tom Hollander
  • Lady Catherine de Bourgh −  Judi Dench
  • Miss de Bourgh − Rosamund Stephen
  • Colonel Fitzwilliam − Cornelius Booth
  • Mrs. Gardiner − Penelope Wilton
  • Mr. Gardiner − Peter Wight   

Songs:

  • Dawn pembukaan
  • Stars and Butterflies
  • The Living Sculptures of Pemberley − saat Lizzy melihat galeri patung di Pemberley
  • Meryton Townhall lagu dansa menyambut Bingley bersaudara
  • The Militia Marches In ketika para tentara memasuki kota
  • Georgiana lagu yang dimainkan Georgiana, juga lagu latar belakang ketika Bingley berlatih melamar
  • Arrival at Netherfield
  • A Postcard to Henry Purcell ketika Lizzy & Mr. Darcy berdansa. 
  • Liz on Top of The World ketika Lizzy berada di atas tebing
  • Leaving Netherfield saat Bingley & Darcy meninggalkan Netherfield. Buat saya, ini lagu paling sedih sepanjang film. Perhatikan aja mimik Mr. Bingley & Mr. Darcy yang lemes dan hopeless, sedangkan Miss Bingley penuh kemenangan.
  • Another Dance
  • The Secret Life of Daydreams
  • Darcy's Letter ketika Lizzy berlari di tengah hujan seusai dari gereja. Scene paling keren.
  • Can't Slow Down lagu dansa
  • Your Hands Are Cold  adegan di padang rumput subuh hari
  • Credits

Recommended!

1st picture is courtesy of the movie itself.
Reading Time:
My Confession
Juni 21, 20150 Comments
Not literally. Well, yes, a bit.

Sejak kecil, saya nggak begitu suka film. Pelarian saya, selalu dan selalu, adalah buku. Baru akhir-akhir ini aja, ketika teman-teman di sekre banyak ngomongin film yang ternyata asik juga sih−, saya baru mulai ngikutin.

Tapi ini bukan cerita tentang film baru. Ini cerita soal film lawas tahun 2005 yang bikin saya terpesona sampai malam itu saya tonton empat kali berturut-turut. Cerita soal filmnya ada di sini

Karena lagi gandrung, mulailah saya muter-muter youtube nyari behind the scene-nya. Alhasil, selain nemuin BTS, saya juga nemuin satu video kompilasi yang dibuat salah satu fans. Saya lihat potongan scene-nya, saya dengar lagunya, dan saya tersihir.

It bewitches me.

Lagunya Josh Groban ternyata (saya belum pernah dengerin lagu dia sih, meski dia kondang, ini pertama kalinya). Dan menurut metrolyrics.com, penulis lagunya Richard Marx, sodara-sodara! Pantes aja romantis abis. Judulnya? My Confession. Kalau dipikir-pikir, liriknya cocok sih sama filmnya, hehe.


MY CONFESSION

I have been blind, unwilling
To see the true love you're giving
I have ignored every blessing
I'm on my knees, confessing

That I feel myself surrender each time I see your face
I am staggered by your beauty, your unassuming grace
And I feel my heart is turning, falling into place
I can't hide, now here my confession

I have been wrong about you
Thought I was strong without you
For so long nothing could move me
For so long nothing could change me

Now I feel myself surrender each time I see your face
I am captured by your beauty, your unassuming grace
And I feel my heart is turning, falling into place
I can't hide, now here my confession

You are the air that I breathe
You're the ground beneath my feet
When did I stop believing?

Cause I fell myself surrender each time I see your face
I am staggered by your beauty, your unassuming grace
And I feel my heart is falling into place
I can't hide, now here my confession
I can't hide, now here my confession

Kalau penasaran sama videonya, bisa dilihat di sini:
https://www.youtube.com/watch?v=niUXP6UVMnE


Hint: to 'understand' it fully, look at the eyes. They 'talks'.
Reading Time: