2015 - Hijaubiru

Jumat, 27 November 2015

Makan Aman di Tempat Tak Dikenal
November 27, 20150 Comments
"Berapa harganya Bu?"

Di tempat-tempat tak dikenal: tempat asing, tempat yang baru pertama kali disingaahi, dan terutama tempat wisata, saya sering nanya ini ke ibu atau bapak penjual di warung, atau di tempat makan yang nggak mencantumkan harga di daftar menunya. Bukan apa -tapi kalau dibilang belum punya duit banyak, boleh juga sih, hehe-, tapi kita sebagai pembeli toh nggak mau dapet 'kejutan' setelah makan. Apa enaknya, saat perut udah kenyang, eh tiba-tiba disodori tagihan dengan harga yang nggak sesuai dengan makanan.

Sepiring nasi uduk, lima puluh ribu. Apa nggak syok? Mending kalau rasanya enak. Eh, jadi inget postingan teman tentang satu tempat makan di bilangan tepi pantai Jakarta, beberapaaaa waktu lalu.

Sebagai penggemar jalan-jalan yang (masih) berkantong tipis, hal ini tentu nggak luput dari perhitungan.

Tempat yang sering ngelonjakin harga yang pertama adalah terminal dan semacamnya. Teman saya pernah protes waktu makan mie ayam di terminal Solo. Mie ayamnya bukan mie ayam beneran, tapi mie instan biasa yang diberi beberapa potong kecil ayam. Harganya? Sepuluh ribu. "Ginian mah, di deket kosku cuma lima ribu!" cetusnya.

Tempat kedua? Tempat wisata. Emang nggak semuanya sih, tapi sebagian besar, iya. Jadi untuk amannya, mending tanya aja harganya sebelum beli. Apalagi kalau itu di warung. Bahkan di tempat wisata yang terpencil sekalipun, kadang saya masih nanya harga. Sebab, seseorang yang juga doyan jalan-jalan pernah 'berpesan', "Kalau tempat makan itu sepi, kemungkinannya ada dua: nggak enak atau kemahalan."

Tempat lainnya? Saya pengen nambahin kereta api, sebenarnya. Tapi sekarang kan sudah nggak ada lagi pedagang asongan di dalam kereta ekonomi,

Catatan: aman di dompet belum tentu aman di mulut. Belum tentu enak rasanya.

Untuk mengantisipasi hal ini, di tempat asing, saya biasa pesan menu standar. Nasi goreng. Atau mie rebus. Kalau nggak enak, seenggaknya masih terasa bawangnya. Kecuali di tempat-tempat yang menawarkan menu rada eksotis, maka saya rada berani bereksperimen. Apalagi kalau makanannya cuma ada di daerah itu. Kapan lagi nyobain di tempat asalnya? Contohnya, saat pesan ikan bakar di warung tepi pantai Krakal, Gunungkidul. Kapan lagi makan ikan fresh from the sea ditemani irama deburan ombak Laut Selatan? (Ikan itu pun, masih hasil patungan, hehehe). 

Atau kalau pengen tahu makanan di warung itu enak atau nggak, biasanya cirinya satu: satu warung (kecil) sedia aneka jenis masakan. Bisa jualan soto plus rawon plus bakso plus nasi goreng, dan semacamnya. Kenapa? Ya rasanya nggak percaya gitu, berbagai piranti penyedia berbagai makanan bisa muat di tempat sekecil itu. Dua jenis makanan aja, ada kalanya nggak enak. Pernah saya andok di gerobak dorong yang jualan tahu campur dan kikil. Eh lha kok, kuah kikilnya ternyata sama dengan kuah tahu campurnya. Oalaaah...

Pengalaman inilah yang bikin saya nyoret bakso dan mie ayam dari daftar makanan aman yang enak dimakan. Tak lain tak bukan, karena pernah nyobain dua makanan ini di 'warung gado-gado' dan rasanya tak dapat digambarkan. Soto pun sama aja. Di tiap daerah, sotonya ternyata beda-beda! Kalau di Surabaya soto itu kuahnya kuning berminyak, di Jawa Tengah kuahnya hampir bening mengalir. "Saya nggak pesen sup, saya pesen soto," bisik saya pada teman makan kali itu. Eh kok dia bilang, "Soto di sini ya begini. Kalo mau soto yang biasanya, sana cari soto Lamongan."

Dan kadang, apes itu memang sudah tersurat di takdir. Meski sudah pilah-pilih, kalau dapet yang harga atau rasanya nggak cocok, ya sudahlah. Makan aja. Hitung-hitung buat bahan bakar jalan-jalan lagi.



PS: harga dan rasa makanan biasanya memang berbanding terbalik. Tapi kalau memang sudah tersurat takdir (lagi), bisa aja kok keduanya seimbang. Harga cocok di doku, cita rasa pas di lidah.


PPS: nggak ada foto kali ini. Musim jalan-jalan masih bulan depan, Bung.


Reading Time:

Senin, 02 November 2015

Suroloyo, Menoreh
November 02, 20150 Comments
Spontan. Cuma butuh waktu kurang dari sepuluh detik untuk kami memutuskan rencana perjalanan ini. Saat itu, saya dan beberapa teman lagi asyik ngadem sambil sibuk memelototi gadget masing-masing ketika sebuah artikel jalan-jalan muncul di layar HP.

“Suroloyo itu mana ya?” tanya saya.
“Kulonprogo. Kenapa?”
“Enggak, ini muncul di artikel jalan-jalan.”
“Ke sana yuk?”
“Yuk.”

Akhir minggu itu juga, bersepuluh kami berangkat ke puncak Suroloyo. Tempat ini merupakan salah satu puncak yang ada di barisan Perbukitan Menoreh, kabupaten Kulonprogo, D. I. Yogyakarta. ‘Wah, ini kan bukit yang jadi judul komik Api di Bukit Menoreh yang tersohor itu’, pikir saya. Makin semangat (dan penasaran)lah saya. Apalagi dari review-review yang kami baca, tempat ini cocok buat ngejar sunrise. Beberapa malah menyebutkan kalau pemandangan siluet Borobudur yang terlihat dari sini nggak kalah dengan pemandangan dari Puthuk Setumbu. Tapi karena pada malas berangkat dini hari, kali ini mentari terbit bukan jadi tujuan utama kami. 05.30 WIB kami ngumpul, pukul 06.05 kami berangkat. Tak apalah, toh Borobudur tetap anggun dilihat meski bukan saat sunrise.

Kata Yuti, teman yang ngajak saya dengan spontan sekaligus guide kami kali ini, dari Jogja ke Suroloyo nggak makan waktu lama. Pagi itu, dengan kecepatan rata-rata ± 50 km/jam, dalam 1 jam kami sudah sampai di lingkup wilayah perbukitan Menoreh. Itu pun jalannya nyantai banget, banyak berhentinya, lagi. Entah isi bensin, isi angin ban, jajan di minimarket (karena kami nggak sempat sarapan, hiks).  Kalau soal rute, wah maaf, saya nggak tahu jalan persisnya. Tapi Yuti bilang, rute berangkat kami ini lewat Samigaluh. Dari Seyegan, Sleman, lurus terus ke barat.

Selewat Sleman, Perbukitan Menoreh belum juga kelihatan. Padahal normalnya sudah, kalau nggak ada kabut. Kawasan legendaris ini baru terlihat jelas saat motor kami melintas di atas jembatan Kali Progo.

Garis-garis biru yang menandai Perbukitan Menoreh mulai terlihat di kejauhan. Lapis-lapisnya dihiasi pepohonan yang meranggas di sana-sini, menguning belum tersentuh hujan. Melongok ke bawah jembatan, tampak Kali Progo yang meski menyisakan sedikit air, arusnya mengalir tenang. Yuti bercerita bahwa ketika Merapi erupsi beberapa tahun lalu, sungai inilah yang bertugas membawa material-material dari puncak gunung hingga mengendap di Laut Selatan. Jadi nggak heran kenapa sungai ini lebar banget. Bahkan dengan menyusutnya air dalam kondisi kemarau sekarang ini, alirannya tetap lebar, meski kedalaman airnya di bawah lutut orang dewasa.


Kali Progo, foto diambil saat perjalanan pulang


Penduduk lokal mencari ikan di sungai yang kini dangkal

Saya kira di pelancongan kali ini, ini satu-satunya pemandangan tepi jalan yang bisa bikin saya ternganga. Kenapa? Kawasan yang kami tuju merupakan perbukitan batu. Saya sudah nyiapin hati kalau-kalau nantinya pemandangan yang tersaji cuma bukit batu, gunung batu, atau tebing batu yang tandus.

Perkiraan saya nggak salah, tapi kesimpulan itu diambil terlalu cepat.

Pernah lihat, atau ingat, lukisan-lukisan pemandangan yang suka ada di pameran? Itu, lukisan yang gambarnya hamparan sawah yang luas. Di kanan-kirinya ada gubuk-gubuk petani kecil-kecil plus pohon-pohon kelapa. Latar belakang gunung melengkapi kanvas. Pernah? Saya kira, lukisan-lukisan itu cuma ada di imajinasi para pelukis yang saking pengennya lihat pemandangan seperti itu saking nggak ada, akhirnya menerjemahkan bayangannya pada karyanya.

Ternyata, lukisan seperti itu nyata ada. Di depan mata.

Paket sawah komplet dengan pohon kelapa dan bukit.
  
Ini pemandangan yang sering saya lihat semenjak kecil, di atas kanvas. Beranjak usia, saya nggak kunjung nemuin panorama beneran yang seperti ini. Eh ternyata memang belum jodoh. Akhirnya dipertemukan juga di perjalanan kali ini.

Selepas hamparan sawah, beberapa kilometer jalan lurus kemudian, terdapat perempatan dengan pos polisi di sebelah kanannya. Lurus, arahnya ke Samigaluh. Kanan, arahnya ke Sidoharjo. Keduanya sama-sama bisa mengarah ke Suroloyo. Kami ambil lurus karena Yuti hanya pernah lewat jalan lurus tersebut.

Jalan mulai menanjak memasuki perbukitan. Persneling motor hanya berpindah-pindah antara nomor dua atau satu supaya kuat melewati tanjakan demi tanjakan. Perumahan mulai jarang, meski toko-toko kelontong tetap dijumpai di beberapa rumah pinggir jalan. Sekali-dua, tampak galur sungai dengan batu-batu kalinya yang mendominasi di bawah jurang.

“Cuacanya mendung begini. Ntar di puncak, kelihatan pemandangan di bawah nggak ya?”

Yup, cuaca mendung. Salah satu ‘musuh’ kalau lagi bepergian, karena awan abu-abu itu bisa jadi isyarat turun hujan. Gara-gara mendung inilah kami akhirnya putar haluan. Puncak Suroloyo yang awalnya jadi tujuan pertama, jadi yang kedua. Rombongan memutuskan bahwa perhentian pertama adalah perkebunan teh di kawasan yang sama.

Dua puluh menit kemudian, setelah tanjakan demi tanjakan, sampai juga kami di perkebunan teh Nglinggo, Grojogan Watujonggol. Perkebunan ini, selain untuk kebun contoh, juga dirancang untuk wisata. Objek wisata ini dibentuk belum lama. Untuk masuk, kami cuma bayar Rp2.000,00 per motor sebagai biaya parkir. Nggak ada tarikan retribusi lain.

Ini memang kebun teh, tapi jangan bayangkan hamparan luas seperti foto-foto di National Geographic atau agrowisata kebun teh Batu Malang. Karena kebun contoh, maka ukurannya pun relatif lebih kecil sehingga hamparannya pun nggak terlalu luas. Belum lagi karena dikelilingi perbukitan batu, pandangan pun terasa kurang lapang.

Tapi, itu bukan berarti perjalanan kami kemari nggak worth it. Hamparan hijau teh yang menyegarkan, apalagi saat itu masih sepi, sangat-sangat mampu jadi pelepas penat. Terpikat histeria, kami berlarian ke sela-sela rimbun teh yang setinggi pinggang. Cuaca yang berubah cerah, cuma meninggalkan gerumbulan awan-awan kecil penghias langit biru terang. Angin sejuk semilir meniup pucuk-pucuk teh, menggoyangkan beberapa dahan-dahan kurus pepohonan wind barrier. Kelompok burung dan rombongan capung hilir-mudik terbang dari satu area ke area lain.



Teras-teras perkebunan teh



Hijau segar


Hutan pinus di bukit seberang








Burung dan kumpulan capung melintas tanpa aba-aba di depan mata



Bayangan gunung di kejauhan

Menurut saya, waktu paling cocok berkunjung ke kebun teh memang waktu pagi. Langit sudah terang, tapi tak cukup terik untuk memaksa kita memakai topi. Semakin pagi pula, semakin sejuk hawa yang didapat, dan semakin sepi pula hingga kita bebas berlarian kesana-kemari tanpa perlu malu dilihat pengunjung lain.

Pukul sembilan lebih, kami baru rela pergi. Saatnya bertolak ke Suroloyo.

Arah ke Suroloyo berarti kami harus balik kucing dulu. Di suatu pertigaan yang sebelumnya sudah kami lewati (alert: pertigaan ini jangan dijadikan pedoman karena ada banyak pertigaan), kami ambil arah ke kiri. Nggak perlu takut nyasar karena ada papan petunjuk arah. Percabangan jalan pun nggak terlalu banyak.

Kalau tadi persneling bisa gonta-ganti di nomor satu atau dua, maka kali ini nomor satu yang mayoritas dipakai. Jalan yang nanjaknya hingga 45 derajat, plus belokan yang suka muncul nggak kira-kira, bikin pengendara harus ekstra hati-hati kalau nggak mau nyasar ke jurang di tepi. Di jalur ini, kami sering menemui tanjakan, lalu belokan tajam yang nanjaknya juga nggak kira-kira. Mirip-mirip jalanan di Cangar, Batu Malang. Kalau nggak PD atau skill motornya belum mumpuni, mending disetiri teman lain yang PD dan mumpuni.

Di sepanjang jalan, selain pohon jati, sering ditemui pohon kakao atau pohon kopi. Ternyata, warga lokal juga produksi kopi Arabika. Di parkiran bawah Suroloyo, ada satu warung kopi Arabika.

kiri: buah kopi, kanan: bunga kopi


Kami sampai di parkiran kira-kira pukul sepuluh. Sebelumnya ada pos penjagaan untuk bayar tiket masuk. Motor dikenai biaya Rp1.000,00 dan per orang Rp3.000,00. Di parkiran, ada biaya parkir berkisar Rp1.000,00-Rp2.000,00, saya lupa.

Ternyata, ada tiga puncak di daerah ini. Dari satu puncak ke puncak lain lokasinya cukup dekat, tapi harus pakai motor karena dempor juga kalau jalan kaki naik-turun tanjakan. Karena nggak punya niat menjelajah, kami cukupkan naik ke Suroloyo aja. Suroloyo merupakan salah satu puncak paling terkenal, kemungkinan karena Sultan Agung Mataram dulu menerima petunjuk gaib di sini. Mungkin juga karena ini puncak tertinggi Perbukitan Menoreh.

Ada 286 anak tangga hingga ke puncak. Entahlah, saya nggak berniat ngecek karena napas pun sudah satu-satu mendaki anak tangga. Bukan berarti perjalanan naik ke atas sangat berat. Kalau niat, 5-10 menit juga sudah sampai. Tapi ini tangga, yang artinya jarak langkah kaki kita diatur tangga. Ukuran tangganya pun tak sama.



Napas yang diambil satu-satu mengantar kami ke suatu tanah lapang yang tak terlalu luas, titik tertinggi Perbukitan Menoreh, 1.019 mdpl. Ada satu bangunan kecil di satu pojok. Bau kemenyan menguar dari patung dewa di sudut bangunan itu. Kelopak-kelopak mawar bertebaran, sisa-sisa doa pengunjung.

Rangkaian Perbukitan Menoreh berkilo-kilometer jauhnya tampak seperti rantai. Antarbukit berbatas warna biru yang berbeda-beda. Jauh di bawah, perumahan, pedesaan, bahkan lurus jalan terlihat jelas. Bisa dibayangkan saat malam tiba, kerlap-kerlip lampu bakal jadi pemandangan yang wah.





Gradasi warna gugusan Perbukitan Menoreh

Gunung Merapi, Sindara, Sumbing, ataupun Merbabu memang tak terlihat karena tertutup kabut. Pun siluet Candi Borobudur. Tapi cukuplah rangkaian Menoreh jadi penghapus kecewa. Seenggaknya, kami jadi tahu wujud nyata setting serial komik legendaris Indonesia karya S.H. Mintardja itu, Api di Bukit Menoreh.
Reading Time:

Sabtu, 11 Juli 2015

Rengganis (Altitude 3088)
Juli 11, 2015 2 Comments



Judul: Rengganis
Penulis: Azzura Dayana
Penerbit: Indiva Media Kreasi, Surakarta
Tahun terbit: Agustus 2014 (cetakan pertama)
Tebal: 232 halaman


Gunung Argopuro, Jawa Timur, terkenal sebagai gunung dengan jalur pendakian terpanjang seJawa. Namun itu bukan alasan untuk menyerah. Berdelapan, yaitu Fathur, Dewo, Nisa, Acil, Dimas, Ajeng, Rafli, dan Sonia, mereka berusaha menamatkan medan demi medan untuk mencapai puncak-puncak Argopuro. Salah satunya, puncak yang disebut Rengganis.

Namun, bukan cuma hutan hijau, savanna luas, danau biru, ataupun kumpulan merak atau kijang liar yang menyihir delapan sekawan itu. Argopuro menyimpan pesona tersendiri, yaitu pesona yang ditinggalkan salah satu ningrat dari Majapahit yang konon berdiam dan murca di gunung tersebut, Dewi Rengganis.

Ketertarikan dan rasa penasaran yang berlebihan memang tidak baik. Gara-gara terlalu ingin tahu dan cukup menantang, satu dari delapan sekawan itu hilang. Suatu pagi, ia tak ditemukan oleh teman-temannya. Ketujuh kawan yang lain, dengan sisa semangat yang ada karena sebelumnya sudah tertimpa kejadian alam tak terduga, mati-matian mencarinya. Hingga ketika ditemukan, suatu pengakuan mengejutkan keluar dari mulutnya. Demikian pula pengakuan seorang lain, yang sama-sama mengagetkan.

----------------------------------------------------

Dasar penggemar jalan-jalan, secara naluriah biasanya tangan saya langsung gerak ngambil buku dengan cover atau judul yang berhubungan dengan jalan-jalan. Apalagi kalau tentang pendakian. Namun, semenjak mencuatnya film pendakian beberapa tahun lalu, novel-novel bertema sejenis pun jamak bermunculan. Dan harus diakui, nggak semua novel-novel itu cocok sama selera saya. Ada yang nggak cocok gegara bahasanya terlalu verbal atau terlalu jurnalis, ada yang isinya 'dangkal' (sori yaa), ada yang jalan-jalannya cuma tempelan tapi fokusnya malah soal lain, tapi mayoritas karena tema utama yang diangkat (ya 11-12 sama alasan sebelumnya sih). Atau saya aja yang terlalu pemilih ya? Tapi karena banyak 'cendawan di musim hujan' itulah, kudu pilih-pilih. Ya kali semua novel yang temanya jalan-jalan diembat ke kasir *langsung ngeluarin kalkulator.

Kok jadi curcol?

Pertama kali ngelihat cover dan judul novel ini, otak langsung mengirimkan sinyal tertarik. Alasannya jelas, ini novel tentang pendakian. Apalagi tujuannya salah satu gunung yang saya target puncaknya juga, Argopuro. Dan lagi, pengarangnya Azzura Dayana. Sejauh yang saya tahu, novel yang ditelurkan Azzura Dayana selalu mengangkat tema perjalanan: Tahta Mahameru, Ranu (meski di Ranu, cerita soal perjalanan nggak begitu jadi fokus dan nggak terlalu banyak, menurut saya - ini novel duet dengan Ifa Avianty), dan yang terakhir saya tahu, Rengganis ini. Berekspektasi bahwa Rengganis sama inspiratif-puitisnya dengan Tahta Mahameru, novel ini pun saya culik ke kasir.

Inti novel ini pendakian delapan orang ke Argopuro. Titik. Selesai. Sudah? Belum.

Seperti yang sudah disebutkan, konflik utamanya soal salah satu teman mereka yang tiba-tiba hilang ketika pendakian. Hilangnya teman ini berhubungan dengan mitos mistis yang ada di gunung Argopuro soal Dewi Rengganis. Memang, sedari awal penulis sudah ngasih tanda-tanda kalau kemistisan gunung ini suatu saat akan menghampiri kelompok pendaki itu secara langsung. Kemistisan Argopuro dan Dewi Rengganis jadi tema utama yang diangkat.

Secara catatan perjalanan, novel ini cukup lengkap. Medan yang berurutan dan rincian kesulitannya hingga penggambaran panorama-panorama cantik yang dilalui rasanya sudah genap disebutkan. Nggak cuma digambarkan, di novelnya ada penggambaran berupa ilustrasi beneran. Bukan foto, tapi sketsa hitam putih seperti di bawah ini. Buat saya, cukup membantu plus membangkitkan imajinasi. Sekarang, jarang banget kan ada novel yang dilengkapi ilustrasi.

 

Ceritanya sendiri menarik (atau karena buat saya semua cerita pendakian selalu menarik ya? Hehehe), tetapi karena terlalu 'bahasa reportasi', rasanya jadi lebih mirip baca catatan perjalanan dibandingkan baca novel. Di Rengganis, rasanya kalimat-kalimat mengalir kurang lancar. Mungkin karena bahasa yang reportatif, jadinya kaku. Penggambaran yang ditulis pun akhirnya turut reportatif dan cenderung pakai perumpamaan yang jamak dipakai. Akhirnya, perasaan saya sebagai pembaca pun kurang terbawa.

Tokoh yang banyak (delapan orang) sebenarnya nggak bikin saya terganggu. Apalagi penulis sepertinya berusaha mencirikan satu tokoh dengan satu sifat khusus. Misalnya Nisa yang penakut, Rafli yang tegap-kekar tapi cenderung grudak-gruduk, Dimas yang alim, Acil dan Dewo yang bijak dan dewasa, atau Sonia yang bisa 'ngelihat'. Namun, ciri khas yang dikenakan masih sifat yang tergolong umum. Memang, ada penekanan karakter tersebut di beberapa adegan, tapi kadang keumuman itu bikin bingung saat baca, sehingga saat pertama baca, buka halaman depan dulu buat ngecek tokoh supaya nggak kebalik-balik. Tapi, bukan masalah besar kok. Hanya saja, ada percakapan-percakapan yang rasanya agak janggal karena lebih ke percakapan sehari-hari (mungkin saya terlalu ngebandingin sama Tahta Mahameru yang tiap kalimat & percakapannya sarat makna kali ya).

Satu hal yang bikin alis saya terangkat adalah konfliknya. Hingga separuh buku, kok konfliknya belum kelihatan? Iya sih, pertanda-pertandanya ada. Tapi, konflik besarnya apa, belum ketebak, nggak yakin dengan lanjaran yang ditampilkan. Mungkin aja ini salah satu cara supaya pembaca sabar baca sampai akhir. Namun biasanya, 'bau-bau' konfliknya macam apa sudah tercium di sepertiga awal. Di novel Rengganis ini, konflik pertama baru ditemukan di halaman lanjut. Setelah konflik mini itu selesai, baru dilanjutkan konflik inti seperti yang dicantumkan di sinopsis belakang buku. Konflik inti memang bikin penasaran, "Kenapa kok gini?" dan di akhir memang ada penjelasan, "Ooh ternyata karena ini". Tapi... nggak tahu lah, kayaknya ada yang kurang. Berasa kayak, "Lho, gini aja?" Rasanya, masalah yang diangkat masih bisa digali lebih dalam lagi supaya lebih seru.

Kalau nyari novel pendakian yang cerita pendakiannya bukan cuma tempelan, Rengganis memenuhi syarat. Dan resensi ini sudut pandangnya subjektif ya, kalau orang lain yang baca, tentu aja pendapatnya bisa beda. So, happy reading! Selamat berkelana dalam imaji! 

----------------------------------------------------

(PS: Argopuro emang terkenal rada wingit. Tapi ketika nggak nantangin, tetep waspada, plus percaya sama Yang Di Atas, insyaAllah nggak papa, sama seperti gunung-gunung lain. PPS: sebenernya semua gunung juga punya cerita wingit tersendiri)
Reading Time:

Minggu, 21 Juni 2015

Pride and Prejudice
Juni 21, 2015 6 Comments



Maunya sih dikasih judul 'My Confession part 2'. Pasalnya, inilah film yang saya sebut-sebut di postingan sebelumnya.

Saya agak susah meleleh sama film-film yang katanya romantis. Film-film bergenre roman yang saya download, terutama film Barat, hanya saya tonton dua-tiga kali, lalu detail ceritanya hilang dari ingatan. Kalau nasibnya lagi nggak beruntung, nontonnya di-skip berkali-kali, lalu kalau dinilai nggak menarik, langsung saya lempar ke Recycle Bin.

Bisa dibilang, satu-satunya film roman yang tetap tinggal di ingatan cuma satu: Titanic. Itu pun, mungkin, karena waktu itu saya belum banyak preferensi soal film roman (jadi sekarang sudah banyak? Nggak juga sih, hehehe).

Film apa sih?

Kawan yang suka baca, apalagi literatur klasik, begitu dengar satu kata aja, langsung bisa nebak film ini. Waktu saya posting status fb tentang film ini, salah satu teman pun langsung bisa menebak dengan menanggapi,



Yes, it is 'Pride and Prejudice'.

Got this from www.moviepostershop.com

Diadaptasi dari novel tulisan Jane Austen, film yang rilis 2005 ini disutradarai Joe Wright. Sebelum versi 2005, sebenernya novel ini sudah banyak diadaptasi jadi film. Yang paling terkenal adalah versi BBC mini series tahun 1995. Di mayoritas adaptasinya, film bersetting tahun 1800an. Tapi menurut IMDb, versi 2005 bersetting tahun 1797, tahun sang penulis menyelesaikan draft novelnya.

Gimana sih ceritanya, sebegitu romantisnyakah sampai saya putar empat kali berturut-turut dalam satu malam?

Ide ceritanya soal pandangan masyarakat Inggris pada umumnya saat itu. Bahwa gadis 'pekerjaan utamanya' adalah nyari suami dan nikah. Harus kalau bisa, suaminya yang pantas dalam hal status dan pemasukan (hm... nggak heran pas baca Sherlock Holmes sering ada kalimat, 'pemasukannya xxx pound per tahun'). Jadilah para gadis sibuk memikat gentleman ketika sudah cukup umur. Di masyarakat Inggris zaman lawas itu, juga ada semacam aturan tak terlisan tentang kasta. Bangsawan harus nikah sama bangsawan, orang kaya nikahin orang kaya, dan warga yang statusnya menengah ke bawah harus tahu diri.

Jadi, pantas kan kalau Mrs. Bennet, ibu dari keluarga bukan strata atas dan dari lima anak perempuan yang sudah cukup umur, nggak bosan-bosan mendorong gadis-gadisnya secepatnya nyari suami yang kaya? Lydia & Kitty Bennet, dua anak terakhir, nggak usah disuruh sudah nyari sendiri. Tapi Mary Bennet, sang anak tengah, malah terkesan plain karena kebanyakan baca dan nganggap bersosialisasi itu kurang penting. Jane Bennet yang berhati lembut, sedikit-sedikit masih mematuhi ibunya. Meski demikian toh Jane jatuh hati pada Mr. Bingley, seorang pemuda kaya, bukan karena melihat statusnya. Tapi Elizabeth (Lizzy) Bennet, mendeklarasikan bahwa ia tak akan, akan, pernah menikah hanya demi uang.

L-R: Lydia, Kitty, Elizabeth, Jane, Mary
 Picture was copied from http://socialwits.com/pride-and-prejudice-perfection-in-austen/

"Only the deepest love will persuade me into matrimony, which is why I will end up an old maid" - Elizabeth.

Elizabeth punya watak yang kontras dengan keempat saudarinya. Ia lebih keras dari yang lain, bicaranya terus terang, dan sikapnya independen. Maka ketika dalam suatu pesta ia bertemu dengan Mr. Darcy, gentleman kaya raya yang dianggap menghinanya, langsung aja Elizabeth mengetok palu kalau ia tidak menyukainya.

Description of Mr. Darcy, captured from the novel

L-R: Mr. Bingley, Mr. Darcy, Miss Caroline Bingley
Picture was printscreened

Namun entah kenapa, takdir selalu mempertemukan Lizzy (Elizabeth) dan Mr. Darcy. Entah ketika Lizzy menjenguk Jane yang jatuh sakit ketika mengunjungi kediaman Mr. Bingley, di pesta yang diadakan Mr. Bingley, bahkan ketika Lizzy mengunjungi rumah sahabatnya di Rosings (tempat ini jauh dari Longbourne, kediaman keluarga Bennet). Di kesempatan-kesempatan itu, keduanya banyak terlibat percakapan yang meski pendek-pendek tetapi penuh makna. Catat, makna di sini bukan cuma soal romantisme, tapi lebih dalam dari itu. Dari sinilah keduanya lebih mengenal.

Sosok sombong dan penuh kebanggan yang tidak disukai Lizzy ternyata merupakan sifat pemalu Mr. Darcy yang banyak disalahartikan. Darcy ternyata sangat, sangat baik. Orang yang dermawan dan ringan tangan, yang membantu Lizzy bahkan ketika Lizzy tak meminta bantuannya. Di sinilah letak 'prejudice' yang digaungkan. Bahwa Lizzy yang cerdas ternyata bisa salah menilai orang. Lalu di mana 'pride'-nya? Salah satunya ditampilkan saat Lizzy yang berharga diri tinggi menolak Mr. Darcy karena merasa dihinakan karena Darcy, yang juga juga bersifat demikian, lebih memilihnya dibandingkan strata mereka.


"I've fought against my better judgement, my family's expectation, the inferiority of your birth, my rank dan circumstance, all those things... but I'm willing to put them aside... and ask you to end my agony." - Mr. Darcy.

"I might as well enquire why, with so evident a design of insulting me, you chose to tell me that you liked me against your better judgement!" - Elizabeth.

Udah, gitu aja? Nggak ada konflik?

Konflik tentu ada. Lydia yang kawin lari, contohnya. Atau ketika Lady Catherine de Bourgh, bibi Darcy, datang malam-malam dan menginterogasi Lizzy soal hubungannya dengan Darcy. Atau, tentang Lizzy yang menolak lamaran Darcy dengan penuh emosi.

Tapi yang namanya kekuatan pemahaman ya, semua konflik dapat diselesaikan, akhirnya. Ketika mereka saling memahami benak masing-masing, maka apa yang sedang terjadi bisa lebih mudah dimengerti dan diatasi.

Sekilas lebih datar dibanding film-film roman lain yang penuh kejutan dan intrik, tapi film ini tetap memesona lewat gestur tubuh yang bicara dan percakapan-percakapan penuh makna.

Di luar konteks inti/ide cerita yang fundamental (yang baru saya pahami setelah baca beberapa review), film ini menyihir saya lewat setting-settingnya. Lewat musik-musik instrumentalnya yang begitu pas di adegan-adegan tertentu.

Lokasi syutingnya di pedesaan Inggris, lebih tempatnya di estate-estate klasik seperti Wilton House (Wiltshire), Basildon Park (Berkshire), Groombridge Place (Kent), dan Chatsworth House (Derbyshire). Arsitektur klasik  dari gedung-gedung lawas yang dipadu kecantikan khas pedesaan Inggris. Estate menawan yang dikelilingi padang rumput, hutan-hutan yang menjulang, dan sungai kecil yang gemericik. Bisa dibayangkan hidup di sana di zaman 1700-1800an?

Groombridge Place, Kent: rumah keluarga Bennet, Longbourne
Picture was copied from https://www.pinterest.com/pin/251146116689792456/

Basildon Park, Berkshire: kediaman Mr. & Miss Bingley, Netherfield
Picture was copied from http://www.nationaltrust.org.uk/basildon-park/

Stourhead Park: setting of the denied proposal
Picture was copied from http://www.greatbritishgardens.co.uk/england/item/stourhead-gardens.html

Chatsworth House, Derbyshire: tampak luar kediaman Mr. Darcy of Pemberley
Picture was copied from http://www.throapham-house.co.uk/throapham-house/things-to-do-2/heritage-and-museums/

Chatsworth House, Derbyshire: tampak luar kediaman Mr. Darcy of Pemberley
Picture was copied from http://i2.wp.com/www.throapham-house.co.uk/wp-content/uploads/2012/04/DSC_0083.jpg
Chatsworth House: tampak luar kediaman Mr. Darcy of Pemberley
Got this from: www.dmu.ac.uk

Chatsworth House, Derbyshire: tampak luar kediaman Mr. Darcy of Pemberley
Picture was copied from http://blog.luxuryproperty.com/chatsworth-house-luxury-destination-fit-for-a-duchess/292691346_0e690e3749/

Chatsworth House, Derbyshire: tampak dalam kediaman Mr. Darcy of Pemberley
Picture was copied from https://architecturebehindmovies.files.wordpress.com/2012/03/chatsworth_main_hallway.jpg

Wilton House, Wiltshire: kediaman Lady Catherine de Bourgh, Rosings
Picture was copied from wiltonhouse.co.uk

Wilton House, Wiltshire: tampak dalam kediaman Lady Catherine de Bourgh, Rosings
Picture was copied from wiltonhouse.co.uk

Wilton House, Wiltshire: kediaman Lady Catherine de Bourgh, Rosings
Picture was copied from wiltonhouse.co.uk

Dan pencahayaannya. Film ini terlihat lebih cerah dibandingkan film lain yang bersetting waktu yang sama karena cahayanya yang terang. Rata-rata film abad pertengahan yang pernah saya tonton kesannya selalu gloomy, mulai dari lingkungan sampai warna baju, dan akhirnya bikin saya nggak mood nonton (meskipun dilihat juga sampai akhir sih). Tapi Pride & Prejudice ini nggak. Biarpun warna bajunya mungkin nggak beda jauh, tapi kesannya lebih cerah. Sinar matahari di mana-mana.

Selain settingnya yang keren abis, musik-musik yang dimainkan juga mendukung adegan-adegannya. Music defines the moment, the atmosphere. Sepertinya, semakin banyak musiknya, semakin saya suka filmnya. Kenapa? Yah karena musik mendorong perasaan penonton, bikin penonton seakan merasakan apa yang dirasakan tokoh. Musik-musik yang dimainkan di sini musik instrumental, rata-rata biola atau piano, yang beberapa dibuat oleh Henry Purcell & dimainkan oleh Dario Marianelli, English Chamber Orchestra, dan Jean-Yves Thibaudet.

Dari segi tokoh? Jujur aja saya nggak begitu memperhatikan aspek ini. Tapi ketika saya rasa film itu bagus, rasa-rasanya akting pemerannya berarti bagus. Keira Knightley sebagai Elizabeth dan Matthew Macfadyen sebagai Mr. Darcy yang jadi tokoh utama rasanya perfect ketika memerankan Elizabeth yang lively dan Mr. Darcy yang lebih banyak diam dan merasa 'do not have the talent of conversing easily with people I've never met'.

Baru nonton setengah jalan, saya sudah terpesona. Tapi ketika sudah tiga perempat jalan, saya mulai khawatir. Apa pasal? Sejauh ini, tumben-tumbenan nggak ada adegan kissing atau (maaf) intercourse yang selalu jadi identitas khas film Barat. Sampai ketika adegan akhir, saya menarik nafas...

... lega, akhirnya. There are no such things in this film. At least in the British version. And I won't ever, ever, watch the American version.

Ketiadaan dua hal inilah yang bikin film ini bernilai plus-plus-plus di mata saya. Akhirnya, ketemu juga satu film Barat yang mendefinisikan perwujudan cinta di luar dua hal tersebut. Cukup melihat, memahami, dan sama-sama merasakan. Tanpa ada sentuhan sama sekali, kecuali ketika dansa. Baru tahu juga, setelah nonton BTS (Behind The Scene)nya, bahwa zaman itu pria dan wanita nggak saling berjabat tangan, tetapi cukup menundukkan kepala tanda hormat. One touch or one glance can be interpreted as a world to someone.

Gentle, simple, yet so sweet.

Trus gimana dengan novelnya? Apa versi 2005 ini sama?

Jujur, pas nulis ini, sepertiga bagian novelnya belum saya tamatkan. Tapi tentu ada bagian dari novel yang hilang atau diganti. Bukan masalah, karena saya rasa ide utama dan alur pokoknya tetap sama. Miniserinya, versi BBC, memang lebih mengikuti alur dan lebih mirip detailnya dibanding versi 2005 ini. Tapi toh itu miniseri, yang artinya banyak seri, yang artinya banyak waktu pula untuk membuatnya sesesuai mungkin dengan alur asli. Yang ini, versi movie, yang hanya punya waktu kurang lebih dua jam untuk merangkum semua kisah dan perasaan jadi satu dan harus bisa memancing emosi penonton. Jadi wajarlah kalau beda.

Dan satu lagi poin plus: bahasanya puitis. Pada beberapa kalimat sangat sopan, bahkan waktu menyampaikan kritik pedas sekalipun. Kalimat-kalimat yang digunakan pake kata-kata terpilih, kata-kata yang jarang digunakan di percakapan sehari-hari. Lumayan nambah vocab kan jadinya. Misalnya aja, ketika Darcy melamar Lizzy. Di film-film dewasa ini, mungkin ekspresi yang digunakan akan nggak jauh dari, "I love you, will you marry me?" dan semacamnya. Di Pride & Prejudice?

"Please do me the honour of accepting my hand." - Fitzwilliam Darcy (Mr. Darcy)

This movie trully bewitches me.

-----------------------
Cast:
  • Elizabeth Bennet − Keira Knightley
  • Mary Bennet − Talulah Riley
  • Jane Bennet − Rosamund Pike
  • Lydia Bennet − Jena Malone
  • Kitty Bennet − Carey Mulligan
  • Mr. Bennet − Donald Sutherland
  • Mrs. Bennet − Brenda Blethyn
  • Charlotte Lucas − Claudie Blakley
  • Mr. Bingley − Simon Woods
  • Caroline Bingley −  Kelly Reilly
  • Mr. Darcy − Matthew Macfadyen
  • Georgiana Darcy − Tamzin Merchant
  • Mr. Wickham − Rupert Friend
  • Mr. Collins − Tom Hollander
  • Lady Catherine de Bourgh −  Judi Dench
  • Miss de Bourgh − Rosamund Stephen
  • Colonel Fitzwilliam − Cornelius Booth
  • Mrs. Gardiner − Penelope Wilton
  • Mr. Gardiner − Peter Wight   

Songs:

  • Dawn pembukaan
  • Stars and Butterflies
  • The Living Sculptures of Pemberley − saat Lizzy melihat galeri patung di Pemberley
  • Meryton Townhall lagu dansa menyambut Bingley bersaudara
  • The Militia Marches In ketika para tentara memasuki kota
  • Georgiana lagu yang dimainkan Georgiana, juga lagu latar belakang ketika Bingley berlatih melamar
  • Arrival at Netherfield
  • A Postcard to Henry Purcell ketika Lizzy & Mr. Darcy berdansa. 
  • Liz on Top of The World ketika Lizzy berada di atas tebing
  • Leaving Netherfield saat Bingley & Darcy meninggalkan Netherfield. Buat saya, ini lagu paling sedih sepanjang film. Perhatikan aja mimik Mr. Bingley & Mr. Darcy yang lemes dan hopeless, sedangkan Miss Bingley penuh kemenangan.
  • Another Dance
  • The Secret Life of Daydreams
  • Darcy's Letter ketika Lizzy berlari di tengah hujan seusai dari gereja. Scene paling keren.
  • Can't Slow Down lagu dansa
  • Your Hands Are Cold  adegan di padang rumput subuh hari
  • Credits

Recommended!

1st picture is courtesy of the movie itself.
Reading Time: