Juli 2013 - Hijaubiru

Rabu, 10 Juli 2013

Anak Gunung Jatuh Cinta
Juli 10, 20130 Comments


Judul: Anak Gunung Jatuh Cinta
Penulis: Fransisca Desiana
Penerbit: Puspa Swara
Tahun terbit: 2007 (cetakan I)
Ukuran: 19 cm
Halaman: 112


Icha sama sekali nggak menyangka bisa bertemu orang seperti Kharlly. Kharlly yang akhirnya menjadi sahabatnya, menjadi kakak baginya, menjadi orang yang menyemangati saat sama-sama sedang diklat Pecinta Alam, pun menjadi orang yang pertama turun ke jurang saat Icha jatuh saat pendakian.

Kharlly pula yang membuat Icha mengenal Wildan, yang akhirnya menjadi kekasihnya. Meski Kharlly pula yang meminta Icha menjauhi Wildan karena merasa Icha berubah.

Tapi Icha memilih tak menggubris peringatan Kharlly. Icha hanya bisa terenyak ketika melihat dengan mata kepala sendiri Wildan memang sedang bersama wanita lain.

Icha makin terpukul saat sekembalinya dari rumah sakit, Kharlly yang selama ini menemaninya ternyata sudah meninggalkan kota itu, pindah dan memilih menghilang dari pandangan Icha. Kharlly menitipkan sebuah paket untuk Icha, berisi buku harian yang menguak masa lalu Kharlly yang kelam, yang membuatnya ingin selalu melindungi Icha, membuatnya terpaksa menasihati Icha agar menjauhi Wildan karena masa lalu mereka.

Tapi terlambat. Kharlly sudah terlanjut pergi, menghilang tanpa jejak. Meningggalkan pesan agar Icha tak mencarinya, karena suatu hari nanti ia sendiri yang akan datang menemui Icha

------------------------------------------------------------------


Novel teenlit ini sama seperti novel-novel teenlit lainnya, yang mengutamakan cerita remaja dan cinta. Hanya bedanya, latar belakang para tokohnya adalah pendaki. Namun untuk jalan cerita keseluruhan, hampir sama dengan novel bergenre sama. Setting sekolah masih ada, banyak. Setting gunung diselipkan sedikit-sedikit, namun tak menceritakan gunungnya, lebih fokus pada tokohnya.

Hal tentang gunung yang bisa ditemui di sini adalah adanya istilah-istilah yang akrab di telinga pendaki seperti bivak, survival, navigasi darat, dll. Di halaman terakhir, diselipkan definisi istilah-istilah tersebut untuk memudahkan para pembaca yang bukan anak PA.




Reading Time:

Selasa, 09 Juli 2013

Teman Seperjalanan
Juli 09, 20130 Comments
Akibat cuaca panas yang (akhirnya) melingkupi Surabaya, jadi keinget zaman-zaman naik gunung. Dan nama yang satu itu emang nggak pernah lekang dari ingatan, bikin saya pengen balik dan balik lagi lantaran tersihir pesonanya. Semeru.

Dan nemu tulisan ini, yang pernah saya tulis setengah tahunan yang lalu, yang akhirnya bikin saya juga sukses bertanya-tanya, gimana nasib orang-orang ini sekarang ya?

----------------------------------------------------------------------------

Minggu, 4 November 2012

Aku berandai-andai, di mana mereka sekarang?

Sudah satu setengah tahun. Sudah satu setengah tahun semenjak kami terakhir bertemu, terakhir bertatap muka tak sengaja dalam sebuah perjalanan.

Tapi, bukankah setiap perjalanan selalu menggoreskan kesan, memiliki kisah?

Langit malam itu biru gelap, penuh gemerlap bintang. Aku memperhatikan, ada purnama muncul malu-malu dari balik pohon pinus. Aku dan teman-teman membangun tenda di luar, di bawah pinus. Sedangkan kalian kedengarannya asyik membuka sleeping bag di dalam pondok pendaki.

Paginya, kami memasak. Kami melihat salah satu di antara kalian asyik berjalan-jalan, menikmati angin segar pegunungan.
“Dari mana, Mas?” tanya seorang kawan.
“Jember. Masnya?” dia balik bertanya.
“Surabaya. Naik hari ini Mas?”
“Iya. Masnya juga?”
Kawanku mengangguk.
“Kalau gitu kita bisa bareng nanti,” tawarnya.

Pada akhirnya, kita memang berangkat bersama. Diiringi rintik hujan dan pilas kabut yang tadi pagi menghambat perjalanan kami, membuat kami menunda pendakian.

Ladang sawi, ladang kubis, ladang bawang daun. Aku teringat film Petualangan Sherina. Dalam perjalanan hari ini, kita tak bertemu.

Saat kami sampai di danau itu, kalian sudah mendirikan tenda. Sedangkan kami masih duduk-duduk di rerumputan kering, melihat penduduk lokal memancing.

Esoknya, kita berangkat bersama. Menaiki Tanjakan Cinta, melintasi padang ilalang kuning bernama Oro-Oro Ombo, membelah hutan Cemoro Kandang.

Di tengah perjalanan, kita rehat sejenak. Dua rombongan yang tak saling mengenal, kami dan kalian,  asyik bertukar bekal. Pun saat kita istirahat sejenak di Kalimati, mengistirahatkan badan agar bisa mengejar puncak nanti malam, kalian memberi kami sebuah makanan unik.

Roti panggang nesting dengan topping havermut cokelat.

Malamnya, bersama dengan puluhan orang dari rombongan lain, kita mengejar puncak. Beriringan membelah padang Kalimati dalam malam hitam pekat dan angin pegunungan yang bertiup keras. Tinggal ditambah lolongan serigala, lengkaplah malam ini, batinku saat itu.

Kita sempat istirahat agak lama di Arcopodo karena salah seorang dari kalian ingin buang air. Aku memanfaatkan momen itu untuk telentang menghadap langit. Memandang bintang-bintang dari sini tentulah berbeda dengan memandang bintang-bintang dari Surabaya. Pun sangat berbeda dengan melihatnya dari Ranu Pani, dari Ranu Kumbolo, atau dari Bromo.

Salah seorang dari kalian menegurku, mengira aku tertidur, “Jangan tidur lho ya, Mbak. Nanti nggak tahu kalau ditinggal”. Kita semua tertawa.

Perjalanan menuju puncak. Aku tak memerhatikan keberadaan kalian di sana. Yang lebih kuperhatikan adalah dua rekanku, dan lebih-lebih, aku sendiri. Perjalanan yang paling berat ada di sini.

Di puncak, kita berfoto bersama. Namun entah, mungkin karena si pemotret kurang keras menekan tombol, foto itu tak tercetak di memory card.

Pukul 14.00 kita kembali ke Ranu Kumbolo. Aku lupa, apakah kalian yang berangkat lebih dulu atau kami yang berangkat lebih dulu? Atau apakah kita berangkat bersama, lalu kami mendahului kalian di Cemoro Kandang? Aku sungguh lupa. Yang kuingat hanyalah kami bertemu dengan seorang ibu energik, seorang bapak, dan seorang anak kuliahan berambut kribo.

Malam itu juga kami sampai di Ranu Pani. Seingatku, kalian baru datang saat kami sudah menyusup ke balik sleeping bag. Tapi itu tak lebih hanya dugaan karena, sekali lagi, aku lupa.

Esok siang. Kami menunggu jeep yang akan membawa kami ke Tumpang. Saat itulah aku terakhir melihat kalian.

“Rombongan dari Jember pulang sekarang,” ucap seorang kawan.

Aku menoleh ke arah jalanan. Rombongan kalian sudah menaiki sepeda motor. Carrier sudah kalian tumpukan di jok.

Dan kalian melaju, meninggalkan basecamp Ranu Pani. Motor kalian menderu melintasi jalan naik-turun yang berkelok. Mataku terus mengikuti sampai sosok kalian hilang tertutup bukit, setelah melintasi gapura. Ah, aku baru ingat, kalian mengambil jalan yang berbeda.

Itulah kenangan terakhir yang aku ingat tentang kalian, teman seperjalanan. Bertemu tak sengaja di sebuah pendakian dan hilang begitu saja setelah petualangan usai. Tapi tetap saja, menggores kesan yang mendalam.



Andai tanya ini bisa terjawab: “Di mana kalian sekarang?”


Semeru, 17-21 Juni 2011
Tim Gunung Smalapala (satu orang paling kanan, dua orang paling kiri)
beserta teman-teman seperjalanan


This picture was taken from a friend's social account. Unfortunately, I forget which of them
Reading Time: