April 2013 - Hijaubiru

Rabu, 24 April 2013

IPA vs IPS
April 24, 2013 2 Comments
“Masnya anak IPA? Waah, ya sudah, Mas. Pasti sudah terjaminlah hidupnya.”
dan
“Kamu masuk IPA atau IPS?”
Alhamdulillah, IPA.”

Ckiiiit!
Why? Why? Mengapa? Mengapa semudah itu masyarakat kita melebihkan derajat ilmu alam dan menjelentrehkan martabat ilmu sosial? Saya anak IPA, suka IPA, memilih masuk IPA, tapi ikut cekit-cekit gitu rasanya kalo ada yang bilang IPS itu kurang penting. 

Mayoritas beralasan bahwa sainslah yang mengubah keadaan dunia satu abad ini. Penemuan penicillin, pasteurisasi, relativitas, hingga bom atom yang mengubah jalan cerita Perang Dunia II semuanya sama-sama berhubungan dengan ketiga pelajaran yang sudah menjadi ciri-ciri anak IPA: Biologi, Fisika, dan Kimia. Ya, semua itu memang betul. Memang ilmu alam sudah mengubah dunia dalam beberapa ratus tahun terakhir ini.

Namun, bukannya ilmu sosial juga berdampak sedemikian jauh? Perang dunia dimulai dengan perebutan daerah pemasaran pasca revolusi industri. Negara-negara Barat berlomba-lomba mengklaim negara X di Asia adalah daerah pemasarannya. Kenapa saya merasa ada unsur ilmu Ekonomi ya  di sini? Dan saat perang dingin AS-Rusia, bukankah mereka berbeda pendapat tentang ideologi? Dan, hei, itu ilmu sosial juga, bukan?

Ah, itu kan, cuma sebagian kecil contoh ilmu sosial yang berguna. Sisanya? Guna nggak?

Oke. Sebuah contoh: (amat)(sangat) banyak (sekali) siswa lulusan SMA di Indonesia yang menginginkan tembus menjadi mahasiswa FTTM a.k.a pertambangan di ITB. Lho, itu kan Fisika? Tapi tahu darimana ada wilayah pertambangan di Indonesia kalau nggak baca di buku paket IPS zaman SD?  Dan kalau ilmu sosial memang dipandang sebelah mata, kenapa situ orang banyak yang ambil jurusan Ekonomi, Akuntansi, maupun Hubungan Internasional?

Meskipun begitu, tetap saja. Orang Indonesia sudah sejak dulu di-mindset-kan IPA.  Sejak zaman Belanda, malah. Sudah pada dengar kan soal STOVIA (sekolah kedokteran Belanda)?

Seorang teman yang penasaran, mengacungkan tangan pada saat pelajaran Sejarah.
“Kenapa orang Indonesia ber-mindset IPA itu pasti bagus ya, Pak? Kan, tanpa IPS, negara juga nggak bisa jalan.”

Benar juga. Mayoritas roda pemerintahan dijalankan oleh ilmu IPS. Tata Kewarganegaraan, Ekonomi, Sosiologi. IPA?

“Ya memang begitu, Nak. Orang kita memang sudah dibentuk pikirannya oleh Belanda kalau ilmu sains itu lebih penting dari ilmu sosial.”

“Kenapa, Pak? Padahal kalau saya perhatikan, di luar negeri banyak juga yang kuliah di ilmu sosial.”

“Waaah, kalau orang Indonesia belajar ilmu sosial bisa bahaya, Nak! Kalau orang kita belajar geografi, mereka bakal tahu tempat-tempat penambangan strategis, letak-letak sumber daya Indonesia yang amat sangat melimpah. Nah, kalau orang Indonesia waktu itu diajari Sejarah? Bahaya juga! Semangat kita bisa langsung membara begitu tahu nenek moyang kita dari Majapahit dan Sriwijaya hampir menguasai Asia Tenggara. Bahaya, Nak! Makanya kita di-mindset­-kan IPA, supaya orang Indonesia nggak tahu seberapa kuat kita sebenarnya. Kalau kita tahu? Wah, Belanda bisa ajur dari dulu, Nak!

“Oleh karena itu, kita dibentuk jadi orang IPA. Orang Barat pintar, Nak, di negara mereka sendiri, ilmu sosial juga digalakkan, nggak IPA aja. Kenapa? Ya supaya nggak jadi kayak kita!”

Ah, jadi apa yang terjadi sekarang ini sudah diwariskan Belanda sejak dulu. Agar kita menjauhi ilmu sosial, agar negara asing bisa mengeruk kekayaan kita, bisa tetap ‘menjajah’ Indonesia meskipun statusnya sudah merdeka de facto dan de jure.

Lagipula, akui sajalah, meskipun orang kita mendewakan ilmu alam, benarkah kita benar-benar menjunjungnya? Adakah ilmuwan Indonesia yang didanai demi risetnya? Kabar paling santer yang saya dengar, seorang insinyur lulusan Jerman bahkan harus menelan mimpinya untuk membuat pesawat buatan anak negeri, karena pabrik pesawatnya ditutup (dan akhir-akhir ini kabarnya membuka pabrik sendiri). Paling pol, ada sekelompok ilmuwan barat yang blusukan ke Kalimantan atau Papua dan menemukan spesies baru tumbuhan.

Bukannya orang Indonesia nggak ada yang benar-benar menggeluti ilmu sains sampai notok jedhok, dengan serius. Buktinya, orang-orang macam ini(posting menyusul) masih ada.

Banyak orang Indonesia yang menguasai ilmu alam. Sungguh banyak. Namun, tak semua mau mengksplorasinya. Tak semua mau memelajarinya dalam-dalam dan membuat suatu penemuan baru. Orang masuk ilmu alam rata-rata karena satu alasan: supaya aman. Yang anak SMA, masuk IPA supaya nanti bisa enak milih jurusan di universitas (ada jurusan yang anak IPA bisa masuk jurusan anak IPS, namun tak berlaku sebaliknya) dan nggak dicap bodoh. Yang sudah kuliah, demi prestise. Intinya satu: keamanan status sosial (nah lho, balik deh ke Sosiologi).

Karena alasan ‘keamanan status sosial’ inilah, teman saya pernah sinis (sebut saja K) ketika tahu ada teman Z yang ingin menjadi dokter.
K: “Kamu nanti mau kuliah jurusan apa?”
Z: “Kedokteran.”
K: (Tersenyum sinis) “Kenapa? Pengen kaya?”

Memang ironis bahwa kebanyakan siswa memilih Fakultas Kedokteran sebagai pelarian agar bisa kaya secara instan. Tapi, hei, jadi dokter bukan jaminan jadi kaya, kok. Kakak kelas saya ada yang jebolan kedokteran dan malah jadi pemusik (dan sukses). Ada juga yang banting setir jadi pedagang. Tetangga saya dokter dan awal-awal dia jadi dokter dulu, bisa dibilang kisahnya tak semanis yang dibayangkan. Ditempatkan di kota terpencil dengan keterbatasan alat-alat kedokteran, belum penyakit tropis yang seabreg, dan gaji yang tidak pernah dibayangkan.

Jadi, jangan heran jika sekarang marak kasus malpraktik. Karena motivasi menjadi dokter bukan lagi menolong orang, tapi supaya bisa hidup enak.

Jadddiiiii, IPA itu jelek? Gitu?

Nggak. Ilmu alam itu sepenting ilmu sosial dan Ilmu sosial itu sepenting ilmu alam, saling melengkapi. Nggak ada dua-duanya, nggak imbang. Mana bisa pemerintahan jalan kalau cuma dijejali penemuan? Mana bisa penemuan berjalan kalau nggak ada dukungan pemerintahan?

Enak aja ngomong. Lu kan nggak ngerasain jadi kita-kita yang hidup di bawah standar gara-gara keprosok ke ilmu sosial!

Saya menyadari bahwa di Indonesia ini hidup dari ilmu sosial tidak semudah hidup dengan ilmu alam, seperti kata ayah saya (“Apa? Kamu mau masuk jurusan Sejarah? Mau jadi apa kamu? Kerja ngelap patung di museum?”). Tapi kalau begini terus, ya kapan majunya? Kapan bikin perubahannya? Harus ada yang berkorban, itu pasti. Dan pasti ada yang mau berkorban, entah satu orang, dua orang, segelintir, dua gelintir. Hasilnya memang belum terlihat. Tapi kalau mau yakin dan kerja keras, apa sih yang nggak?

Yakin dan kerja keras, itu salah satu hal yang ditanamkan kakak kelas (dan semoga dilanjutkan ke generasi-generasi selanjutnya) selama belajar berorganisasi. Yakin dan kerja keras, itu yang akan membuat perubahan. Semenanjung Arab tidak masuk Islam pada satu malam, seperti Amerika Serikat tidak menjadi negara adidaya karena perang satu hari.

Jadi, IPA-IPS, sekarang damai ya? V^o^V

---
Tambahan:
Karena agak sentimen sama ilmu sosial ini juga lah, yang bikin (negara) kita tertinggal di beberapa aspek. Misal? Nggak tahu betul atau enggak, konon katanya ada beberapa sejarah kita yang dimanipulasi oleh bangsa asing biar nggak terlihat 'wah keren banget'. Kenapa bisa gitu? Ya karena sejarawan yang expert dalam sejarah kita justru orang asing. Kebetulan juga, mereka generasi sejarawan pertama yang mengungkap itu. Jadi kalau disitasi, pasti sumber pertamanya beliau. Coba cek aja, di Belanda misalnya, banyak manuskrip dan artefak kita yang justru ada di sana. Jurusan sejarah Indonesia, bahasa Indonesia, dll pun marak di negara tetangga, Australia misalnya.

Seorang teman pernah nyeletuk, "Sebel kalau ada yang bilang kenapa ilmu pengajaran, teori sosial, dll itu kita harus ikut teori Barat. Lha, sendirinya, kalau ada orang yang menekuni ilmu itu di sini, dibilang 'mau jadi apa' kok. Jadi mau ambil ilmu dari mana lagi, karena di kita sendiri nggak didukung, jadi nggak maju, riset sosial kita lemah, dan pada akhirnya buat praktisi harus ambil ilmu dari Barat karena mereka emang lebih mumpuni?"



Reading Time: